***
Farhan bangun dari tidurnya saat mendengar azan subuh. Ia beranjak dari sofa, lalu berjalan ke arah kamar mandi. Meskipun tidak ada yang terjadi semalam, sudah terbiasa baginya untuk mandi sebelum salat subuh.
Selesai mandi, pria itu berjalan ke arah Niken. Duduk di tepi ranjang, membungkukkan badan, lalu diraihnya kening, pipi, kemudian bibir sang istri dengan bibirnya. Hanya itu yang bisa ia lakukan karena dalam keadaan sadar, Farhan belum berani melakukannya. Canggung, rendah diri, dan perasaan tidak enak masih saja mendominasi.
Diperhatikannya wajah polos di depannya yang masih memejamkan mata.
"Sayang, kamu cantik. Sayangnya aku buta, tidak bisa melihat semua itu. Izinkan aku menebus kebutaanku, izinkan aku menebus kesalahan-kesalahanku. Izinkan aku membuktikan aku telah berubah. Aku sangat mencintaimu. Aku tidak mau kehilanganmu lagi."
Sekali lagi Farhan mencium kening Niken. Lebih lama dari ciuman sebelumnya. Takut wanita itu terbangun, ia segera menegakkan tubuh kembali.
"Ken ... bangun. Udah azan." Ingin rasanya memanggil sayang, tetapi Farhan urungkan. Ia tahu, meskipun sudah resmi menjadi suami-istri kembali, Niken belum bisa menerima kehadirannya seutuhnya.
Niken menggeliat, mengucek mata, kemudian membukanya perlahan. Melihat sosok yang duduk di samping tubuhnya, ia berjengkit. Tubuhnya benar-benar belum bisa menerima kehadiran 'mantan mantan suaminya' itu.
"Maaf, aku mengagetkanmu. Aku hanya ingin membangunkanmu. Udah waktunya subuh," Farhan berucap selembut mungkin.
Niken yang merasa reaksi tubuhnya terlalu berlebihan, menjadi tidak enak. "Ehm ... aku yang minta maaf. Beberapa bulan sendiri, aku jadi belum terbiasa dengan kehadiran Mas. Apalagi kita juga baru kemarin menikah."
Farhan tersenyum. "Enggak apa-apa. Sekarang, kamu cuci muka, terus wudu. Aku akan bangunkan anak-anak. Di mana kalian biasanya salat berjamaah?"
"Di ruang kelurga."
Rumah Niken yang kecil memang tidak memiliki ruangan khusus untuk salat. Rumah itu hanya memiliki tiga kamar. Satu kamar Niken, satu kamar Naura dan Aira, satunya lagi kamar untuk pengasuh Dira yang semenjak Niken mengalami kecelakaan sering juga tidur bersama balita itu.
Niken masuk ke kamar mandi, sementara Farhan keluar. Kamar Naura dan Aira-lah tujuannya. Setelah berada di dalam, ia segera membangunkan kedua putrinya. Dengan muka bantal dan aroma sedap dari mulutnya, kedua putri Farhan itu kompak mencium pipi sang ayah.
"Selamat pagi, Ayah ...," sapa mereka berbarengan.
Refleks, Farhan menutup hidung. "Baunya sedap banget, nih, putri-putri Ayah ...."
Bukannya tersinggung, Naura dan Aira malah tertawa.
"Gosok gigi, cuci muka, terus wudu. Kita salat bareng. Ayah tunggu di ruang keluarga."
Lagi, putri-putri Niken itu mencium pipi ayahnya.
"Oke, Yah ...."
Kebahagiaan benar-benar tidak bisa disembunyikan oleh gadis berusia enam belas dan sembilan tahun itu.
***
Usai salat subuh, Niken menyibukkan diri di dapur. Saat ia sedang menguleg bumbu untuk sup, Farhan menghampiri.
"Mau masak apa?" tanya Farhan.
"Sup ayam sama tempe goreng."
Mendengar jawaban sang istri, Farhan langsung mengambil wortel, kentang, buncis, dan seledri dari dalam kulkas. Kemudian, mengambil ayam yang berada di dalam freezer. Untuk tempe, memang tidak Niken simpan di kulkas. Sengaja ia membeli tempe yang belum terlalu jadi, agar jika dimasak keesokan harinya, masih enak dimakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Hati Seorang Istri
ChickLitSaat pertama kau melukai, aku masih bertahan. Saat kedua kalinya, aku pun masih demikian. Namun, ketika bertubi-tubi kamu melakukannya, aku memilih untuk pergi. -Niken-