bth

494 53 15
                                    


your what ifs give me hope.

***

Senin, 5 September.

Hari keempat di mana Audrey berstatus sebagai guru privat Stephanie Riley Atmadja. Jadwal mereka sudah jelas terbuat, hari Senin sampai Jumat, tanpa memperhitungkan dua hari akhir pekan.

Hari itu, hujan turun dengan derasnya di sore hari pukul 17.30 itu-30 menit sebelum pulang Audrey. Namun, dia tidak yakin apakah hujan akan memberinya izin pulang.

"Hasilnya dua akar tiga," ujar Audrey sambil membaca hasil pekerjaannya.

Stephanie menggeleng melihat hasil pekerjaannya. "Gue akar dua belas."

"Nah, itu masih bisa dipecah lagi. Jadi akar empat kali tiga. Empatnya dikeluarin, jadi dua," ujar Audrey sabar sambil menulis ulang apa yang sedang dibahasnya, "jadi, hasil akhirnya, dua akar tiga."

"Ooooh!! Ngerti, ngerti!" Stephanie yang sedari tadi memperhatikannya pun mengangguk paham. Dengan seulas senyum lebar, dia berseru, "MAKASIH KAK!!"

Audrey tersenyum manis. "Sama-sama. Udah ngerti, kan?"

Gadis itu mengangguk. "Coba kasih soal yang lain."

"Oke, bentar, ya."

Sambil menunggu gurunya yang sedang menulis soal, Stephanie mengecek ponselnya. Dan, di sana, ditemukan satu kabar yang membuat bahunya melorot lesu.

"Yaaah..." desah gadis itu sedih. "Mama sama papa pulangnya baru bulan depan."

"Oh, jadi dari minggu lalu itu di luar? Pantesan kosong," ujar Audrey, meninggalkan soalnya sejenak.

Stephanie mengangguk. "Awalnya, ke Aussie cuma mau ke rumah Tante Keyana sama ke rumah Tante Poppy. Tapi, terus sama Tante Poppy diajak keliling Indonesia, karena apa gitu."

Audrey merasakan hatinya terluka melihat raut wajah Stephanie yang kecewa dan binar matanya memancarkan kesedihan begitu dalam.

"Padahal, minggu depan itu gue ada pertandingan catur tingkat provinsi. Gue pengen mereka dateng."

"Mereka pasti doain lo, kok."

"Gue udah kasih tau mereka perlombaan itu, they don't seem like they care." Stephanie mengetukkan jarinya di meja, berusaha menyalurkan kegelisahannya. "Sometimes, i don't feel like i'm their child."

"You are."

"No, i'm just.... here."

Audrey tidak tahu apa yang harus dilakukan melihat kekecewaan sebesar itu. Yang dia lakukan hanyalah menatap gadis itu yang tiba-tiba saja menatap matanya.

Stephanie tersenyum miris sebelum berkata, "Pernah, gak, sih, lo ngalamin sesuatu yang bikin lo cuma oh, dan tatapan lo gak bisa fokus pada satu titik karena lo tau, sebentar lagi lo bakal nangis, dan yang ingin lo lakukan cuma nonjok tembok dan teriak sekenceng-kencengnya."

Pernah, Audrey tersenyum. "Emang kenapa?"

"Nggak, lupain." Stephanie mengedikkan bahunya, tertawa kecil. "Mana soalnya, Kak?"

Tapi, Audrey tidak bisa membiarkan gadis itu tetap bersusah hati. Dengan tatapan yang masih tertuju pada gadis di hadapannya, Audrey berkata, "Lo nggak sendiri, Steph. Seenggaknya, lo nggak kehilangan papa lo selama tujuh tahun."

Kernyitan dalam muncul di kening gadis itu. "Maksud lo?"

"Nggak, becanda," ujar Audrey lalu tertawa kecil. "Nih, soalnya."

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang