Rumah tangga yang dijalani Niken kini, sungguh berbeda dari rumah tangganya saat bersama Farhan. Keputusannya untuk menerima Indra memang tidak salah. Indra memang sangat pencemburu, tetapi itu hanya bagian kecil dari sifatnya. Selain itu, tidak ada sifat buruk Indra yang menyusahkan Niken.
Niken justru senang dicemburui suaminya. Dulu saat bersama Farhan, pria itu tidak pernah cemburu padanya. Maka tidak salah jika sikap Indra mampu menghapuskan perasaan Niken pada Farhan sedikit demi sedikit.
"Sayang, biar aku saja yang menyiapkan sarapan. Kamu urus Dira saja." Pagi itu Dira memang sedikit demam, balita itu jadi sedikit rewel. Kemarin mereka memanfaatkan akhir pekan untuk pergi ke arena renang. Sudah menjadi rutinitas Indra untuk mengajak Niken dan anak-anak pergi di akhir pekan.
Niken masih sama. Masih seperti Niken yang dulu. Masih memasak sebisanya. Memasak makanan sederhana. Namun, Indra tidak pernah mempermasalahkan itu. Indra selalu makan di rumah, apa pun yang Niken masak.
"Baiklah." Niken hanya bisa pasrah. Dira memang butuh perhatian lebih, jika sedang tidak enak badan.
Usai sarapan, Indra mengantar Naura dan Aira ke sekolah. Farhan memang lebih memilih untuk menjauh sekarang.
Pernah beberapa kali Farhan datang untuk mengantar anak-anak ke sekolah, tetapi selalu saja mereka sudah berangkat. Farhan tidak bisa menjemput mereka lebih pagi karena ia harus mengurus warung terlebih dahulu. Apalagi sekarang ia sudah tinggal di samping warung. Rumah itu sudah dibelinya. Rumah yang dulu memang belum laku terjual, tetapi Farhan lebih memilih untuk tinggal di rumah barunya. Ia ingin membuka lembaran baru dengan dirinya yang sekarang.
Indra pulang dari mengantar anak-anak. "Gimana Dira? Mau makan?" tanyanya.
"Belum, Mas," jawab Niken seraya menggeleng. Saat ini Niken memang memanggil Indra dengan panggilan 'Mas', meskipun mereka seumuran.
"Aku belikan bubur ayam di depan, ya. Siapa tahu Dira mau makan. Abis itu, baru minum obat."
"Boleh."
Indra kembali keluar untuk membeli bubur. Di depan gang rumah Niken, memang ada penjual bubur ayam yang mangkal setiap pagi.
Dira mau memakan bubur yang dibeli Indra meskipun hanya sedikit. Setelah itu, Niken meminumkan obat turun panas untuk Dira. Karena efek dari obat yang diminumnya, Dira pun akhirnya tidur kembali."Kasihan istriku, semalaman nggak bisa tidur," ucap Indra sambil merapikan rambut Niken. Mereka berdiri di samping box Dira yang berada di kamar mereka. Dira memang masih tidur di dalam box karena boxnya cukup besar.
Niken tersenyum. Senyum yang selalu mampu menggetarkan hati Indra karena pria itu memang sungguh-sungguh mencintai Niken.
Indra mendekat, menghapus jarak di antara mereka. Dilingkarkannya lengannya di pinggang Niken. Wanita itu masih menggunakan baju tidurnya. Baju tidur bermodel daster dengan bahu terbuka.
Niken memejamkan mata saat bibir Indra menyentuh bahu hingga lehernya. Menikmati kecupan itu yang membuat napasnya semakin tak beraturan.
Indra membalikkan tubuh Niken, kemudian menciumnya. Niken pun tak mampu menolak. Sudah beberapa hari memang, mereka tidak 'melakukannya'. Niken mendapat tamu bulananannya. Saat kemarin sudah tidak lagi, Dira malah demam. Akhirnya pagi ini Indra ingin menuntaskan hasratnya.
***
"Lo udah nggak pernah diantar ayah lo lagi, Nau?" tanya Saka. Ia adalah sahabat Naura.
Naura menggeleng. "Ayah sibuk. mungkin," jawabnya dengan ekspresi penuh kesedihan.
"Lo sedih? Apa yang ngebuat lo sedih?"
"Nggak tahu, Ka. Gue seneng liat Mama bahagia sekarang. Tapi tiap inget Ayah, gue sedih. Ayah yang sekarang udah bukan lagi Ayah yang dulu. Seneng, sih, Ayah jadi lebih baik lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Hati Seorang Istri
ChickLitSaat pertama kau melukai, aku masih bertahan. Saat kedua kalinya, aku pun masih demikian. Namun, ketika bertubi-tubi kamu melakukannya, aku memilih untuk pergi. -Niken-