"Maaf, Pak, tadi ibu ke sini," ucap salah satu pegawai Farhan saat Farhan datang ke warung. Semenjak Niken pergi, Farhan menjadi pontang panting sendirian."Ibu? Niken?"
"Iya, Pak."
"Kapan? Jam berapa? Di mana dia sekarang?" tanya Farhan dengan tidak sabar.
"Sekitar satu jam yang lalu. Beliau hanya menitipkan ini. Setelah itu beliau pergi," jawab pegawai Farhan. Bukan hanya Farhan yang kehilangan Niken, tetapi semua pegawainya juga sangat kehilangannya. Semenjak Niken pergi, Niken tidak pernah lagi mengunjungi mereka.
Farhan menerima amplop berwarna cokelat yang dititipkan Niken kepada pegawainya. Membukanya dengan terburu-buru.
"Apa kamu tahu dia pergi kemana?" tanya Farhan setelah membaca isi dari amplop cokelat itu.
"Tidak, Pak."
"Ya, sudah. Kamu lanjutkan lagi pekerjaanmu."
"Baik, Pak."
'Niken ... kemana kamu? Apa kamu sungguh-sungguh malakukan ini?'
**
"Sebelumnya, saya sudah jelaskan pada Ibu, kalau kehamilan Ibu sangat berisiko. Jika saja ibu mendengarkan saya waktu itu, untuk menggugurkan bayi Ibu dan mau melakukan kemoterapi ataupun operasi, mungkin sekarang tidak akan separah ini."
"Tapi saya tidak mungkin membunuh darah daging saya sendiri, Dok."
"Hidup memang pilihan, Bu."
"Anak saya sekarang rewel, Dok. Saya tidak bisa memberinya ASI. Tapi dia juga tidak begitu mau meminum susu formula."
"Sebaiknya sekarang Ibu bicarakan penyakit Ibu pada suami Ibu. Agar secepatnya bisa kita lakukan operasi."
"Apa hanya itu satu-satunya jalan, Dok?"
"Iya, hanya itu."
Beberapa bulan yang lalu, tepatnya saat usia kandungan Nadia berusia tiga bulan, ia mendapat kabar buruk. Yaitu berupa vonis dokter yang mengatakan bahwa dirinya terkena kanker payudara. Awalnya ia tidak ambil pusing akan hal itu. Karena kondisi tubuhnya masih bisa dibilang fit. Tetapi saat usia kanduangannya delapan bulan, dokter mengatakan jika sel kanker Nadia makin menyebar dan dapat dipastikan Nadia tidak bisa memberikan ASI kepada bayinya.
Padahal Nadia mencoba mengkonsumsi obat herbal, dengan harapan ia akan sembuh, dan setelah anaknya lahir ia akan meninggalkan Farhan. Yang terjadi justru semakin parah.
Farhan tidak tahu sama sekali tentang penyakit yang diderita Nadia. Nadia juga sama sekali tidak ingin Farhan mengetahuinya. Ia tidak ingin makin menambah beban Farhan.
***
Tidak sengaja Farhan melewati sekolah Aira saat jam istirahat. Entah kenapa Farhan ingin menemui Aira. Farhan menepikan mobilnya, kemudian ia turun dari mobil. Lalu masuk ke dalam sekolah Aira dan mencari kelas Aira.
Langkah Farhan terhenti tepat di depan pintu kelas Aira. Farhan kaget. Namun, juga ada rasa bahagia dalam hatinya. Di sana, di dalam kelas Aira, Farhan melihat Niken sedang menyuapi Aira. Aira tampak sangat bahagia bersama Niken. Tidak ingin merusak kebahagiaan putrinya, Farhan memilih untuk menunggu Niken di dalam mobil.
Lima belas menit menunggu, akhirnya Farhan melihat Niken keluar dari gerbang sekolah Aira. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Farhan segera turun dari mobil dan menghampiri Niken.
"Mas?!" Niken terkejut melihat Farhan ada di depannya. Farhan menuntun tangan Niken dan menyuruhnya masuk ke mobilnya.
Setelah berada di dalam mobil, "Kenapa kamu pergi? Kenapa kamu melakukan semua ini?"
"Kenapa aku pergi? Bukannya Mas yang menyuruhku pergi?"
"Kenapa kamu seperti baru mengenalku?"
"Mas, aku lelah terus-menerus menghadapimu. Menghadapi sifat dan sikap kamu. Bukankah ini yang Mas mau? Aku pergi. Dengan cara ini aku tak lagi membebanimu?!"
"Dan apa maksudnya ini?" tanya Farhan sambil menunjukkan amplop cokelat di tangannya.
"Aku memilih untuk berpisah. Aku memilih untuk bercerai."
"Dengan begitu kamu tidak akan bisa tinggal bersama anak-anak lagi?!"
"Tidak apa. Asalkan mereka tetap mendapat hak mereka. Bagaimanapun juga, mereka ada di saat kita susah. Tanpa mengeluh, tanpa merengek, tidak apa jika aku yang tidak mendapatkan apa-apa dari Mas. Asalkan mereka tetap mendapatkannya."
"Kamu tidak ingin mempertimbangkannya lagi?"
"Tiga balas tahun aku rasa bukan waktu yang sebentar untuk mempertimbangkan ini."
"Kamu tidak memikirkan anak-anak? Kamu tidak memikirkan warung yang kita bangun dari nol?"
"Anak-anak akan mengerti seiring berjalannya waktu. Kamu bilang warung yang kita bangun dari nol? Apa saat kamu ijab kabul dengan wanita lain kamu juga memikirkan itu? Bukannya yang selalu ada di otak kamu, kamu sukses karena usaha kamu? Sementara aku hanya bisa membebanimu?"
"Ken ... tolonglah ...."
"Maaf, Mas, keputusanku sudah bulat."
"Apa yang bisa menahanmu untuk tetap bersamaku?"
"Tidak ada. Aku hanya ingin kita bercerai. Setelah itu tugas kamu hanya membahagiakan istri dan anak-anak kamu. Jangan perlakukan dia seperti apa Mas memperlakukanku. Dan maaf, aku harus pergi." Niken sudah akan membuka pintu mobil. Namun, Farhan menahannya.
"Tolong ... aku mohon ... tetaplah bersamaku."
"Maaf, Mas, sisa hidupku terlalu berharga hanya untuk dihabiskan menghadapi kekerasan hati, sifat, dan sikap kamu." Niken turun dari mobil Farhan. Ia segera mengendarai sepeda motornya. Sepeda motor yang dibelinya dengan uangnya sendiri. Meskipun bekas, tapi baginya yang penting bisa ia gunakan. Untuk mengecoh takut Farhan mengikutinya, Niken sengaja melalui jalan-jalan sempit yang tidak bisa dilalui mobil.
TBC.
***
📝16.02.18
Repost, 06.11.18
Repost, 22.09.23
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Hati Seorang Istri
ChickLitSaat pertama kau melukai, aku masih bertahan. Saat kedua kalinya, aku pun masih demikian. Namun, ketika bertubi-tubi kamu melakukannya, aku memilih untuk pergi. -Niken-