Niken melipat mukena juga sajadahnya. Saat akan meletakan itu, Niken kaget karena menemukan sosok Farhan sedang duduk di tepi ranjang."Ehm, Mas?! Sudah bangun?"
"Hem," jawab Farhan hanya dengan deheman.
Niken meletakan mukena dan sajadahnya di tempatnya.
"Kamu menangis? Kenapa?" tanya Farhan.
"Apa aku harus menjawabnya?"
"Ya. Karena itu adalah pertanyaan."
"Jika aku enggan untuk menjawab?"
"Ken, aku sedang mencoba untuk memperbaiki hubungan kita. Tapi kenapa kamu seolah memancing emosiku terus?"
"Ya sudah. Biar saja begini keadaannya."
"Aku tahu. Hubunganmu dan Nadia juga tidak baik. Kamu hanya selalu berpura-pura di depanku."
"Oh, dia mengadu?"
"Tidak ada siapa pun yang mengadu. Tapi aku sering memergokimu berkata dengan nada sinis padanya."
"Jadi karena itu kamu ingin hubungan kita membaik, agar aku bisa bersikap manis padanya?"
"Ini yang aku tidak suka dari kamu. Keras kepala. Tidak pernah mau mendengar penjelasan orang lain. Di mana kamu yang kemarin? Yang sudah bisa menjadi lebih bijak. Kenapa kamu harus menjadi sosok kamu yang dulu?!"
"Apa pengaruhnya?! Apa perubahan sikap aku mampu membuat kamu berubah? Aku menutup telinga atas semua hinaan kamu. Aku tidak mengambil hati semua perlakuan kamu. Aku mencoba untuk bersikap manis. Mencoba menjadi istri yang baik di mata suaminya. Aku yang dulu suka membangkang, mencoba untuk menuruti semua ucapan kamu. Meskipun terkadang aku lelah, aku mencoba untuk tidak mengeluh. Tapi aku tetap salah di mata kamu. Apa yang aku lakukan tidak ada artinya di mata kamu. Bahkan apa yang kamu lakukan?! Kamu justru menikahi wanita lain."
"Tapi kamu juga mengizinkan."
"Aku memberi izin karena kamu hanya memberi dua pilihan. Poligami atau bercerai. Kamu pikir aku yang pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi korban broken home, akan membiarkan anak-anakku juga merasakannya?" Niken mengambil napas, "kamu pikir hati aku tidak sakit saat mendapati suamiku lebih peduli pada wanita lain? Kamu pikir aku tidak cemburu membayangkan suamiku disentuh dan menyentuh wanita lain?! Aku memang tidak pernah mengatakan cinta sama kamu. Tapi dengan adanya aku di sini yang lebih memilih kamu dibanding keluargaku, apa itu tidak cukup menjadi bukti?!"
Farhan tak menjawab, hingga Niken melanjutkan ucapannya.
"Dari dulu selama tiga belas tahun kamu memperlakukanku dengan seenaknya dirimu, aku tidak pernah menaruh dendam. Aku selalu memaafkannya. Tapi di saat kamu lebih memilih untuk berbagi semuanya dengan yang lain, di saat itu juga semua yang aku rasakan menguap. Bahkan maaf, tubuhku sangat tidak ingin disentuh olehmu."
"Apa kamu tahu jika itu berdosa?!"
"Ya! Aku tahu! Tapi coba kamu bayangkan, apa kamu rela jika aku tidur dengan pria lain?!"
"Tapi kodrat kita berbeda. Pria bisa beristri lebih dari satu. Tapi wanita hanya diperbolehkan bersuami satu."
"Ya! Itu adalah sebuah alibi yang pria gunakan untuk membela diri. Padahal menjadikan istrinya satu-satunya adalah pilihan yang terbaik."
"Inilah kamu! Kamu sendiri yang akhirnya membuatku membuka hati untuk wanita lain!"
"Sudahlah! Aku lelah pagi-pagi harus berdebat denganmu." Niken akhirnya meninggalkan Farhan di kamar mereka.
***
Lagi-lagi harus beradu mulut. Lelah. Niken benar-benar lelah. Niken bukan tidak mau menggugat cerai, tapi semua harus dipikirkan dengan matang. Ada hak anak-anak yang harus dia pikirkan. Selain itu, dia juga harus terlihat mampu agar hak asuh anak jatuh ke tangannya. Ia tidak mungkin hidup terpisah dari mereka. Melihat sikap dan sifat Farhan, bukan hal yang tak mungkin kalau nantinya Farhan akan mempersulitnya.
Berjalan menuju dapur, Niken melihat sudah ada Nadia di sana.
"Pagi, Mbak?" sapa Nadia. Namun Niken hanya diam saja. "Maaf Mbak, tadi aku mendengar suara ribut-ribut dari kamar Mbak. Apa Mbak, apa ... ehm, Mbak dan Mas Farhan bertengkar?"
"Apa hubungannya sama kamu?" tanya Niken sinis.
"Ehm, maaf. Siapa tahu aku bisa bantu, Mbak."
"Bantu? Bantu apa? Kamulah pokok permasalahannya. Berlagak mau membantu."
"Maaf. Aku telah salah bicara."
Tanpa mereka tahu, Farhan mendengar pembicaraan mereka dari tadi. Farhan mendekati mereka. Kemudian memeluk Niken dari belakang dan mencium pipinya.
"Jangan marah-marah terus. Ini masih pagi." Sekali lagi Farhan mencium pipi istri pertamanya. Nadia yang melihatnya ikut tersenyum.
"Apa, sih?!" Niken mencoba memberontak. Melepas kungkungan tangan Farhan.
"Bangunin anak-anak sana ... kita subuh bareng."
TBC.
***
📝07.02.18
Repost, 29.10.18
Repost, 16.09.23
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Hati Seorang Istri
ChickLitSaat pertama kau melukai, aku masih bertahan. Saat kedua kalinya, aku pun masih demikian. Namun, ketika bertubi-tubi kamu melakukannya, aku memilih untuk pergi. -Niken-