44. Ketakutan

43.1K 2.8K 200
                                    


(Jangan tanya kenapa Niken jadi begini, jadi begitu, ya....
Apa yang Niken tunjukkan di part ini, adalah wujud dari ketakutan seorang ibu. Dan jika ada yang bertanya, judulnya Luka Hati Seorang Istri, kenapa malah sekarang jadi terbalik? Ini hanya hukum tabur tuai, yang sekarang memang banyak terjadi di dunia nyata. Siap-siap aja, apa yang Niken rasakan dulu, akan Farhan rasakan di part-part selanjutnya. Jadi, siapkan kebaperannya 😄😄)

***

Naura pulang dari rumah Farhan saat hari sudah sore. Sampai di rumah, Niken sudah menunggunya.

"Dari mana, Nau? Jam segini baru pulang?"

"Maaf, Ma ... tadi Naura mampir ke rumah Ayah. Jadi lupa waktu," jawab Naura jujur, sambil melepas sepatunya kemudian meletakkannya di rak yang ada di teras.

"Gimana kabar ayah kamu?"

"Baik."

"Kok udah nggak pernah ke sini? Apa ayah kamu udah punya calon istri jadi dia lupa sama anak-anaknya?" tanya Niken menyelidik. Bukannya ia terlalu penasaran atau apa, hanya saja menurutnya sifat orang susah untuk diubah. Jadi, bukan hal yang mustahil jika saat ini Farhan sudah kembali ke tabiatnya.

"Nggak, kok, Ma. Ayah cuma sibuk. Saat ini, Ayah udah pindah rumah jadi sebelahan sama warung. Warung juga lagi ramai terus. Ayah lebih banyak bantu-bantu warung. Makanya, kalau pagi Ayah nggak bisa lebih pagi jemput Naura. Ayah pernah ke sini beberapa kali. Tapi pas kita udah pergi," jelas Naura.

"Oh, bagus kalau begitu. Semoga Ayah kamu bisa bangkit lagi usahanya. Meskipun sekarang tanpa Mama."

"Aamiin." Naura memperhatikan Niken. Gadis itu tengah ragu haruskah ia bicarakan ke Niken, atau ia urungkan keinginannya untuk tinggal bersama sang ayah.

"Ehm, Ma...."

"Ya?"

"Boleh Naura bilang sesuatu ke Mama?" Naura tampak ragu-ragu. Ia takut, mamanya tidak akan setuju.

"Ehn, gini ... apa, apa Naura boleh tinggal sama Ayah?"

"Maksud kamu?"

"Naura kasihan sama Ayah, Ma ... sekarang Ayah tinggal sendiri. Tasya tinggal sama neneknya. Kurus banget Ayah sekarang, Ma. Naura pengin tinggal sama Ayah, paling tidak untuk beberapa hari. Boleh, Ma?"

Niken tidak langsung menjawab. Hanya saja, ekspresi wajahnya berubah saat mendengar putri sulungnya ingin tinggal bersama sang ayah.

"Apa Mama nggak baik, Ra? Sehingga kamu ingin meninggalkan Mama? Kamu ingat bagaimana Mama keluar dari rumah lalu tinggal di rumah ini? Kamu ingat, untuk siapa Mama membeli rumah ini? Dan sekarang, kamu ingin meninggalkan Mama?!" Ada nada kecewa dalam ucapan Niken.

"Bukan begitu, Ma ... Naura nggak selamanya tinggal sama Ayah. Hanya beberapa hari. Naura hanya kasihan sama Ayah."

"Kamu lupa bagaimana Ayah menyakiti kita, sehingga sekarang kamu lebih membela ayah kamu daripada Mama?"

"Ok, Ma. Jawabannya nggak boleh. Aku nggak akan maksa, kok." Tanpa menunggu jawaban Niken, Naura meninggalakan Niken di teras kemudian masuk ke kamarnya. Ini adalah pertama kalinya ia tidak sepaham dengan sang mama. Naura tidak menyangka, jika reaksi Niken akan berlebihan seperti itu.

***

Sudah beberapa hari, Naura selalu membantu Farhan setiap pulang sekolah. Gadis itu baru pulang ke rumah mamanya sore harinya.

"Capek, Ra?" tanya Farhan.

Saat jam pulang kantor, warung Farhan memang sangat ramai. Banyak yang membeli untuk makan malam di rumah. Naura membantu Farhan dengan membereskan piring dan gelas kotor pengunjung yang makan di tempat itu.

"Enggak. Naura seneng bisa bantuin Ayah."

"Terima kasih, ya ... oh, iya, gimana kabar Aira sama Dira? Ayah kangen sebenarnya, tapi Ayah nggak enak untuk datang ke rumah."

"Baik, Yah. Datang aja. Pasti mereka seneng ketemu Ayah."

"Kalau Dira Ayah nggak yakin." Kejadian beberapa waktu lalu saat Dira biasa saja dengan kehadirannya, selalu membuat Farhan berkecil hati. Ia menjadi takut sendiri jika mau menemui Dira.

"Yah, namanya juga anak kecil. Cukup dekati Dira seperti saat Mama belum menikah sama Papa Indra, Yah. Pasti Dira akan dekat lagi sama Ayah."

"Begitu, Ya?"

Naura mengangguk setuju. "Gimana kabar Tasya, Yah? Dia betah sama neneknya?"

"Iya, tiap hari Ayah video call sama dia. Dia kelihatannya senang. Nggak pernah minta Ayah jemput."

"Mau selamanya Tasya tinggal di sana?"

"Enggak, suatu saat Ayah pasti membawa Tasya ke sini lagi. Oh, iya. Ayah punya mainan buat Dira, ada di rumah. Titip ya, kamu kasih ke dia!"

"Ok, Yah."

***

"Kamu kenapa?" tanya Indra. Sudah beberapa hari ia melihat istrinya tidak seperti biasanya. Niken terlihat banyak murung.

"Aku takut."

"Takut? Takut kenapa?"

"Takut Naura meninggalkanku."

Kening Indra berkerut. "Meninggalkanmu?"

"Beberapa hari yang lalu, Naura mengatakan ingin tinggal bersama ayahnya. Dan sekarang, setiap hari dia pulang sore, membantu ayahnya di warung. Aku takut, lama-lama Naura nekat tetap tinggal bersama ayahnya meskipun aku tak mengizinkan," adu Niken.

"Kenapa kamu jadi seperti ini sekarang? Kamu tidak seperti dulu, mana sikap optimismu yang dulu?" Indra menatap mata Niken, wanita itu pun sedang menatap mata suaminya.

"Entahlah, akhir-akhir ini, aku selalu dibayang-bayangi ketakutan itu. Ketakutan ditinggalkan anak-anak, apalagi ayah mereka seolah bisa memgambil simpati anak-anak."

"Kamu harus ubah pemikiranmu. Kamu yang pernah bilang, 'kan, meskipun kamu dan ayahnya anak-anak berpisah, dia tetap berhak atas anak-anak. Aku rasa, ketakutan berlebihanmu itu justru akan membuat anak-anak tidak nyaman." Indra mengusap kepala Niken, pria itu berharap istrinya tidak tersinggung dengan kata-katanya.

"Baiklah, akan aku coba."

Indra mengangguk. "Oh, iya. Aku dapat undangan pernikahan dari temanku di luar kota minggu depan. Kamu mau ikut, 'kan?"

"Kalau aku menolak, memang Mas mau bawa siapa?"

"Ya nggak usah datang," jawab Indra enteng

"Udah diundang, nggak enak kalau nggak datang."

"Jadi, kamu mau ikut?"

Niken mengangguk.

"Ok, kita bisa bawa anak-anak."

"Terserah Mas saja."

***

Niken dan Indra akhirnya datang ke acara pernikahan teman Indra itu. Naura dan Aira tidak ikut. Hanya Dira-lah yang ikut.

Lokasi pernikahan teman Indra melewati jalan yang berliku juga menanjak.

"Kok jalannya gini banget, Mas?" keluh Niken karena merasa tidak nyaman. Ia harus menjejakkan kakinya ke mobil untuk menahan tubuhnya. Meskipun sudah menggunakan safety belt, Niken masih merasa kurang nyaman.

"Dia memang ingin resepsi pernikahannya di daerah pegunungan. Biar tamunya juga bisa sekalian relaksasi."

"Tapi perjuangannya gini banget. Mas nggak nyasar, 'kan?"

"Sebentar, aku cek lokasinya di google maps." Sambil menyetir, Indra mengetikkan lokasi yang dituju di ponselnya.

"MAS! Awas!!!"

TBC.

16.01.19
Repost, 21.11.23

Luka Hati Seorang IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang