"Hallo?"
"Maaf Ken, aku nggak bisa jemput Naura dan Tasya sekarang."
"Ada apa, Mas? Kedengarannya seperti ada masalah?"
"Iya. Nadia masuk rumah sakit," lirih Farhan.
"Nadia sakit?"
"Dokter bilang, Nadia terkena kanker payudara. Dan sudah parah."
"Astagfirullah ... iya, Mas, masalah anak-anak Mas tenang saja. Tasya juga anteng di sini."
"Makasih, Ken ... maaf, aku merepotkanmu."
"Aku tidak merasa direpotkan," ucap Niken tulus.
"Sakali lagi terima kasih."
"Iya, Mas."
***
Di rumah sakit, Nadia baru saja sadar.
"Mas ... maafkan aku ...," ucap Nadia pelan.
"Apa kamu sudah tahu semuanya? Tentang penyakit kamu?"
"Iya, Mas ...."
"Sejak kapan?"
"Sejak aku hamil Tasya. Dokter sudah mengatakan jika kehamilanku berisiko."
"Apa karena itu, kamu tidak memberinya ASI?"
"Iya, Mas ...."
"Kenapa kamu tidak mengatakannya padaku?"
"Aku tidak ingin Mas berlebihan memperhatikanku. Aku tidak ingin Mbak Niken merasa Mas tidak adil. Maaf, Mas."
"Kalau kamu mengatakannya dari awal, pasti tidak akan sampai separah ini."
"Maafkan aku, Mas."
***
Esoknya ibu Nadia datang ke rumah sakit. Saat beliau datang, Farhan sedang menemui dokter.
"Ibu ...."
"Nak, bagaimana keadaan kamu? Apanya yang sakit?"
"Apa Mas Farhan sudah mengatakannya pada Ibu?"
"Iya. Nak Farhan sudah mengatakannya pada ibu. Kenapa kamu tidak pernah menceritakan penyakitmu. Jika kamu tidak ingin menceritakan kepada suamimu, harusnya kamu cerita kepada ibu."
"Maafkan Nadia, Bu. Nadia hanya tidak ingin Ibu mengkhawatirkan Nadia."
"Nak ... Nak .... Di mana Tasya?"
"Mas Farhan bilang Tasya di rumah Mbak Niken."
"Bukankah kamu bilang mereka sedang proses perceraian?"
"Iya, Bu, Tasya sama Naura kemarin main ke rumah Mbak Niken. Aku pingsan di rumah. Untungnya ada ibu Mas Farhan yang datang, akhirnya beliau menelepon Mas Farhan. Dan membawaku ke sini. Tasya dan Naura menginap di sana. Dan aku juga heran, Bu, Tasya nggak pernah nangis kalau sama Mbak Niken."
"Dia itu sebenarnya wanita baik. Andai saja dulu kamu mengatakan yang sebenarnya waktu mengenalkan Farhan pada ibu, sebelum orang-orang tahu kamu akan menikah, pasti ibu akan melarang kalian menikah," ucap ibu Nadia penuh kekecewaan.
"Maafkan Nadia, Bu."
"Sekarang kamu jangan pikirkan itu dulu. Pikirkan penyakitmu. Kamu harus fokus. Kamu harus sembuh."
"Apa tidak sebaiknya aku mati saja, Bu? Biar Mas Farhan bisa rujuk kembali dengan Mbak Niken."
"Kamu ini ngomong apa? Yang kamu miliki bukan cuma suami. Tapi kamu punya ibu, ada adik-adik kamu juga yang pasti akan sangat kehilanganmu kalau sampai terjadi sesuatu sama kamu."
"Tapi, Bu ...."
"Masalah rumah tangga kamu, atau kamu akan berpisah dengan suamimu, bisa kamu pikirkan setelah kamu sembuh. Kamu bisa tinggal sama ibu, begitu juga dengan Tasya. Malah ibu akan sangat bahagia jika kita bisa berkumpul."
"Makasih, Bu ...."
"Assalamualaikum ...." Terdengar seorang mengucap salam di depan pintu.
"Wa'alaikumsalam ...," jawab Nadia dan ibunya bersamaan.
Niken mendekat kemudian menyalami ibu Nadia."Maaf ya, Nak Niken, jadi merepotkan," ucap ibu Nadia.
"Nggak kok, Bu. Saya nggak merasa direpotkan."
"Tasya, Sayang, ayo ikut Nenek. Nenek kangen sama Tasya." Tangan ibu Nadia terulur ke arah Tasya. Niken berniat untuk melepas gendongan Tasya, tapi yang ada Tasya justru menangis.
"Sayang, kasian Mama Niken. Mama Niken capek ...." Niken tersenyum mendengar ucapan ibu Nadia yang menyebutnya mama untuk Tasya.
"Nggak apa-apa kok, Bu ...."
"Mbak, bisa kita bicara?" tanya Nadia lirih.
"Bicara apa?" Nadia mengode ibunya agar keluar terlebih dahulu.
"Ibu keluar dulu ya, Nak Niken."
"Iya, Bu."
"Mbak...."
"Hem?"
"Aku minta maaf ... aku benar-benar minta maaf atas semua yang aku lakukan ke Mbak. Aku sudah sangat berdosa telah melukai perasaan Mbak. Juga perasaan anak-anak. Aku sudah menjadi jurang pemisah antara Mbak dan Mas Farhan. Aku sudah membuat Mbak menggugat cerai Mas Farhan," ucap Nadia tergugu.
"Kamu bicara apa? Di sini bukan cuma kamu yang salah. Aku sadar, aku juga salah. Aku yang tidak bisa ikhlas dengan semuanya. Mungkin jodohku dan Mas Farhan cuma sampai di sini. Kamu tidak perlu terus-menerus menyalahkan diri kamu. Kamu harus fokus pada kesembuhan penyakitmu. Kasihan Tasya. Dia butuh kamu. Begitu juga dengan Mas Farhan. Dia juga membutuhkanmu."
"Kenapa Mbak Niken tidak mau rujuk dengan Mas Farhan Mbak?"
"Seperti apa yang aku bilang tadi. Mungkin jodohku dengan Mas Farhan cuma sampai d isini. Aku tidak mau memaksakan keadaan. Jika aku ditakdirkan hanya hidup bertiga dengan anak-anak, tidak apa-apa. Aku siap. Untuk apa terus bersama kaau hanya untuk saling menyakiti."
"Tapi Mas Farhan sudah berubah Mbak ...."
"Ya bagus kalau dia sudah berubah. Berarti nasib kamu lebih baik dari nasibku. Jika kamu masih merasa bersalah, maka berjuanglah untuk sembuh. Dengan begitu, setidaknya kemunduranku tidak akan sia-sia." Niken juga ikut menangis.
"Mbak, maukah Mbak memelukku?" tanya Nadia masih dengan air mata yang membanjiri pipinya.
Niken mengangguk. Ia membungkukkan badannya dengan hati-hati agar tidak menyakiti Tasya yang berada dalam gendongannya, Niken memeluk Nadia yang terbaring lemah.
Di balik pintu ada Farhan yang menyaksikan juga mendengar semuanya. Ia juga ikut meneteskan air mata. Karena keegoisannya, ia telah menyakiti dua hati wanita. Jika saja, jika saja ia tidak egois, pasti ini semua tidak akan terjadi. Dan jika saja ia bisa lebih bersyukur, dan menghargai orang yang selalu setia menemaninya, pasti tidak akan ada air mata kesedihan di mana ia sebagai penciptanya.
***
📝23.02.18
Repost, 12.11.18
Repost, 26.09.23
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Hati Seorang Istri
ChickLitSaat pertama kau melukai, aku masih bertahan. Saat kedua kalinya, aku pun masih demikian. Namun, ketika bertubi-tubi kamu melakukannya, aku memilih untuk pergi. -Niken-