4. BERTAHAN

71.8K 4.3K 262
                                    


Niken

Suara deru mobil terdengar memasuki pekarangan rumah. Mas Farhan. Ya, harusnya kemarin dia pulang ke rumah. Nyatanya baru pagi ini dia pulang.

Aku tetap sibuk dengan kegiatanku, bersih-bersih rumah. Kegiatanku setelah mengantar anak-anak ke sekolah.

"Assalammu'alaikum ...." Suara Mas Farhan mengucap salam sambil membuka pintu terdengar. Tumben sekali.

"Wa'alaikumsalam ...," jawabku. Aku masih sibuk mengelap debu-debu yang ada di meja.

"Suami pulang, selalu saja sibuk sendiri."

Aku menghentikan kegiatanku. Mengerutkan kening, ada apa dengannya? Bukankah memang sudah terbiasa seperti ini?

"Mas mau minum kopi?" Aku menawarinya kopi. Bukannya istri yang tidak baik, tapi memang semenjak dulu saat Mas Farhan terkena batu ginjal, dokter memang menyarankan untuk tidak sering-sering meminum kopi, apalagi teh. Jadi aku hanya akan membuatkannya ketika dia meminta.

"Nggak usah, udah ngopi tadi di tempat Nadia. Di mana anak-anak?"

"Udah berangkat sekolah, Mas ...."

"Naik ojek online lagi?"

"Nggak, tadi aku yang antar."

Mas Farhan hanya ber'oh' saja menanggapiku, kemudian berlalu menuju kamar kami.
Aku hanya bisa tersenyum. Senyum yang entah apa maksud dari senyum itu.
Aku sudah terbiasa begini, bahkan jauh sebelum Mas Farhan menikah lagi.

"Mas mau ke warung?" tanyaku saat melihat Mas Farhan keluar kamar sudah menggunakan baju yang berbeda.

"Iya. Seperti biasa."

"Hari ini aku libur ya, Mas. Capek ...."

"Terserah kamu. Lagipula, memang kamu selalu seperti itu, kan?! Sedikit-sedikit mengeluh." Mas Farhan mencibirku. Seperti biasa, aku tersenyum menanggapinya.
"Jangan lupa jemput anak-anak!"

"Iya ...." Setelah itu Mas Farhan pergi menggunakan mobilnya.

💔💔💔

Luka? Bicara luka kini aku seolah tak lagi merasakannya. Terlalu sering mendapat cacian, bentakkan dari suami sendiri membuat hatiku seolah kebal. Meskipun terkadang masih merasakan seperti sakit saat dicubit, tapi dalam sekejap rasa sakit itu hilang.

Kenapa aku harus bertahan? Apa karena aku terlalu mencintainya? Aku juga tidak tahu. Karena aku tidak tahu bagaimana sesungguhnya cara mencintai seorang suami. Begitu juga sebaliknya, bagaimana caranya seorang suami memperlakukan istrinya. Apakah semanis cerita novel? Atau masih berlakukah sikap manis Rasul pada istri-istrinya di zaman sekarang?

Menyerah? Dulu iya, aku ingin sekali menyerah. Namun urung saat aku melihat anak-anak. Saat aku mengingat betapa buruknya masa kecilku, saat aku harus tumbuh di kondisi broken home. Mereka berhak bahagia. Mereka berhak mendapatkan apa yang tidak aku dapatkan saat aku kecil.

Sekarang pun sama. Keinginan untuk mundur kadang muncul. Tapi kembali lagi, sudah terlalu banyak pengorbanan. Sudah terlalu panjang perjuangan yang kami lalui. Aku tak ingin hanya karena aku terlalu mementingkan perasaanku, lantas aku harus mengorbankan perasaan anak-anak. Setidaknya anak-anak bahagia dengan adanya kami. Setidaknya Mas Farhan menyayangi anak-anak.

"Masih kuat, lo?" tanya Vira satu-satunya sahabatku yang tahu segala hal tentang diriku, yang sengaja berkunjung ke rumahku saat tahu hari ini aku di rumah.

"Kenapa mesti nggak kuat?"

"Suami lo beneran bisa adil?"

"Kepo!"

"Gue beneran nanya!"

"Lo tahu sendiri kan, gimana dia. Buat gue sekarang yang penting anak-anak bahagia. Udah itu aja."

"Anak-anak udah tahu?" Aku menggeleng.

"Nanti pelan-pelan bakalan gue kasih tahu."

"Mertua lo diem aja gitu waktu tahu anaknya nikah lagi?"

"Mana berani protes, orang yang biayai hidupnya anaknya."

"Gue jadi penasaran, kaya apa sih madu lo itu?"

"Cantik, masih muda."

"Terus?"

"Dia berhijab. Dan kayaknya agamis banget."

"Kalo agamis banget, kok mau maunya sih jadi pelakor?! Nggak punya perasaan!!"

"Kok jadi lo yang emosi ...."

"Gue kesel. Gregeten sama tuh orang. Pengen gue cakar mukanya, pengen gue jambak rambutnya!" ucap Vira dengan menggebu-gebu.
"Kalo lo mau ngelakuin itu, ngomong ke gue ya, biar gue bantuin."

"Ngawur, lo!"

"Eh, kenapa lo nggak permak aja muka lo? Nyalon kek biar cantik, tuh kaus sama celana jeans ganti kek sama baju yang lebih elegan. Lo kan istri bos sekarang."

"Males gue ...."

"Tuh kan, elo-nya nggak mau usaha buat ngambil hati suami lo."

"Gue udah pasrah, Vir. Gue udah capek. Yang gue lakuin sekarang cuma bisa jaga sikap, biar gue nggak ngelawan suami. Gue capek kalo harus berantem tiap hari kaya dulu."

"Terserah lo deh ...."

Mau berubah bagaimana pun, tidak akan merubah keadaan. Karena aku tahu yang Mas Farhan rasakan pada Nadia memang benar-benar cinta. Perlakuan Mas Farhan kepada Nadia benar-benar berbeda dengan cara dia memperlakukanku. Sekalipun perlakuannya kepadaku saat kami baru menikah dulu.

Tbc.

💔💔💔

📝18.11.17
Repost, 12.10.18
Repost, 03.09.23

Luka Hati Seorang IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang