32. USG

82.7K 5.3K 377
                                    

Farhan

"Apa sudah akurat, Dok?" tanyaku lagi karena aku takut apa yang terjadi dulu terulang kembali. Dulu Tasya saat di USG kata dokter juga berjenis kelamin laki-laki. Tetapi ketika lahir perempuan.

"Tentu Pak, sangat akurat sekali. Karena ini adalah USG empat dimensi. Jadi tidak mungkin salah. Bapak bisa melihat dengan jelas jenis kelaminnya, Pak." Dokter itu meletakkan alat yang dipakai ke atas perut Niken di mana tepat di bagian bawah tubuh bayiku dan Niken. Ya, sangat jelas. Anakku laki-laki. Allah telah memberiku anugerah lewat wanita yang telah aku sia-siakan. Wanita yang aku baru sadar jika aku sangat mencintainya di saat kami sudah tidak ada ikatan. Aku sangat ingin mencium keningnya, namun sayang itu tidak mungkin aku lakukan.

Aku memperhatikan monitor di mana di sana terlihat jelas wajah bayiku. Di sana tampak dia sedang mengemut salah satu jarinya. Aku yakin, setelah bayi kami lahir, dia akan sangat menggemaskan.

 Aku yakin, setelah bayi kami lahir, dia akan sangat menggemaskan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku melihat ke arah Niken, dia terlihat sangat bahagia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku melihat ke arah Niken, dia terlihat sangat bahagia. Memang, dia harus bahagia sekarang setelah sekian lama aku memberinya penderitaan.

Setelah mendapat resep vitamin dan menebusnya, kami pulang. Senyum bahagia tak pernah hilang dari bibir mantan istriku. Mantan istri yang sesungguhnya aku masih ingin menjadikannya istri. Namun, apa daya aku tidak mungkin memaksakan kehendakku lagi.

Aku berniat menidurkan Tasya yang tertidur di jok belakang. Namun, Niken mencegahnya.

"Biar aku pangku, Mas ...."

"Tapi bayi kita?"

"Tidak apa-apa. Kasihan kalau di belakang. Takutnya nanti malah jatuh."

"Baiklah. Terima kasih ya ...."

"Iya ...." Aku meletakkan Tasya di atas pangkuan Niken. Tentu saja dengan pelan dan sangat hati-hati. Agar tidak terlalu menekan ke perut Niken.

***

Setelah mengantar Niken sampai rumah, aku langsung pulang. Ya, istriku Nadia sekarang. Niken benar, aku harus memperhatikannya.

Sesampainya di rumah, aku menidurkan Tasya di dalam box bayi yang berada di kamarku dan Nadia.

"Mas ..., " panggil Nadia dengan suara yang sangat pelan.

"Iya, Sayang?" Aku mendekatinya.

"Tasya tidur?"

"Iya ...."

"Kasihan Naura, dia pasti lelah menjaga Tasya."

"Mau bagaimana lagi, Tasya tidak mau dengan siapa pun."

"Maafkan aku ya, Mas ...."

"Maaf untuk apa?"

"Maaf, karena aku sudah menyusahkan Mas. Karena kehadiranku, Mas dan Mbak Niken bercerai."

"Ini bukan salah kamu. Aku yang salah. Aku yang terlalu egois. Aku juga kan yang dulu memaksamu untuk mau menikah denganku? Seandainya aku tidak memaksamu, pasti keadaannya tidak akan seperti ini. Masa mudamu juga tidak akan sia-sia. Hanya bersama laki-laki tua sepertiku."

"Aku merasa sangat bersalah pada Mbak Niken. Juga pada Naura dan Aira. Oh iya Mas, aku dengar katanya Mbak Niken hamil? Apa benar?"

"Iya... Niken hamil."

"Kasihan sekali Mbak Niken. Hamil tanpa ada Mas di sisinya. Seandainya Mbak Niken mau rujuk Mas ...."

"Meskipun keadaan kami seperti ini, aku berjanji akan bertanggungjawab terhadap anak yang dikandungnya. Mau bagaimana lagi, Niken tidak mau rujuk denganku. Yang terpenting sekarang, kamu harus berjuang agar kamu bisa sembuh."

"Aku rasa aku tidak akan sembuh, Mas. Aku hanya menghabiskan uang Mas saja."

"Di mana kamu yang dulu? Kenapa kamu sekarang sepesimis ini?"

"Karena sekarang aku hanya menyusahkanmu, Mas."

"Tidak. Aku suamimu. Itu sudah menjadi kewajibanku." Apa yang terjadi membuatku sadar. Tidak seharusnya aku dulu semena-mena kepada Niken. Tidak seharusnya aku dulu menganggapnya tidak berharga. Padahal apa yang aku miliki sekarang adalah hasil kerja kerasnya. Jika bukan Niken yang membantuku, aku tidak mungkin bisa memiliki warung sampai beberapa cabang dalam waktu yang cepat.

Memang benar, penyesalan selalu datang di akhir. Dan aku tidak tahu, penyesalanku kapan akan berakhir.

***

Niken

Aku bahagia. Aku sangat bahagia. Hari ini aku menemui dokter kandunganku dan kami melakukan USG. Akhirnya harapanku terkabul. Anakku laki-laki. Meskipun adanya bayi ini awalnya karena pemaksaan, tapi aku sudah menerima semuanya. Aku sudah mengikhlaskan semua yang terjadi padaku.

Mas Farhan menemaniku. Aku lihat Mas Farhan sudah banyak berubah sekarang. Semoga saja selamanya akan seperti ini. Tidak apa-apa kami berpisah, yang penting anak-anak kami masih bisa merasakan kasih sayang ayahnya.

Di dalam mobil tadi saat pulang dari rumah sakit, kami tidak banyak bicara. Aku melihat gurat penyesalan di mata Mas Farhan tiap menatap matanya. Aku memang merasa iba padanya. Ada sedikit keinginan untuk rujuk dengannya. Tapi tidak. Itu tidak mungkin aku lakukan. Nadia lebih membutuhkan Mas Farhan. Aku juga tidak mau hidup bertiga dalam rumah tangga poligami. Aku masih belum bisa ikhlas untuk berbagi suami. Dan saat ini aku lebih ikhlas untuk merelakan Mas Farhan menjadi milik Nadia seutuhnya. Paling tidak, kami bertiga tidak harus berdosa untuk menyakiti satu sama lain.

TBC.

***

FYI, warung yang dimiliki Farhan ceritanya bukan warung tenda ya... 😁
Ini itu terinspirasi dari warung padang yang ada di Semarang, yang dalam waktu satu tahun sudah memiliki lebih dari sepuluh cabang. (Kebetulan saudara saya yang menyuplai semua bahan mentah 😅) nggak tahu juga si yang punya itu satu orang, atau bagi hasil atau apa. Kalau Di sini ceritanya yang punya cuma si Bapak Farhan dan Ibu Niken.


📝25.02.18
Repost, 16.11.18
Repost, 02.10.23

Luka Hati Seorang IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang