18. BERUBAH ll

71.9K 5K 318
                                    

(Farhan)

Aku terus merayu tubuh Niken. Sudah lama aku tidak menjamahnya. Aku menciumi tengkuknya. Tanganku juga terus menelusuri tubuhnya. Memang sejak Nadia hamil, aku jarang sekali melakukan hubungan intim. Tidak dengan Nadia, apalagi dengan Niken. Lelah karena harus ke sana ke mari mengurus kebutuhan warung, membuatku langsung tidur jika sudah berada di kamar.

Akhir-akhir ini, Niken berubah padaku. Dia semakin dingin kepadaku. Dulu, dia tidak pernah mendiamkanku sampai berhari-hari. Meskipun pernah mengatakan juga bahwa dia bertahan karena anak-anak, tapi dia tidak akan cuek padaku. Kami hanya akan saling mendiamkan selama beberapa jam, setelah itu salah satu dari kami akan mulai membuka suara dan kami akan berbaikan kembali.

Ada yang bilang aku jahat? Ya, mungkin memang benar aku jahat. Keterlaluan? Ya, aku memang keterlaluan.

Kemarin aku salat Jumat di salah satu masjid dalam perjalananku belanja kebutuhan warung. Sehabis salat jum'at, aku berbincang dengan ustad yang menjadi imam. Dan ternyata, beliau juga menjalani pernikahan poligami. Kami banyak berbagi cerita, bagaimana beliau memperlakukan kedua istrinya, bagaimana beliau sebisa mungkin bersikap adil pada mereka.
Sisi hatiku tercubit. Selama ini aku sudah tidak adil pada Niken. Bahkan kepada anak-anak pun, aku sering memarahi mereka. Padahal mereka anak-anak yang baik. Anak-anak yang tidak pernah menuntut. Selalu menurut kepada orang tua. Nadia memang baik. Dia sangat baik, dia membuatku kembali ingat kepada Tuhan. Kenapa saat bersama Niken aku seakan lupa pada-Nya? Mungkin karena aku yang tidak bisa membawa diri. Karena masalah ekonomi, aku melupakan kewajiban-kewajibanku. Dan semenjak bertemu Nadia, aku mulai menjalankan kewajiban-kewajiban itu.

Aku masih mencumbui Niken. Meskipun tidak mendapat respons darinya. Ini sering aku lakukan dulu, saat Niken menolakku berhubungan intim, aku akan tetap melakukannya. Walaupun terasa seperti mencumbui patung. Dan setelah sekian lama aku tidak mendapatkan perlakuan demikian, saat ini aku mendapatkannya lagi.

"Ken ... Niken ...," bisikku sambil menggigit pelan daun telinganya. Namun, ia tidak merespons. Aku lihat wajahnya, oh, SIAL! Rupanya dia sudah tertidur. Apa benar dia sama sekali sudah tidak memiliki rasa apa pun padaku, sehingga dia enggan denganku?
Apa aku marah? Tidak. Aku tidak marah. Hanya saja aku kesal. Di bawah sana sudah mengeras, tapi tidak bisa aku lampiaskan. Pindah ke kamar Nadia? Tidak. Aku sudah menyuruhnya tidur. Aku tidak ingin dia kelelahan. Yang akhirnya akan berakibat buruk pada calon anak kami. Terpaksa aku tidur tanpa pelepasan, dengan tubuh tetap menempel pada tubuh Niken dan tanganku melingkar di perut Niken.

***
(Niken)

Jam tiga dini hari aku terjaga. Terasa ada yang berat di perutku. Pandanganku menuju ke sana. Tangan? Aku menengok ke belakang. Tapi terasa ada yang mengganjal leherku. Kepala Mas Farhan. Aku mengingat-ingat kejadian semalam. Semalam kami bertengkar. Tidak bertengkar, tetapi lebih kepada aku yang malas berhadapan dengannya. Hingga akhirnya aku meninggalkan Mas Farhan untuk berbaring. Terakhir yang aku ingat, dia menciumi leherku. Tapi setelah itu, tak ada yang aku ingat lagi karena aku tertidur. Bukan tertidur. Tapi memang aku sengaja melakukannya.
Entah kenapa, sekarang aku enggan berhubungan badan dengannya. Aku tahu aku berdosa, tapi entah kenapa aku merasa enggan saat merasa bahwa bukan aku saja pemilik tubuh suamiku itu.

Aku mencoba memindahkan tangan Mas Farhan. Tapi terasa berat sekali. Aku mencobanya berkali-kali. Hingga akhirnya tangannya bisa terlepas dari tubuhku tanpa sedikit pun mengusik tidurnya.

Aku turun dari ranjang. Aku harus mengambil air wudu sebelum melakukan salat malam.

***

Sudah beberapa bulan ini, Niken menjadi lebih rajin beribadah. Sangat jarangnya melakukan hubungan suami istri dengan Farhan, membuatnya lebih leluasa untuk melakukan salat malam. Karena tidak perlu mandi wajib. Kehampaan dan rasa sakit hatinya sedikit terobati, saat dia melakukannya.

Setiap malam Niken selalu menangis saat sedang khusyuk mencurahkan isi hatinya pada Sang Pencipta. Karena itulah, mungkin itu yang membuatnya lebih berani sekarang. Prioritas utamanya hanya anak-anaknya. Ya, hanya mereka. Itulah yang membuatnya mampu untuk bertahan. Bertahan sampai nanti anak-anak jelas mendapatkan hak mereka. Bukannya terlalu materialistis, tapi bukankah hidup memang harus demikian?

Farhan terbangun dari tidurnya. Ia meraba-raba samping kirinya. Berharap menemukan kehangatan yang beberapa saat yang lalu hilang dari tubuhnya. Namun ia tak menemukan apa pun di sana. Sayup-sayup Farhan mendengar isak tangis yang teramat lirih. Namun karena keadaan malam hari sangat hening, Farhan dapat mendengar suara itu lewat pendengarannya.

Farhan bangkit dari tidurnya, ia menemukan sosok sedang bersujud sambil terisak di atas sajadah di samping kaki ranjang.

"Akulah pelakunya?"

TBC.

***

📝05.02.18
Repost, 26.10.18
Repost, 15.09.23

Luka Hati Seorang IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang