11. PERMINTAAN NAURA

64.5K 4.2K 485
                                    


Pagi itu mereka sarapan tanpa suara. Hanya ada suara sendok garpu yang beradu dengan piring yang mendominasi.
Aira pun tampaknya sedang puasa berbicara, karena tadi kakaknya mendiaminya saat Aira bertanya. Bukan marah pada Aira, tetapi Naura hanya masih kesal pada ayahnya. Dan sudah menjadi kebiasaan bagi Naura, akan mendiamkan orang-orang di sekelilingnya saat kesal.

"Aira kenapa? Kok manyun?" Niken mencoba mencairkan suasana dengan bertanya kepada putri bungsunya.

"Aira lagi marah!" jawab Aira ketus.

"Marah? Kenapa? Marah sama siapa?" tanya Niken lagi.

"Tuh si kakak! Aira nggak salah, tapi kakak marah ke Aira!"

"Emang iya, Kak?" kini Niken bertanya pada Naura.

"Ih, siapa juga yang marah ...."

"Buktinya tadi diam saja pas Aira tanya!"

"Ya maaf, tadi kakak lagi kesal."

"Kesal sama siapa? Kenapa Aira dibawa-bawa?!"

"Kesel sama teman, Dek," jawab Naura sambil melirik Farhan yang sedang mengunyah sarapannya dengan santai.

"Ya sudah, kalau kesel sama teman, Aira jangan dibawa-bawa!"

"Iya ... iya ...."

"Nah gitu dong, kalian itu saudara nggak boleh berantem. Ok?!"

"Ok, Ma!" jawab Naura dan Aira sambil mengangkat jempolnya.

***

Usai sarapan, Naura dan Aira ke sekolah bersama Farhan. Setelah Aira sampai di depan gerbang sekolahnya, ia turun dari mobil setelah sebelumnya pamit kepada ayah dan kakaknya.

"Pindah ke depan Naura!" pinta Farhan. Namun, Naura diam saja.

"Kamu dengar perintah ayah, kan?"

"Ck." Dengan terpaksa Naura pindah ke jok depan.

"Kamu masih marah sama ayah?" tanya Farhan ketika Naura sedang memasang seat belt.

"Apa perlu dijawab?!"

"Kamu, sama ayah sendiri kok kaya gitu? Nggak sopan."

"Sampai kapan Ayah akan terus nyakitin mama? Sampai kapan Ayah tidak menghargai mama?"

"Kamu masih kecil, jangan terlalu ikut campur urusan orang tua!"

"Iya, bagi Ayah mungkin aku memang masih kecil. Tapi mata dan telingaku sudah cukup mengerti untuk menjadi saksi bagaimana sikap Ayah ke mama selama ini!"

"Kamu hanya belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi."

"Terserah Ayah mau ngomong apa, tapi aku sudah cukup mengerti jika apa yang Ayah lakukan itu salah!"

"Dari mana salahnya? Mamamu saja mengizinkan ayah menikah lagi, kenapa kamu yang harus mempermasalahkan. Kamu masih anak-anak, cukup pikirkan sekolahmu. Jangan ikut campur, jangan hanya karena masalah orang tua, sekolah kamu berantakan." Naura lelah menangggapi. Ia memilih untuk diam memperhatikan sibuknya suasana jalan raya di pagi itu.

"Hari Minggu besok kita jalan-jalan?" Farhan bertanya pada Naura, tapi yang ditanya lagi-lagi diam saja. "Kita jalan-jalan berlima. Biar kamu dan Aira lebih mengenal Tante Nadia. Dia baik kok orangnya." Mobil Farhan berhenti tepat di depan gerbang sekolah Naura.

"Mungkin bagi Ayah dia baik. Tapi buatku, tidak ada wanita baik yang mau merusak rumah tangga orang lain," ucap Naura tajam sebelum turun dari mobil. Setelah itu ia turun kemudian membanting pintu dengan kencang.

Farhan tidak ambil pusing dengan ucapan putrinya. Baginya apa yang diucapkan putrinya, hanyalah sebuah kekekasalan anak kecil.

***

"Biar aku bantu, Mbak." Nadia mencoba menawarkan Niken bantuan saat Niken sedang membantu pegawainya di dapur. Niken tak menjawab. Ia justru melenggang pergi dari dapur meninggalkan Nadia bersama pegawainya.

"Mbak Niken itu sebenarnya orangnya kaya gimana sih, Mbak?" tanya Nadia pada salah satu pegawai Niken yang sedang sibuk menggoreng.

"Kenapa?"

"Waktu awal saya bertemu, orangnya ramah. Tapi makin ke sini kesannya dingin."

"Aslinya orangnya ramah. Sangat baik. Penyabar. Mungkin beliau seperti itu, karena perasaan beliau."

"Maksud Mbak?"

"Mana ada wanita yang rela dimadu, Mbak."

"Tapi waktu itu Mbak Niken yang menemui saya dan memberi izin."

"Saya tidak tahu masalah itu, Mbak. Karena saya juga orang luar. Tapi sebagai wanita, saya juga ikut berempati pada Bu Niken. Beliau yang selalu menemani bapak dari Nol. Dari yang tidak punya apa-apa, mendapat cibiran sana-sini, tinggal di kosan sempit. Sampai akhirnya seperti ini. Mbak bisa lihat bagaimana penampilan Bu Niken. Beliau tetap dengan kesederhanaannya. Tapi kenapa bapak begitu tega menikah lagi. Padahal menurut kami, tidak ada yang salah dengan Bu Niken. Beliau tidak pernah menyusahkan suami. Maaf ya Mbak, saya nggak bermaksud ...."

"Iya, Mbak. Saya mengerti kok, Mbak ...."

Pembicaraan Nadia dengan salah satu karyawan Niken, terus saja terngiang di telinga Nadia. Rasa bersalah mulai hinggap di hatinya.

***

Hari Minggu tiba. Farhan mengajak Niken dan kedua anaknya untuk pergi ke kebun binatang. Awalnya Niken enggan, karena ia sudah tahu Farhan mengajak Nadia. Tapi karena Aira begitu antusias, Niken dan Naura mengalah untuk ikut serta.

"Mama duduk di depan, Ma!" Dengan suara lantang, Naura menyuruh Niken untuk duduk di samping ayahnya di jok depan. Niken menurut. Farhan juga diam saja dengan hal itu. Naura sengaja melakukan itu karena Naura tidak ingin melihat ayahnya mesra dengan wanita lain. Meskipun wanita itu juga istri ayahnya.

Sesampainya di depan rumah Nadia, Naura mengatakan pada Farhan bahwa ia ingin buang air kecil. Farhan pun mengizinkannya untuk turun. Nadia yang sudah menunggu di depan pintu rumah, akhirnya kembali masuk ke dalam untuk menemani Naura ke toilet.

Di dalam mobil Niken mencoba untuk tetap tenang. Ia harus berusaha menahan emosinya di depan Farhan.

"Aku harap, kamu mau memberikan waktu pada Nadia untuk dekat dengan anak-anak," pinta Farhan pada Niken.

"Asal jangan pernah mencoba untuk menggantikan posisiku di mata anak-anak!"

"Itu tidak perlu kamu khawatirkan. Nadia tidak sejahat itu. Aku hanya ingin keluarga kita bahagia. Jadi kamu harus membantu."

Niken tak menanggapinya, ia hanya berusaha meredam gejolak dalam hatinya. Mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh di depan Farhan.

***

"Udah Ra, buang air kecilnya?" tanya Nadia dengan ramah.

"Aku hanya ingin minta ke Tante. Tolong tinggalkan ayah, Tante!"

"Maksud kamu?"

"Aku yakin, Tante tahu maksud aku. Mamaku sudah cukup menderita, Tan. Di saat seharusnya bisa memetik kebahagiaan, Tante malah hadir. Dan ayah malah menikahi Tante!"

"Tante nggak bermaksud kaya gitu. Tante nggak tahu  kehidupan kalian, tante pikir kalian hidup bahagia."

"Omong kosong, Tan!"

Tiiiinnnnn Tiiiinnnn. Suara klakson mengagetkan mereka. "Tolong pikirkan apa yang tadi aku katakan, Tan!" Setelah itu mereka keluar bersama. Berakting seolah tidak ada apa-apa di antara mereka.

Sepanjang perjalanan, Nadia terus saja diam. Ia memikirkan pembicaraannya dengan pegawai Niken beberapa hari lalu. Juga pembicaraannya dengan Naura tadi. Mengetahui kenyataan kehidupan Niken yang sebenarnya, membuatnya ingin mundur. Tetapi sesuatu yang baru saja ia ketahui, membuatnya harus bertahan.

TBC.

***

📝31.12.17
Repost, 23.10.18
Repost, 09.09.23

Luka Hati Seorang IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang