happiness is living the small thing.***
Stephanie.: Gue gak mau seruangan sama pacar lo
Stephanie.: Kalo lo mau masuk ruangan mama sm pacar lo, silakan
Stephanie.: Gue alergi
Maximus Ryan: lo knp si
Stephanie.: Masuk aja
Stephanie.: Fio emang lebih berhak ngeliat adek gue duluan
"Lo kenapa, sih?" tanya Max setelah meninggalkan Fio di luar ruangan ibunya, yang akhirnya membuat Stephanie memasuki ruangan itu.
"Diem anjir gue gak pernah mood ngomongin cewek itu," ujarnya, lalu mendekati ranjang ibunya. "IIIII DEDEK BAYI KUUUUUU....," bisiknya sambil duduk di lantai menggunakan kedua lututnya.
Gadis itu mengangumi adiknya yang sejak itu menjadi prioritas kedua setelah Tuhan. Bisa dipastikan, urutan prioritasnya adalah: Tuhan-adiknya-orang tuanya- Audrey-makanan-uang-sekolah-.................................-Maximus Ryan.
"Siapa nama adeknya, Ma?" tanyanya pada Ayana yang tidak berhenti tersenyum.
"Louisa Europe Atmadja," jawab Zachary yang sudah berjongkok di sebelah anak tengahnya.
"Papa!" seru Stephanie kala melihat papanya yang baru pulang kemarin malam. Dia baru melihat ayahnya satu detik yang lalu setelah satu bulan lebih berpisah.
Zachary mengelus kepala putrinya. "How's life?"
"I'm sooooo happy, akhirnya punya dedek jugaaaa."
Harjani melangkah mendekati ranjang menantunya, lalu berkata, "Mamamu sampai Indonesia malam ini. Mama aja yang jemput di airport, ya?"
Ayana mengangguk, masih dengan senyumnya. "Makasih, Ma."
Harjani ikutan mengulaskan senyum, lalu mengecup kening menantunya. "Sama-sama, Sayang. Gimana tadi rasanya?"
"Deg-degan, soalnya udah lama gak lahiran."
"Oh, kamu mau tiap tahun?" Ary main nimbrung. "Bisa, bisa."
Ayana menggelengkan kepalanya. "Nggak usah didengerin, Ma."
Harjani terkekeh.
Dan Stephanie masih saja mengangumi keindahan Tuhan di hadapannya. Adiknya itu menghela napas satu-satu, dengan damainya tertidur dalam balutan kulit yang masih keriput.
Perlahan, dia mengelus pipi adiknya yang tertidur dan sesekali menggeliat dalam tidurnya.
"My heaaaaart," ujar Stephanie dengan air mata yang akan jatuh. "Mo nangiiiis...."
Posisi Ary sudah digantikan oleh Max yang juga melakukan hal yang sama dengan adiknya, menatapi keindahan paling indah di hidupnya.
Dan, ketika Stephanie menghadapkan tubuhnya, berniat memeluk ayahnya yang dia kira masih berada di posisi yang sekarang diambil Max, gadis itu mendecak kesal.
"Ah, sialan. Gue kira lo papa," ujarnya, yang tidak dianggap Max. "Papa mana?"
"Ke luar jemput Om Marcel."
"Sama Tante Keyana?"
"Menurut ngana?"
"Oh," ujar Stephanie kesal, lalu mengagumi keindahan adiknya lagi.
Antara sedih dan senang ketika gadis itu menemukan adiknya menangis nyaring. "Ma, Mama," panggil gadis itu sambil menusuk-nusuk pundak ibunya.
"Apa?" tanya Ayana yang berusaha duduk untuk menyusui anaknya.
"Boleh gendong, gak?" tanya gadis itu sambil tersenyum manis. "Sekaliiii aja."
"Tangan lo kotor," ujar Max. "Sana, cuci tangan dulu."
"Boleh, ya, Ma?" pinta Stephanie.
"Cuci tangan dulu," ujar Ayana, membuat Max menatap Stephanie dengan jenis tatapan gue-bilang-juga-apa.
