hppnss

490 52 40
                                    


i'm sorry, my happiness doesn't depend on you.

***

Hari Sabtu ini, pernikahan Nadine dan Milo berlangsung begitu meriah. Milo, pria yang berumur 4 tahun lebih muda dari istrinya itu bertumbuh dari bukan apa-apa menjadi penguasa sebuah perusahaan ternama yang sangat mempengaruhi naik-turunnya saham dunia.

Pemberkatan dan resepsi yang digelar hari itu bukan main meriahnya. Ada sekitar tiga ribu tamu undangan, termasuk anak-anak Our Home, kolega bisnis Milo, teman-teman Almarhum Caleb, teman-teman Ary dan Ayana, dan teman-temannya teman-teman Caleb, Ary, dan Ayana yang masih mereka kenal.

Dan jangan lupa, manusia-manusia itu membawa pasangan dan keluarga mereka, sehingga 3.000 orang itu masih bisa bertambah jumlahnya.

Contohnya adalah teman-teman lama Ary, Aleesa, dan Ayana yang datang membawa keluarga mereka. Kalau teman-teman Aleesa dan Ayana, sih, datang dengan pasangan dan anak mereka masing-masing.

Nah, kalau teman-teman Ary, datang dengan keluarga mereka dan alasan, "Di rumah kagak ada makanan."

Dan itu sedikit banyak membuat Ary kangen dengan masa SMA-nya.

Berkat ramainya para teman lama itu, siang hari tadi, Max harus ke sekolah sendiri untuk mengambil rapotnya. Ibunya yang sedang hamil itu sungguh heboh menyambut adiknya yang akan menikah, tidak henti-hentinya dia mengoceh tentang betapa asyiknya berumah tangga, apalagi kalau sudah dikaruniai momongan. Nadine hanya mengangguk saja menanggapi kebawelan istri dari Zachary itu.

Ary terlihat santai-santai saja. Malah, terlihat cuek dengan pernikahan adik iparnya—sebenarnya pria itu cuek akan apapun yang bukan urusannya atau keluarganya atau siapapun yang dia pedulikan. Ketika Ayana sibuk dengan adik dan anak-anaknya, Ary sibuk dengan mantannya, Aleesa, yang sekarang sudah menjadi istri Christian Swan dan merupakan ibu dari Tyler Swan.

Pukul 19.00, pesta dimulai dan semua orang mulai mengantre untuk menyalami kedua mempelai.

"Nadineeeee, kamu cantik banget, siiiih. I wanna squeeze you," gemas Ayana sambil memeluk adiknya dengan erat.

"Tuhan berkati kalian berdua," ucap Ary, menepuk pundak Milo, lalu membawa istrinya yang superheboh itu turun dari pelaminan.

Tidak lama setelah kedua orangtuanya menyalami mempelai, Stephanie Riley dan Maximus Ryan—bersama seseorang di gandengan cowok itu—ikut menyalami kedua insan yang sedang berbahagia itu.

Stephanie dalam balutan dress soft pink pilihan ibunya, tersenyum cerah ketika menyalami kedua anggota keluarganya. "Selamat ya, Om, Tante. Semoga barengan sampe maut yang memisahkan," harapnya.

"Thank you, Little Lady," ujar Milo dengan senyuman di wajahnya.

"Makasih, Sayang," ujar Nadine. "Kamu belum punya pacar, kan?"

Stephanie menggeleng. "Belum. Emang kenapa, Tante?"

"Pacaran pas kecil cuma buang-buang waktu aja," ujar Nadine dalam bahasa Indonesia yang mulai lancar. "Seek first His Kingdom and His righteousness and all these things will be given to you as well."

Stephanie tersenyum, lalu mengangguk yakin. "God bless you."

Lalu, ketika berhadapan dengan keponakannya yang lebih tua dari yang sebelumnya, Nadine mengerutkan keningnya samar. Wanita itu terlihat bingung, walau seulas senyum terpatri di wajahnya.

"Happy wedding, Tante, Om," ujar Max sambil tersenyum.

"Selamat atas pernikahannya, Om, Tante," ujar seseorang itu ramah, disertai lengkungan manis bibirnya.

"Thanks, Max," ujar Nadine dan suaminya hampir berbarengan.

"And this is..." Nadine menggantung kalimatnya, menunggu seseorang memberitahunya siapakah seseorang di sebelah Max itu.

"Fiona, Tante."

Nadine tersenyum semakin cerah. "Oh, hai, Fiona. Cantik sekali kamu! Pacarnya Max, ya?"

"Iya."

***

In the name of Jesus i pray. Amen.

Kalimat itu dijadikan Audrey sebagai penutup doanya sebelum dia jatuh tertidur.

Hari Sabtu siang tadi, dia ke sekolah hanya untuk menjumpai kalimat: "Lunasi dulu uang sekolahmu bulan ini, baru bisa ambil rapot. Maaf ibu harus melakukan ini, Nak."

Kalimat debt collector yang diperhalus ya begitu jadinya.

Tapi, berkat kalimat itu, Audrey jadi tahu, dia harus mulai mencari pekerjaan untuk melunasi hutangnya dan untuk menyokong kehidupannya beserta ibunya sehari-hari.

Sepulang dari sekolah, dia sudah membeli koran untuk melihat-lihat sekiranya ada pekerjaan yang cocok bagi dirinya yang dipersibuk dengan kegiatan membantu ibunya di rumah.

Bicara soal ibu, ibundanya yang mudah lelah itu memilih untuk membuka usaha katering dan kursus menjahit di rumah. Tidak peduli apakah kesehatannya akan menurun nantinya, yang paling penting, ada pemasukan untuk membantu kehidupan keluarga kecilnya yang super duper melarat.

"Drey...," panggil Maria dari luar sambil mengetuk pintu pintu kamar anaknya.

Di rumah barunya yang hanya berukuran 6x9 meter itu, Audrey bersyukur, sangat, sangat bersyukur masih memiliki ibunya yang setiap malam selalu masuk ke dalam kamar mungilnya dan berkata:

"Mama belum cium kamu."

Audrey tersenyum, bangkit dari ranjangnya, lalu membuka pintu kamarnya.

Dia merendahkan tubuhnya, lalu memejamkan matanya ketika bibir kering ibunya mengecup keningnya lama.

"Ma, tidur di kamar Odi aja," ujar Audrey setelah ibunya selesai memberi kecupan selamat malam.

"Sempit, Drey," ujar Maria.

"Ini nggak sempit. Ini cuma beda aja, Ma." Audrey memamerkan giginya, menmpersembahkan ranjangnya dengan bangga.

Maria tersenyum mendengarnya. "I love you so much."

Audrey naik ke atas ranjangnya, lalu menepuk jarak kosong di sebelahnya.

Tidak lama kemudian, Audrey sudah tertidur nyenyak dengan posisi memunggungi ibunya yang memeluknya dari belakang, memberinya kenyamanan dan ketenangan tiada tara.

Tanpa siapapun ketahui, Maria menangis dalam diam.

"Terima kasih, Tuhan, anak ini luar biasa," ujarnya penuh syukur, lalu mencium kepala putrinya lama.

Malam hari itu, banyak orang berbahagia.

***

To God be the glory,
nvst.
27.10.17

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang