Sudah tiga hari Niken meninggalkan rumah. Namun, Farhan belum juga bisa menemukannya. Sudah tiga hari juga keadaan rumah kacau balau. Nadia yang malam harus begadang karena Tasya putrinya yang malam-malam rewel, harus bangun sangat pagi juga agar bisa menyiapkan sarapan sebelum Tasya bangun dari tidurnya. Putri Nadia dan Farhan itu tidak mau digendong ayahnya. Ia hanya mau digendong Nadia, ibunya.
Aira juga makin menambah kekacauan karena tiap hari pasti ngambek lantaran tidak ada Niken. Ibu Farhan datang pada siang hari. Awalnya berniat untuk membantu Nadia menjaga Tasya. Tetapi Tasya juga tidak mau digendong neneknya.
"Mama kemana ya , Ra?" tanya Farhan yang sudah mulai putus asa karena belum juga mendapat kabar dari Niken pada Naura saat sedang berada di kamar Naura membantu membangunkan Aira.
"Mana Naura tahu," jawab Naura santai.
"Tapi kamu kelihatannya tahu sesuatu. Kamu terlihat biasa-biasa saja. Tidak kehilangan mama."
"Yah, Naura biasa saja karena Naura senang. Akhirnya mama pergi dari rumah ini. Ninggalin Ayah."
"Kenapa seperti itu? Kamu senang mama ninggalin Ayah? Yang berarti ninggalin kamu dan Aira juga?"
"Ya lagian, Ayah nyakitin mama terus. Sekarang gimana Ayah tanpa mama? Lihat noh Tante Nadia, gitu aja udah kerepotan kaya gitu."
"Kamu nyukurin Ayah?"
"Bukannya nyukurin, tapi Ayah pernah bilang kan ke Naura, kalau Ayah mau berpisah sama mama, tapi jangan harap Naura bisa ketemu sama mama. Nah, ini udah terjadi. Sekarang yang kelimpungan siapa? Naura atau Ayah? Baru tiga hari loh ini ...."
"Ck, kamu makin hari makin berani sama ayah." Hanya dengan suara kecil Farhan mengucapkan itu. Seolah ia tidak memiliki tenaga untuk berdebat dengan putrinya.
"Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya, Yah. Udah ah, Ayah bangunin Aira, terus dandanin dia. Bujuk dia biar nggak ngambek. Naura mau mandi," ucap Naura sambil melenggang ke kamar mandi. Ada senyum terukir di bibirnya. Meskipun ia kesepian tanpa Niken, tapi ia senang karena dapat melihat raut kehilangan dari wajah ayahnya. Setidaknya Naura tahu, meskipun ayahnya kasar kepada mamanya, tetapi ayahnya masih memiliki rasa kepada mamanya.
***
"Kamu sakit, Nad? Kamu kelihatan pucat?" tanya ibu Farhan saat sedang bersama Nadia menjaga Tasya.
"Nggak kok, Bu," jawab Nadia pelan.
"Kamu yakin?"
"Iya, Bu ...."
"Kalau ada yang kamu rasa, berobatlah. Jangan tunggu Farhan nyuruh. Dia memang seperti itu. Sama Niken juga begitu. Kamu beruntung menjadi istrinya di saat Farhan sudah tidak kesusahan lagi. Dulu ibu suka kasihan sama Niken. Hidup di kosan sempit, keuangannya juga masih susah. Belum lagi Farhan yang suka marah-marah. Tapi ibu tidak bisa berbuat apa-apa." Ibu Farhan bercerita sambil ingatannya menerawang ke masa lalu putranya.
Nadia meneteskan air mata mendengarnya.
"Kenapa kamu menangis?" tanya ibu Farhan.
"Saya merasa bersalah sama Mbak Niken, Bu. Apalagi sekarang Mbak Niken pergi. Harusnya saya yang pergi, Bu."
"Kamu bicara apa? Jangan sampai Farhan mendengar kata-kata kamu. Kalau sampai dia dengar, dia bisa marah. Apalagi saat ini pikirannya sedang kacau."
"Maaf, Bu ...."
"Begitulah Farhan. Kamu harus bisa sabar menghadapinya."
"Iya ...."
***
Saat jam istirahat Niken datang ke sekolah menemui Aira. Ia masuk ke kelas Aira saat Aira sedang duduk terdiam.
"Anak mama kok nggak ikut main bareng temen-temennya." Niken duduk di belakang Aira. Ia sengaja masuk dengan mengendap-endap agar Aira tidak menyadari kehadirannya.
Aira yang mendengar suara mamanya, langsung menengok ke belakang.
"Mama!" seru Aira kemudian pindah tempat duduk dan langsung memeluk mamanya. "Mama dari mana? Kenapa Mama ninggalin Aira sama Kak Naura? Aira kangen sama Mama ...," ucap Aira sambil menangis terisak.
"Iya, Sayang ... iya ... mama juga kangen sama Aira."
"Mama jangan pergi lagi!" pinta Aira.
"Dengar, Sayang, mama lagi rapihin rumah mama. Nanti kalo udah rapi, mama akan bawa Aira pindah sama mama. Sama kak Naura juga."
"Tapi Aira nggak mau ditinggal lagi."
"Sabar, Sayang, pasti mama akan bawa Aira. Mama janji. Sekarang, Aira tinggal dulu di rumah ayah, ya ...."
Niken terus membujuk Aira sampai Aira mau menuruti kata-katanya. Niken juga melarang Aira untuk bercerita tentang pertemuan mereka kepada Farhan. Ia berjanji akan menemui putri bungsunya lagi esok hari.
***
Usai menemui Aira, Niken menunggu jam istirahat kedua di sekolah Naura. Niken menunggu Naura di kantin sekolah. Tanpa Farhan tahu, mereka memang saling mengirim pesan. Dengan nomor baru Niken yang hanya Naura yang tahu.
Saat Naura sudah menemukan di mana Niken duduk, Naura menghampiri Niken. Kemudian memeluk dari belakang dan mencium pipi Niken.
"Naura kangen Mama ...," ucap Naura dengan nada merengek.
"Mama juga kangen. Sini duduk!" Naura duduk di sebelah Niken. "Gimana keadaan rumah?"
"Kacau, Ma. Ayah udah mulai merasa kalau Mama tuh berpengaruh banget sama ayah."
"Oh, ya?"
"Iya. Ditambah lagi anak Tante Nadia juga tiap hari rewel. Aira tiap hari ngambek. Tambah kacau deh rumah. Nenek juga sekarang kalau siang ke rumah, buat bantu jagain anak Tante Nadia."
"Adik kamu juga loh itu. Mama nggak mau kamu membeda-bedakan."
"Iya, Ma .... Oh iya, mama jadi mau pisah sama Ayah?" Naura berhati-hati menanyakan itu.
"Apa kalian tidak apa-apa?"
Naura meraih tangan Niken di meja lalu menggenggamnya. "Ma, buat Naura yang penting Mama bahagia. Karena kebahagiaan Naura adalah ketika Mama juga bahagia. Bukannya Naura ikut campur, tapi buat Naura, sudah cukup selama ini ayah terus menyakiti Mama. Sekarang saatnya Mama bahagia. Naura juga setuju kalau nanti Mama udah pisah sama ayah, Mama menikah lagi."
"Hust!! Kamu ngomong apa, sih?!"
"Ya, benar kan Ma ... kalau bisa buat Mama bahagia kenapa nggak?" Niken hanya bisa tersenyum menanggapi ucapan putrinya.
'Terima kasih ya Allah, karena Engkau telah memberiku seorang putri yang begitu dewasa di usianya. Putri yang begitu menyayangiku. Aku minta padamu, tolong lancarkan segala urusanku. Aamiin,' doa Niken dalam hati.
TBC.
***
📝15.02.18
Repost, 05.11.18
Repost, 21.09.23
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Hati Seorang Istri
ChickLitSaat pertama kau melukai, aku masih bertahan. Saat kedua kalinya, aku pun masih demikian. Namun, ketika bertubi-tubi kamu melakukannya, aku memilih untuk pergi. -Niken-