Farhan sibuk menemani Nadia. Apalagi dokter mengatakan jika Nadia tidak bisa menjalani operasi pengangkatan payudara karena sel kanker yang sudah menyebar. Nadia harus menjalani kemoterapi seminggu sekali. Setiap minggu ia harus menginap di rumah sakit. Ibu Nadia akhirnya sekarang tinggal bersama Farhan dan Nadia agar bisa menemani Nadia saat Farhan pergi. Untungnya adik-adik Nadia memahami keadaan kakak mereka. Mereka juga sebenarnya ingin ikut menemani Nadia, tetapi mereka yang masih sekolah membuat mereka tidak mungkin melakukannya. Sementara Tasya sekarang sering bersama Niken. Hal itu membuat Tasya dan Niken makin dekat.
Hari ini sidang penentuan nasib rumah tangga mereka. Farhan datang ke pengadilan. Sementara Nadia dijaga oleh ibunya. Sepanjang sidang, Farhan hanya bisa diam. Menatap lekat Niken dengan rasa bersalah yang makin menjadi.
Pengadilan memutuskan harta bersama yang mereka miliki akan dibagi empat. Rumah, mobil, tabungan juga sepuluh warung mereka. Namun, karena melihat keadaan sekarang, dan Niken juga sudah mempunyai pendapatan sendiri, Niken tidak akan mengambil haknya. Hanya hak anak-anaknya yang akan dia ambil. Yaitu sumber pemasukan berupa enam warung, di mana tiga untuk Naura, dan tiga untuk Aira. Juga tabungan mereka yang juga dibagi empat, namun Niken hanya meminta enam puluh persen. Yang juga akan ia gunakan untuk masa depan anak-anaknya. Bukan tanpa alasan, dan bukan bermaksud menolak rezeki. Tetapi apa yang Niken lakukan lebih kepada rasa kemanusiaan. Karena Farhan sedang membutuhkan banyak uang saat ini. Niken yakin dengan kerja keras, tanpa harta Farhan pun Niken pasti bisa bertahan.
Mereka resmi bercerai setelah hakim mengetuk palu. Ada air mata kesedihan di sana, ibu Farhan yang ikut hadir juga ikut meneteskannya. Ia memeluk menantunya dengan erat. Menantu yang sudah banyak membantunya."Terima kasih ya, Nak, atas perhatian kamu selama ini ke ibu. Maafkan ibu yang tidak bisa berbuat apa-apa hingga akhirnya semua ini terjadi."
"Sudahlah, Bu, ini sudah jadi jalan takdirku. Ibu tidak perlu minta maaf."
"Kenapa kamu menolak bagianmu?"
"Bukannya aku menolak, Bu, Mas Farhan dan Ibu lebih membutuhkannya. Buatku, yang penting hak anak-anak. Karena mereka juga ikut merasakan susah dulu. Alhamdulillah, aku juga punya usaha sendiri. Dan rumah yang aku tempati, itu rumah yang aku beli sendiri, Bu."
"Benarkah?" Niken mengangguk. "Kamu hebat, Nak ... kamu hebat. Ibu doakan semoga usahamu lancar, meskipun kalian bercerai, kamu tidak membatasi kami bertemu anak-anak, kan?"
"Aamiin. Tidak, Bu. Ibu dan Mas Farhan bebas menemui mereka kapan pun kalian mau." Ibu Farhan kembali memeluk Niken.
Anak-anak akan tinggal bersama Niken. Karena hak asuh jatuh ke tangan Niken. Farhan hanya bisa legowo menerima semua keputusan."Maaf, Bu, bisa aku bicara dengan Niken?"
"Oh ya, ibu pamit dulu ya."
"Iya, Bu."
Setelah ibu Farhan pergi, "Maukah kamu pergi denganku?" tanya Farhan.
"Aku bawa motor, Mas. Kita bisa cari tempat di sekitar sini."
"Baiklah."
Akhirnya mereka duduk di salah satu cafe dekat pengadilan agama.
"Apakah yang aku dengar tadi benar?"
"Tentang apa?"
"Tentang usahamu."
Niken menghela napas. "Iya. Benar."
"Kamu memang wanita hebat. Wanita hebat yang sudah aku sia-siakan."
"Apa sekarang Mas menyesal?"
"Lebih dari menyesal."
"Mas tidak boleh seperti itu. Cukup aku. Cukup aku yang menjadi sumber penyesalan Mas. Mas masih punya Nadia yang harus Mas jaga perasaannya. Jangan sampai karena rasa sesal Mas terhadapku, Mas kembali menyakiti hati wanita. Aku tidak apa, Mas. Aku sudah mengikhlaskan semua yang terjadi."
"Kamu punya usaha apa?"
"Cafe."
"Cafe?!"
"Iya. Dan Alhamdulillah, sejak awal buka sampai sekarang, selalu ramai. Tidak pernah sepi pengunjung."
"Kapan kamu memulainya?"
"Sejak kita masih bersama. Awalnya aku menyewa tempat, lalu aku buka cafe. Dan Alhamdulillah selalu ramai. Dengan tabunganku, dan uang hasil cafeku aku membeli rumah. Walaupun kecil, yang penting aku merasa nyaman."
Farhan kehabisan kata-kata. Ia benar-benar telah menyia-nyiakan wanita hebat di depannya.
"Aku cuma minta sama Mas, apapun yang terjadi, tetap sayangi anak-anak ya ... jangan ada yang berubah. Meskipun kita sudah resmi berpisah. Aku juga tidak akan pernah melarang Mas kapan pun ingin bertemu mereka."
"Terima kasih. Maafkan aku ya, yang dulu pernah punya niat untuk memisahkanmu dari anak-anak jika sampai kita berpisah."
"Sudahlah, Mas. Kita sama-sama buka lembaran baru. Aku juga sudah lelah jika harus menggunakan egoku terus. Kita besarkan anak-anak kita sama-sama. Meskipun dalam kondisi yang berbeda."
"Bolehkah aku memelukmu?" Niken mengangguk. Mereka sama-sama berdiri. Tanpa aba-aba Farhan memeluk mantan istrinya itu. Menghapus jarak di antara mereka. Farhan tidak peduli dengan pandangan orang-orang yang berada di cafe saat ini. Tangan Farhan berada di punggung dan pinggang Niken menekannya semakin erat. Niken lupa jika kandungannya yang sudah memasuki bulan ke empat, membuat perutnya sedikit menonjol. Farhan juga merasakan itu. Farhan melepaskan pelukannya di tubuh Niken.
"Ap--appa, appa ka--kamu hammil?"
***
Tbc.
***
24.02.18
Repost, 13.11.18
Repost, 28.09.23
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Hati Seorang Istri
ChickLitSaat pertama kau melukai, aku masih bertahan. Saat kedua kalinya, aku pun masih demikian. Namun, ketika bertubi-tubi kamu melakukannya, aku memilih untuk pergi. -Niken-