Selama Nadia di rumah sakit, tidak sekalipun Niken datang menjenguknya. Apalagi setelah mendengar ada ibu Farhan yang menjaganya.
"Kamu tidak ingin melihat anakku dan Nadia?" tanya Farhan saat baru saja pulang dari mengantar anak-anak ke sekolah.
"Aku sibuk. Dan lagipula, besok juga pasti sudah diperbolehkan untuk pulang," jawab Niken cuek.
Farhan menghela napas. "Ibu dan Ibu Nadia kemarin menanyakanmu."
"Kan Mas bisa jawab kalau aku sibuk."
"Ibu ingin bertemu denganmu. Sudah lama kalian tidak bertemu."
Niken diam. "Oh ya! Kemarin apa jenis kelaminnya? Perempuan?"
"Apa aku sudah tidak ada artinya buat kamu, sehingga semua hal tentang aku kamu melupakannya begitu saja?"
"Apa rasanya, hm? Apa rasanya dilupakan? Apa rasanya tidak dihargai? Ini belum seberapa dibanding dengan apa yang Mas lakukan."
"Kamu ingin balas dendam?"
"Bukan balas dendam. Hanya timbal balik. Seperti apa Mas padaku, begitu juga apa yang akan Mas dapat dari aku."
"Ada apa lagi sama kamu?"
"Mas bisa menyakitiku sesuka hati Mas. Tapi di saat Mas mulai menyakiti anak-anak, jangan dikira aku akan diam saja."
"Siapa yang menyakiti anak-anak?!"
"Dengan Mas mengancam anak-anak, apa itu namanya Mas tidak menyakiti anak-anak?"
"Mengancam?" tanya Farhan bingung.
"Ya! Itulah sifat Mas. Selalu dengan gampangnya menyakiti orang lain. Sehingga apa yang Mas ucapkan, Mas tidak akan pernah sadar itu menyakiti atau tidak!"
"Aku tidak mengerti maksud kamu!"
"Mas mengancam Naura, jika sampai kita bercerai, Mas tidak akan mengizinkan kami untuk bertemu. Apa Mas pikir, itu tidak menyakiti hati Naura?! Kami punya perasaan Mas, dan sabarku ada batasnya. Jangan pernah menyalahkanku jika suatu saat aku akan menyerah. Tapi aku takan pernah membiarkan Mas memisahkan kami." Seperti sebelum-sebelumnya, Niken meninggalkan Farhan setelah mengucapkan itu.
***
Nadia pulang dari rumah sakit. Kebetulan ibu Nadia juga ikut mengantar Nadia ke rumah Farhan dan Niken. Beliau baru akan pulang esok hari.
Niken dan anak-anak pulang di saat mereka sedang berkumpul di ruang tengah. Niken mencium tangan ibu Farhan, juga ibu Nadia. Begitu juga dengan Naura dan Aira.
"Baru pulang, Ken?" tanya ibu Farhan.
"Iya, Bu," jawab Niken. Tidak berniat untuk bergabung dengan mereka, Niken memutuskan untuk pamit ke kamarnya. "Saya ke dalam dulu. Permisi."
Sebagai sesama wanita, ibu Farhan dapat merasakan apa yang Niken rasakan. Beliau sangat menyadari anaknya memang sangat keras kepala. Ibu Farhan juga merasa bersalah karena beliau turut andil dalam pembentukan karakter Farhan.
Dulu saat Farhan masih kecil, ayah dan ibu Farhan bercerai. Dan ibu Farhan memutuskan untuk menikah lagi. Sedangkan Farhan dibesarkan oleh neneknya. Ibu dari ibu Farhan. Karena itu ibu Farhan juga tidak berani berkata apa pun pada Farhan. Karena secara tidak langsung, ibu Farhan telah menelantarkan Farhan hingga Farhan kurang merasakan kasih sayang orang tuanya. Apalagi ayah dan ibu Farhan bercerai dengan tidak baik-baik. Tetapi sekarang ibu Farhan justru menggantungkan hidupnya pada Farhan. Putra yang telah ditinggalkannya.