"Huaaaaa nangisss." Stephanie benar-benar menangis ketika gadis itu menggendong adiknya untuk pertama kalinya dalam hidupnya setelah melewati prosedur yang diwajibkan ibunya. "Maaaa..."
Ayana tersenyum melihat anak tengahnya menangis haru, wanita itu mengusap air mata anaknya dengan ibu jarinya.
"I'm crying my heart out, Ma, trust me," ujarnya lagi yang diangguki oleh ibunya.
"I know, Honey." Ayana mengusap lagi air mata yang turun di pipi anaknya.
"Bawa pulang, ya?" pinta Stephanie. "Sekarang."
"Nanti, lusa baru boleh pulang. Itu pun ke rumah oma," ujar Harjani menjelaskan, "jadi nanti Stephanie sama Max cuma di rumah berdua. Karena papa sama mama sementara tinggal di rumah oma."
Stephanie mengangkat kedua alisnya. "Serius, Ma?"
Ayana mengangguk. "Di rumah oma lebih mudah semuanya. Oma juga bisa bantuin mama kalo papa sibuk, oma Louisa juga mau nginep di rumah oma."
"Kenapa gak pake supir sama baby sitter?"
"Mama gak percaya," ujar Ayana langsung.
"Yah, ini dedek bayi gimana? Jangan ambil bayi ini darikuuuuu! No way! Ma, please, aku berhenti sekolah juga gak pa-pa demi bayi ini!" mohon Stephanie sambil menatap ibunya dengan tatapan memelas.
"Steph, mama tuh udah tua. Pas masih muda aja mama gak bisa ngurus sendiri. Apalagi sekarang."
"Kan ada aku. Jangan bawa bayi ini, Ma. Jangan lecehkan hak asasi manusia aku!"
"Nak," Ayana menatap putrinya dengan malas. "Kamu akan sering ketemu adek, oke? Tenang."
"Oma aja dibawa ke rumah!"
"Ngaco kamu ini! Oma juga punya urusan lain di rumah!" balas wanita yang baru melahirkan anak ketiganya itu.
"Tapi, bayi ini—"
"Berapa lama?" tanya Max, merasa kesal dengan hidupnya yang membuat suratan takdir yang begitu menjengkelkan.
"Sampe Desember."
"Yah, masa cuma berdua sama manusia ini?"
"Stephanie Riley, yang sopan," peringat ibu tiga anak itu.
"Yah, masa cuma berdua sama Homo sapiens ini?"
"Siapa juga yang mau sama lo, Antropoda."
"Dih, lo—"
"Eh, udah, udah!" seru Ayana mulai kelimpungan karena kedua anaknya mulai bertingkah lagi. "Nanti, mama mau cari pembantu buat masak, nyuci piring, sama nyapu-ngepel. Baju kotor di-laundry aja. Jadi, kan kalian dibebastugaskan dari tugas rumah."
Ketika kalimat itu terlontar, ponsel Stephanie bergetar.
Dia menyerahkan adiknya pada kakaknya, lalu membuka isi pesan itu.
Kak Audrey: Steph, gue sm Mickey tunggu di kantin, ya.
Stephanie dan ide briliannya tersenyum cerah.
Ayana dan Max yang membincangkan nama panggilan yang pas untuk anggota baru keluarga mereka tidak memiliki ide
Stephanie akan berkata."Yang bantuin aku sama manusia ini di rumah, Kak Audrey aja!"
"Gila lo!"
"Hah? Yang bener aja, kamu!" kata Ayana.
"Ma, dia butuh uang banyak banget," kata Stephanie. "Kak Audrey pasti mau kok. Kan aman juga kalo sama Kak Audrey. Lebih enak, lebih nyaman. Jadi mama juga gak khawatir. Bisa jagain Baby Sasa dengan tenang! Gimana?"
"Coba tanya Audrey dulu," jawab Ayana setelah terdiam cukup lama.
***
To God be the glory,
nvst.
6.11.17