15. HURTING ME (again)

65.2K 4.6K 570
                                    


"Ada apa ini? Kok kayaknya tegang banget?" Suara Niken membuat Naura yang kaget dengan pertanyaan ayahnya berlari memeluk Niken.

"Mama. Mama dari mana saja, Ma? Naura takut kalau Mama pergi."

"Kamu ngomong apa, sih? Memangnya mama mau pergi kemana? Mama tadi ada urusan."

"Maafin Naura, Ma, ponsel Naura mati. Naura lupa nggak mengisi baterainya."

"Iya, nggak apa-apa, Sayang. Kenapa nangis segala?" Niken menghapus air mata Naura di pipi putrinya itu.

"Maafin Naura, Ma, kenapa Mama nggak ngomong ke Naura kalau Mama mau kasih kejutan buat Aira?"

"Mama lupa, Sayang. Sudah mandi sore belum? Aira mana?"

"Belum, Ma. Aira tidur dari tadi siang belum bangun. Semalam nggak bisa tidur."

"Ya sudah, kamu mandi dulu sana."

"Iya, Ma," jawab Naura kemudian meninggalkan orang tuanya.

"Dari mana saja kamu?"

"Abis nyari pelipur hati."

"Pergi saharian? Tanpa ingat yang ada di rumah?!"

"Mana aku tahu kalian sudah pulang. Ya sudah lah, nggak usah apa-apa dipermasalahin."

"Kamu ini–"

"Dibikin enjoy aja kenapa sih, Mas, jangan narik urat mulu. Aku capek."

"Kamu pikir aku nggak capek?!"

"Makanya, sudah. Tenaganya jangan dipakai buat marah-marah terus. Aku lho, yang seharusnya marah. Tapi selalu aja kamu yang ngambil jatahku buat marah. Aku gerah Mas, mau mandi." Niken berjalan menuju kamarnya. Namun, ucapan Farhan membuatnya menghentikan langkahnya.

"Aku akan bawa Nadia ke sini." Niken membalikkan badannya.

"Kamu kenapa sih, Mas? Kenapa kamu selalu nguji kesabaran aku?"

"Perut Nadia makin besar, aku akan tenang kalau ada yang nemenin dia di saat nggak ada aku."

"Dia punya keluarga. Kenapa juga harus di sini?!"

"Keluarganya di luar kota. Ibunya harus mengurus adik-adiknya yang masih sekolah."

"Kamu bisa membayar asisten rumah tangga."

"Aku tidak percaya pada orang asing. Lagipula ini rumahku. Aku berhak membawa siapa pun yang aku mau untuk tinggal di sini."

"Oh, begitu? Ya sudah terserah kamu. Tapi aku sudah capek mengurus rumah, warung juga anak-anak. Aku nggak bisa disibukkan lagi dengan hadirnya wanita kesayanganmu itu." Niken melenggang pergi meninggalkan Farhan.

***

Malamnya seperti biasa Niken menemani kedua anaknya belajar di kamar mereka. Aira sedang membaca buku paket pelajaran untuk hari esok. Sedangkan Naura tampak tak sedikit pun dapat konsen belajar.

"Kamu kenapa?" tanya Niken.

"Ma, maafin Naura kemarin, Ma. Tadinya Naura nggak mau ikut, karena ayah bilang Mama nggak mau ikut. Tapi ayah maksa, Ma."

"Iya, sudah jangan dipikirkan. Mama nggak apa-apa kok, Sayang. Sudah ah, jangan nangis terus. Nanti malah kamu sakit." Naura memeluk Niken sambil menangis.

"Naura ingin Mama bahagia. Tapi Naura nggak mau pisah sama Mama."

"Sssstttt, mama nggak akan ke mana-mana. Mama akan selalu berada di sini. Sama Naura, sama Aira juga ...."

"Mama sama Kakak kok nangis? Kenapa?" tanya Aira yang baru menyadari jika mama dan kakaknya tengah berpelukan sambil menangis.

"Nggak apa-apa, Sayang. Nggak ada apa-apa," jawab Niken.

"Aira mau dipeluk juga."

"Sini, Sayang."

***

"Aku ingin kamu tinggal sama kami. Biar aku tenang."

"Tapi Mas, aku nggak apa-apa tinggal di sini. Lagipula kandunganku sehat-sehat saja, Mas. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Tapi di sana kamu nggak sendirian."

"Mas, akan lebih baik jika aku dan Mbak Niken nggak serumah, Mas. Lagipula aku nggak enak sama Mbak Niken."

"Kenapa nggak enak? Itu rumahku. Hakku juga untuk mengajak kamu tinggal di sana."

"Tapi Mas--"

"Aku nggak mau dibantah. Tugas kamu hanya tinggal nurut sama aku!"

Makin lama, Nadia makin paham pada sifat Farhan. Atau mungkin justru hanya baru sebagian sifat Farhan yang ia ketahui. Ia salut pada ketegaran dan kesabaran Niken yang mampu bertahan sampai sejauh ini.

***

Farhan akhirnya membawa Nadia ke rumahnya seminggu kemudian. Aira yang awalnya welcome pada Nadia, mulai mengikuti jejak kakaknya yang acuh tak acuh pada kehadiran Nadia. Tak ada penyambutan untuk Nadia. Naura dan Aira yang sibuk bermain tak sedikit pun menggeser posisi bermainnya saat mendengar suara Farhan mengucapkan salam. Begitu juga dengan Niken yang berada di dapur. Ia tetap saja fokus pada piring-piring bekas sarapannya dan anak-anak yang sedang dicucinya.

Melihat semuanya diam, Farhan membawa Nadia ke kamar yang akan ditempati Nadia, untuk meletakkan semua barang-barang Nadia di sana.

"Beresin mainannya, Sayang, kita jadi pergi, kan?"

"Jadi dong, Ma ...."

"Iya, Ma ...."

Jawab Naura dan Aira berbarengan.

"Mau kemana?" tanya Farhan yang keluar dari kamar bersama Nadia.

"Mau ngajak anak-anak jalan-jalan."

"Kamu sengaja melakukan itu?"

"Mas, ada anak-anak. Ada Nadia juga. Nggak usah memancing keributan. Ayo anak-anak ganti baju dulu, ya ...."

Nadia tahu, Nadia sadar jika kehadirannya memang tidak diharapkan. Di satu sisi, ia tak ingin menyakiti Niken. Tapi di sisi lain, ia juga tak ingin melawan suaminya.

"Maafin aku Mbak, kasih aku waktu sampai anak ini lahir. Ya, hanya sampai anak ini lahir," batin Nadia sambil mengelus perutnya.

TBC.

***

📝21.01.18
Repost, 25.10.18
Repost, 13.09.23

Luka Hati Seorang IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang