spndn

479 46 18
                                    

i do care.

***

Kamis, 13 Oktober.
Hari pertama di mana Audrey menjadi Asisten Rumah Tangga keluarga Atmadja.

Gadis itu begitu senang ketika tahu bahwa dia akan mendapat tambahan penghasilan untuk perlahan-lahan melunasi hutang keluarganya yang melimpah itu. Oleh karena itu, ucapan terima kasih tidak ada henti-hentinya membanjiri Stephanie, gadis pembuka kesempatan emas itu bagi Audrey.

Dan, hari itu juga, Ayana meminta dengan sopan agar dapurnya yang sudah kosong melompong itu diisi kembali. Wanita itu sudah membuat daftar apa saja yang harus dibeli, dan apa saja yang harus dimasak bagi dua anak pertamanya untuk seminggu ke depan.

Ayana menunjuk Max sebagai partner berbelanja Audrey di supermarket langganannya. Alasannya, agar Audrey bisa berbelanja dengan tenang karena Max, supirnya, selalu stand by dan fleksibel akan jam pulang.

Max benar-benar merasa jengkel akan hal itu. Pasalnya, dia sudah memiliki janji dengan teman—

"Max, biasanya mama lo pake lada yang mana?" tanya Audrey kepada Max yang sibuk dengan ponselnya.

Cowok itu masih terpaku pada ponselnya kala menjawab, "Yang pedes."

"Masa sih?" sarkas Audrey sambil memutar bola matanya kesal.

"Terserah lo aja, lah. Gue gak ngerti."

Audrey mendecak kesal. "Lo niat nemenin gue, gak, sih?"

"Nggak. Sama sekali nggak."

"Ck, pulang sana, lo!"

"Ya ilah, gitu aja marah," ujar Max lalu terkekeh dan menyimpan ponselnya di dalam kantung celana seragamnya.

Audrey mencebik kesal. "Abisnya dari tadi lo nanggepin gue gak niat gitu. Gue kan bingung, Max, gak tau isi dapur lo kayak apa."

"Iya, iya. Udah mana sini, kita mencar aja."

Max memotret kertas berisi daftar yang harus dibelanjakan, lalu berkata sebelum beranjak pergi, "Gue dari telor sampe abis, ya."

Audrey mengangguk. "Ketemu lagi di sini."

Ketika Max beranjak pergi, Audrey mulai mendorong trolinya ke koridor lain, koridor sepi di mana tisu penyaring minyak terletak.

Gadis itu mencoret lada dari daftar yang dibawanya siang it—

BRUK!

"Eh, maaf," ujar Audrey, lalu mendongak demi mendapati seseorang yang sangat dibencinya berada di sana.

Revan, bos bejatnya itu, tersenyum miring kepadanya dengan mata yang berbeda dari yang pernah dilihatnya.

"Apa kabar, Audrey?"

Audrey terpaku untuk beberapa saat.

Kebenciannya masih menggumpal dalam hatinya, namun masih kalah kecil dengan jumlah ketakutannya ketika dia melempar ingatannya ke masa itu, bulan lalu ketika pria di hadapannya menjadi alasannya keluar dari pekerjaannya di kafe milik pria itu.

Audrey mengerjap, lalu tersenyum kecil sebelum menjawab, "B-baik. Bapak?"

"Sudah cukup baik dengan mata baru saya," ujarnya dengan seringaian menyeramkannya, "Kerja di mana sekarang?"

"Hm? Kerja?" Audrey menyelipkan sejumput rambutnya ke belakang telinganya seraya menjawab, "Oh, itu." Gadis itu tertawa kecil. "S-saya kerja di luar kota. Ini lagi pulang aja," dustanya, demi keamanan jangka panjang, in case Revan mengincarnya untuk kemudian dimutilasi.

ephemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang