Sudah beberapa saat berlalu. Pasangan suami-istri itu masih saja belum ada yang membuka suara. Farhan sibuk dengan menonton televisi, sedangkan Niken sibuk dengan ponselnya. Pria itu menganggap, jika istrinya marah karena apa yang dilakukannya. Sedangkan Niken masih sibuk dengan pikiran dan hatinya sendiri. Logikanya ingin memulai hubungan yang baru dengan sang suami. Namun, hatinya masih saja ragu."Sudah waktunya Aira pulang. Aku mau jemput. Kamu ikut?" tanya Farhan mencoba mencairkan suasana.
"Oh ... enggak usah, Mas. Aku mau langsung pulang."
"Nggak ikut aku sekalian? Masih gerimis."
"Aku bawa jas hujan."
"Oh, terserah kamu kalau begitu." Setelah apa yang dilakukannya, Farhan sama sekali tidak punya keberanian untuk menentang keinginan istrinya itu.
Masih dengan gerimis yang turun, Farhan meninggalkan warung menggunakan mobil. Sedangkan Niken menggunakan sepeda motor.
***
Akhir pekan, Niken menggunakan waktunya untuk ke makam Indra. Ia ingin menghapus rasa galaunya.
Di atas makam Indra, setelah mendoakan almarhum suaminya, Niken mencurahkan semua isi hatinya. Mencurahkan dilema yang selama ini dirasakan.
Pulang dari pemakaman, tidak lupa ia berkunjung ke rumah mertuanya.
"Anak-anak nggak ikut, Ken?"
"Enggak, Bu ... Niken nggak berani bawa anak-anak untuk perjalanan jauh."
"Oh ... kamu sengaja ke sini?"
"Tadi abis dari makam Mas Indra, Bu. Niken merasa ada yang mengganjal dengan hati Niken."
"Mengganjal?"
Niken mengangguk. "Niken masih ragu. Apa keputusan yang Niken ambil, benar atau salah."
"Apa suamimu berulah lagi?"
"Enggak, Bu. Tapi setiap kali Niken ingin memulai, Niken merasa takut. Takut dia akan kembali seperti dulu. Takut Mas Indra akan merasa dikhianati."
"Nak ... Indra yang memintamu untuk kembali menikah dengan ayahnya anak-anak. Tidak mungkin dia merasa terkhianati. Dia sudah pergi. Sudah sepantasnya kamu mendapat penggantinya. Tentang perasaan takut kamu, yakinkan hatimu, buka hatimu untuk suamimu. Setiap orang punya kesalahan. Setiap orang juga berhak mendapatkan kesempatan kedua. Tidak ada salahnya kamu memberikannya pada suamimu."
Niken memikirkan ucapan-ucapan ibu mertuanya. Memang ada benarnya. Selama ini, ia hanya mencoba membentengi diri sebagai wujud perlindungan atas dirinya kalau-kalau Farhan kembali menyakitinya. Itulah sebabnya, ia tidak ingin membiarkan hatinya kembali jatuh kepada ayah dari anak-anaknya itu.
"Sudah kewajibanmu, Nak. Untuk mencintai dan melayani suamimu."
Niken merasa tertohok. Melayani? Dalam hal apa? Baju? Selama ini, setelah menikah lagi, Farhan selalu mandiri. Bahkan, menyetrika pun, pria itu lakukan sendiri. Makan? Bahkan pria itu yang sering kali memasak untuknya. Ranjang? Jangankan untuk melakukan hubungan suami-istri, tidur saja mereka pisah. Meskipun, berada dalam satu ruangan yang sama.
Seketika Niken merasa menjadi istri yang paling kejam. Apa yang dicarinya? Apa tujuannya? Kewaspadaan? Dari apa? Enam bulan lebih kembali menikah, Farhan tidak pernah memperlihatakan sifat dan sikapnya yang dulu. Atau balas dendam atas apa yang dulu didapatkannya?
Ingatan tentang perbincangannya beberapa hari lalu dengan suaminya kembali terlintas. Sisi hatinya mencibir perbuatannya. Melontarkan kata-kata pedas dan tajam agar Farhan merasa tidak ada apa-apanya dibanding Indra. Sangat kekanakan. Di mana kedewasaannya yang dulu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Hati Seorang Istri
ChickLitSaat pertama kau melukai, aku masih bertahan. Saat kedua kalinya, aku pun masih demikian. Namun, ketika bertubi-tubi kamu melakukannya, aku memilih untuk pergi. -Niken-