if you were here, i would feel hugged even when i was not.***
"YOU'RE SUCH A DICK!"
Max menghela napas panjang kala mendengar kalimat itu keluar dari mulut adiknya.
Dengan malas, cowok itu berkata, "Oke, maaf, gue gagal ngajarin lo berhubung otak lo gak seencer gue."
"AAARGGGHHHH!!!"
Stephanie mengambil bantal, lalu melemparnya kepada kakaknya yang berdiri di dekat ranjangnya.
Stephanie berdiri di atas ranjangnya, semakin berang. "UDAH GAK BISA NGAJARIN, SOK HEBAT LAGI. DASAR, PACARNYA FIO."
Max tidak mengabaikan perkataan adiknya dengan berkata, "Lo mau gue ngapain sekarang?" Dengan mudahnya, dia bisa menghindari pukulan beruntun dari bantal yang dicengkeram adiknya.
Masih sambil memukul kakaknya, dia berteriak, "CARIIN GUE GURU LES YANG GAK BANYAK BACOT. GAK SOMBONG. GAK NYALAHIN GUE KETIKA GUE GAGAL. GAK SIBUK PACARAN. GAK NGATAIN GUE. GAK KAYAK LO." Gadis itu melemparkan pukulan di setiap kriteria yang dia inginkan.
Max membaca notes di ponselnya yang ternyata berisi kriteria yang adiknya inginkan itu.
Untungnya adiknya itu sudah lelah berjuang memukulnya, sehingga dia bisa dengan mudah membaca.
"Lo mau yang gak banyak bacot, yang gak sombong, yang gak nyalahin lo ketika lo selalu gagal karena otak lo, yang gak sibuk pacaran, gak ngatain lo padahal itu fakta, dan gak kayak gue yang sebenarnya gak salah apa-ap-ADUH!!"
Stephanie menonjoknya keras tepat di tengah perutnya. "LO ADALAH TAI."
"Gue cabut, mau pasang iklan di koran dulu."
"Terus, ini, PR gue buat besok gimana?"
"You're welcome."
"I HATE YOU SO FUCKING MUCH YOU MOTHERFUCKER GO TO HELL!!"
***
"Maaf, ya, Drey, gara-gara mama, kamu harus ambil gajinya hari Senin. Mana kamu harus ke sekolah, lagi."
"Nggak pa-pa, Ma. Kalo gak dianter, kan, nanti kita rugi banyak." Audrey menyandang tas selempangnya. "Kasian mama udah capek-capek njait."
Maria mencium kepala anaknya dari samping. "Sekarang kamu mau ke mana?"
"Mau ambil rapot dulu, terus ke kafe," ujar gadis itu.
"Udah berdoa, belum?"
Audrey mengangguk. "Aku berangkat, ya, Ma. Daah!"
Maria melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan. "God bless you, Drey."
Di perjalanan, gadis itu berusaha menahan tangisnya kala mengingat pesan singkat dari ayahnya semalam, yang menyatakan hukuman penjara selama 10 tahun, denda senilai Rp 600.000.000,00, dan pengembalian dana sebanyak $15.000.000,00.
Dalam perjalanan, yang ada di kepalanya hanyalah ayahnya. Bagaimana bisa, pria yang sedang terguncang itu menghadapi semuanya sendiri. Tanpa pelukan dan hiburan dari orang-orang yang paling berdampak dalam hidupnya.
Dan Audrey, keinginan terbesarnya saat ini adalah, gadis itu ingin pergi ke tempat di manapun ayahnya berada, memeluknya, menghibur dengan kalimat-kalimat menenangkan, dan menjanjilan kebahagiaan seperti yang ayahnya lakukan dulu.
Sesekali, gadis itu menghapus air matanya yang ternyata jatuh juga.
Dikulumnya bibirnya yang hampir mengeluarkan isakan. Dengan tangan gemetar, dia menelepon ayahnya di bawah sebuah pohon di lingkungan yang sepi.