Tidak hanya ibu Farhan, ibu Nadia juga merasa iba. Jika ia tahu dari awal putrinya akan menjadi istri kedua, mungkin beliau akan melarang Nadia untuk menikah dengan Farhan. Sayangnya, awalnya ibu Nadia mengira Farhan adalah seorang duda. Salahnya beliau tidak menanyakan terlebih dahulu status Farhan, selain itu Nadia juga tidak menjelaskan. Beliau tahu setelah saudara-saudara Nadia mengurus surat-surat yang dibutuhkan untuk menikah Farhan dan Nadia. Membatalkan pun beliau merasa tidak mungkin. Karena tidak mau menanggung malu.
Farhan mengikuti Niken ke dalam kamar. "Tolonglah. Mengobrolah dengan mereka. Jika kamu merasa enggan, berpura-puralah," pinta Farhan.
"Kenapa?"
"Aku tidak ingin, mereka mengira kita ada masalah."
"Ck. Ok. Aku mandi dulu." Malas berdebat, akhirnya Niken mengiyakan permintaan Farhan.
***
Naura dan Aira tampak biasa saja dengan kehadiran adik baru mereka. Mereka lebih memilih untuk bergelayut manja di lengan kanan kiri neneknya. Karena memang mereka jarang sekali bertemu.
"Naura nggak mau gendong adik bayi?" tanya ibu Farhan.
"Nggak Nek. Belum bisa. Takut jatuh," jawab Naura dengan kepala menyender di pundak kanan neneknya.
Bayi Nadia saat ini sedang berada dipangkuannya. Farhan duduk di samping Nadia. Ada rasa kecewa memang dalam diri Farhan. Tapi dia mencoba menyembunyikannya sebisa mungkin.
Di dapur ada Niken yang sedang menyiapkan makan malam. Seperti biasa, menu dari warungnyalah yang dia pilih.
Selain Niken, ada ibu Nadia juga yang membantu Niken memanasi lauk-lauk itu.
"Nak Niken," panggil ibu Nadia lirih.
"Ya, Bu?"
"Ibu minta maaf atas nama anak ibu."
"Maksud Ibu?"
"Ibu tahu bagaimana perasaan Nak Niken. Maafkan ibu yang tidak melarang anak ibu untuk menikah dengan Nak Farhan. Jika ibu tahu dari awal, ibu pasti telah melarang mereka menikah."
"Sudahlah, Bu. Semua sudah terjadi. Tidak ada yang perlu dimaafkan." Ibu Nadia tahu jika Niken hanya berpura-pura, tetapi beliau juga tidak bisa melakukan apapun karena beliau tidak mungkin mencampuri urusan rumah tangga putrinya.
***
Ibu Nadia dan ibu Farhan sudah kembali ke rumah mereka. Farhan sedang mengantar anak-anak ke sekolah. Saat Niken sedang membersihkan meja makan, Niken mendengar suara tangis bayi dari dalam kamar Nadia. Suara tangis itu makin terdengar.
"Ck. Sedang apa sih Nadia?!" tanya Niken pada dirinya sendiri.
Niken memasuki kamar Nadia, terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Niken mendekati box bayi Nadia. Dengan pelan, Niken mengangkat bayi itu.
"Cup cup, Sayang. Udah ya, cup mama kamu lagi mandi. Udah ya jangan nangis lagi, ada mama Niken di sini. Kamu nggak sendirian ... cup ... cup ...." Niken mengayun anak Nadia dengan pelan karena nalurinya sebagai seorang ibu, bayi itu pun terdiam dalam gendongan Niken.
"Maafkan mama Niken, Sayang. Mama Niken nggak benci sama kamu. Maafkan mama Niken yang nggak menunjukkan kalau mama Niken juga sayang sama kamu," ucap Niken dengan sangat lirih. Kemudian menciumi seluruh permukaan wajah bayi yang baru berusia beberapa hari itu.
TBC.
***
📝12.02.18
Repost, 31.10.18
Repost, 19.09.23
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Hati Seorang Istri
ChickLitSaat pertama kau melukai, aku masih bertahan. Saat kedua kalinya, aku pun masih demikian. Namun, ketika bertubi-tubi kamu melakukannya, aku memilih untuk pergi. -Niken-