Setelah meminta Nadia untuk meninggalkan Farhan, Naura keluar dari rumah Nadia. Nadia mengikuti masuk ke dalam mobil setelah mengunci pintu.
Sepanjang perjalanan tidak ada pembicaraan di antara mereka. Apalagi Aira tertidur. Sudah terbiasa sejak kecil jika bepergian menggunakan mobil atau angkutan umum, Aira akan tertidur.
Sesampainya di kebun binatang, Farhan memarkirkan mobilnya. Setelah itu ia berniat untuk membeli tiket.
"Mas!" panggil Niken.
"Ya?"
"Aku nggak ikut masuk, ya?"
"Kenapa?"
"Aku tiba-tiba nggak enak badan. Aku akan tunggu di warung," ucap Niken sambil menunjuk salah satu warung yang ada di lokasi parkiran itu.
"Kalau lama?"
"Ya nggak apa-apa. Silakan keliling di dalam sampai anak-anak puas."
"Baiklah. Terserah kamu." Farhan melanjutkan niatnya kembali untuk membeli tiket masuk. Awalnya Naura juga enggan ikut masuk karena mamanya juga tidak ikut. Tetapi Naura berpikir jika ia tidak ikut masuk, pasti istri muda ayahnya akan memonopoli ayahnya. Akhirnya Naura putuskan untuk ikut serta.
Mereka berempat, Farhan , Nadia, Naura dan Aira masuk ke kebun binatang. Naura tak sedikit pun memberi Nadia celah. Ia selalu berusaha membuat ayahnya sibuk pada dirinya dan Aira. Nadia pun tampak kurang fokus karena kebimbangan tengah melanda dirinya.
***
"Nggak masuk ke dalam, Bu?" tanya pemilik warung pada Niken sambil mengantar minuman pesanan Niken.
"Nggak, Bu," jawab Niken sambil tersenyum.
"Ibu bukan istrinya bapak yang tadi kan, Bu?"
"Kenapa memangnya, Bu?"
"Maaf Bu, sekarang lagi jamannya pelakor. Perebut Laki Orang. Siapa tahu saja, ibu ini istri tuanya. Dan mbak yang tadi itu istri mudanya. Soalnya kelihatannya masih muda sekali mbak yang tadi. Dan lagi pelakornya sekarang ganas-ganas, Bu. Pada nggak punya perasaan," ucap si ibu pemilik warung dengan menggebu-gebu.
"Oh ... bukan kok, Bu," jawab Niken.
"Alhamdulillah kalo begitu. Maaf ya Bu, bukannya saya lancang. Saya hanya suka berempati sama wanita yang diduakan suaminya."
"Iya, Bu. Nggak apa-apa."
"Permisi ya, Bu?"
"Iya."
Tidak mungkin Niken membeberkan aib keluarganya. Apalagi kepada orang yang baru dikenalnya. Bahkan berkenalan pun tidak. Kenapa dibilang aib? Karena sekarang memang tengah marak kasus seperti itu. Bagi Niken, Niken akan merasa malu jika ada yang tahu ia salah satu dari yang mengalami itu semua. Apalagi, jika mereka tahu bagaimana Farhan kepadanya, juga bagaimana Farhan kepada Nadia.
***
Jam tiga sore mereka pulang dengan mengantar Niken, Naura dan Aira terlebih dahulu.
"Kenapa harus ke sini dulu?" tanya Naura dengan nada juteknya.
"Karena malam ini ayah menginap di rumah mama Nadia," jawab Farhan santai.
"Mamaku cuma satu, Yah! Nggak akan tergantikan! Dan nggak akan pernah aku duakan!"
"Naura!" Niken meredam emosi Naura. Nadia hanya bisa diam melihat bagaimana Naura sangat tidak menyukainya.
Sesampainya di depan rumah, Niken dan Naura turun dari mobil. Tanpa ada ucapan perpisahan, atau sekadar berbasa-basi mengajak Nadia mampir keluar dari mulutnya.
"Aku gendong Aira dulu, ya?" Farhan meminta izin pada Nadia untuk terlebih dahulu menggendong Aira yang tertidur untuk ditidurkan di kamarnya.
"Iya, Mas," jawab Nadia.
Setelah Farhan merebahkan Aira di kamarnya, Farhan menghampiri Naura yang tengah menyelonjorkan kakinya di karpet.
"Ada apa sama kamu sebenarnya?" Farhan mencoba merendahkan suaranya.
"Nggak ada apa-apa. Hanya wujud ketidaksukaan seorang anak pada apa yang dilakukan ayahnya," jawab Naura sinis.
"Kamu masih kecil. Masih belum bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi."
"Ya udah sana! Nanti istri kesayangan Ayah kelamaan nunggunya!" usir Naura.
"Ck."
Niken menghampiri Naura dengan dua gelas jus di tangannya. Kemudian ia memberikannya satu pada Naura.
"Tolong ajari Naura sopan-santun! Kamu ibunya, harusnya bisa mengajarinya hal baik."
Niken tak menjawab. Ia hanya menghela napasnya tanpa berniat sedikit pun membuka suara. Kemudian Farhan meninggalkan anak dan istrinya tanpa mengatakan apa-apa lagi.
TBC.
***
📝13.01.18
Repost, 24.10.18
Repost, 10.09.23
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Hati Seorang Istri
Chick-LitSaat pertama kau melukai, aku masih bertahan. Saat kedua kalinya, aku pun masih demikian. Namun, ketika bertubi-tubi kamu melakukannya, aku memilih untuk pergi. -Niken-