3. NEW LIFE

79.7K 4.3K 241
                                    


Niken

Pernikahan itu akhirnya terlaksana. Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat ini. Rumah tangga yang aku pertahankan dengan susah payah, rumah tangga yang aku jalani dengan banyak pengorbanan, akhirnya ternoda. Awalnya aku tak pernah menyangka jika ini akan benar-benar terjadi padaku. Dulu, saat kami masih hidup susah, Mas Farhan selalu mengatakan ingin menikah lagi jika telah sukses. Saat itu aku mengira itu hanya candaan semata. Bahkan selalu aku jawab, "Jangan bicara seperti itu, nanti ada malaikat lewat yang mengaminkan!" tapi kenyataanya, itu benar-benar terjadi.

Aku tidak hadir di sana. Hanya ibu dan adik Mas Farhan yang datang menemani Mas Farhan ke rumah orang tua Nadia. Aku lebih memilih menjalani kehidupanku seperti biasa. Mengurus anak-anak yang akan ke sekolah, dan hari ini aku yang akan mengantarnya. Mereka bertanya, "Ayah mana, Ma?" aku hanya bisa menjawab kalau ayah mereka sedang ada urusan di luar kota bersama teman ayah mereka.

Setelah mengantar anak-anak ke sekolah, aku lebih memilih untuk menyibukkan diri di warung makan kami. Membantu sang koki meracik sayuran, karena memang aku tidak ahli dalam hal memasak. Tak ada makanan enak yang dapat kubuat.

Saat aku sedang memotong sayuran, tiba-tiba aku teringat pada Mas Farhan dan Nadia. Apa pernikahan mereka berjalan lancar? Bagaimana kelanjutan rumah tanggaku? Akankah menghangat? Atau justru semakin hambar karena yang kurasakan, kami hanya menjalankan hak dan kewajiban kami. Sebagai suami dan istri, juga sebagai orang tua. Tanpa sadar, pisau yang kupegang menggores jariku. Aku meringis, kemudian mencuci tanganku di wastafel. Koki yang melihat air yang mengalir berwarna merah karena bercampur darah, langsung bertanya padaku.

"Ibu nggak apa-apa?"

"Nggak kok, cuma tergores sedikit. Ya sudah, saya ke depan dulu ya ...."

"Iya, Bu." Kemudian aku berjalan meninggalkan dapur.

Karyawan kami sudah mengetahui bahwa bosnya menikah lagi. Sesekali aku dengar mereka membicarakan kami. Mereka merasa iba padaku. Dan mereka seketika akan diam saat menyadari keberadaanku.

💔💔💔

Sudah seminggu Mas Farhan dan Nadia menikah. Mereka juga sudah kembali ke kota tempat kami tinggal. Mas Farhan sudah membeli rumah untuk Nadia. Rumahnya berada satu kilometer dari rumah kami. Dia membagi waktunya tiga hari bersamaku, dan tiga hari bersama Nadia. Dan hari Minggu Mas Farhan memberikan waktunya khusus untuk anak-anak.

Kekosongan mulai terasa. Meskipun sebelum Mas Farhan menikah lagi, aku sudah terbiasa saat dia tak ada, tapi kini terasa lain. Karena ketidak adaan Mas Farhan sekarang sedang berada bersama wanita lain. Wanita yang sama-sama sudah menjadi istri sahnya. Wanita yang mungkin sangat dicintainya.

Kuraba dadaku, aku tekan agar sakit yang kurasa sedikit berkurang. Agar aku bisa berperan dengan baik di depan anak-anak. Bahwa semuanya baik-baik saja. Bukan hanya di depan anak-anak, tetapi aku juga harus bisa menunjukkan bahwa aku baik-baik saja di depan semua orang. Termasuk di depan Mas Farhan dan Nadia.
Ya, aku sudah biasa berteman dengan luka. Kenapa aku harus tidak baik-baik saja?

💔💔💔

Farhan

Sudah satu minggu aku dan Nadia kembali ke kota tempat kami tinggal. Setelah seminggu kami menikah di kampung halaman Nadia kami memutuskan untuk kembali. Saat itu, aku membawa ibu, adikku, juga adik iparku sebagai saksi nikah dari pihakku. Niken menolak untuk ikut.

Dua minggu menikah dengan Nadia, aku merasa menjadi lebih baik. Lima waktu yang bertahun-tahun aku tinggalkan kini kembali aku lakukan. Nadia memang masih muda, tapi dia begitu keibuan. Bukan ingin membandingkan, tapi dulu saat baru menikah dengan Niken, dia adalah pribadi yang begitu manja. Pribadi yang moody-an, juga pribadi yang suka marah-marah. Dia bukan sosok yang agamis. Aku menikah dengannya karena gaya pacaran kami yang kebablasan hingga akhirnya dia hamil dan aku harus bertanggung jawab. Apa aku mencintainya? Sampai sekarang aku tidak tahu. Yang jelas, aku melakukan kewajibanku sebagai suaminya.

Aku membagi waktuku, tiga hari bersama Niken dan tiga hari bersama Nadia. Hari minggu aku khususkan untuk anak-anak. Merekalah penyemangatku.

"Kopinya, Mas ...." Nadia meletakkan kopi untukku di meja di depanku.

"Makasih, Sayang," ucapku. Kemudian dia duduk di sampingku. Aku mengusap kepalanya yang tertutup hijab.

"Mas nggak ke rumah Mbak Niken? Hari senin. Harusnya Mas ke sana."

"Iya, nanti aku ke sana. Kalau semalam nggak hujan, akh sudah di sana sekarang."

"Apa Mbak Niken nggak apa-apa, Mas?"

"Nggak apa-apa. Yang aku lihat dia baik-baik aja. Dia masih sama seperti biasa. Seperti sebelum kita menikah."

"Tapi, Mas ...."

"Sudah, kamu nggak perlu khawatir. Jangan banyak pikiran. Biar dedenya cepet jadi."

"Ih ... Mas apaan sih ... baru juga dua minggu."

"Ya, siapa tahu langsung jadi. Semoga anak pertama kita laki-laki, ya ...."

"Aamiin ...."

Tbc.

💔💔💔

📝10.11.17
Repost, 12.10.18
Repost, 02.09.23

Luka Hati Seorang IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang