Bab 4

38.2K 4.5K 711
                                    

PENGGANGGU

---

Jungha menatap malas dua orang lelaki di belakangnya yang entah tengah memperdebatkan apa. Ya, dia adalah Haechan dan Lucas. Dua orang yang terkenal akan kebobrokannya. Apa pun yang mereka lakukan tak luput dari maki dan canda teman-temannya yang lain.

Jengah, Jungha mulai memutar bola matanya ke arah lain. Tak sengaja matanya menangkap empat sosok laki-laki yang tengah berjalan memasuki kelas. Dua orang dari mereka sesekali melempar senyum tipis pada teman kelasnya. Berbeda dengan dua orang lain yang sedari tadi hanya menatap lurus ke depan, terkesan angkuh dan enggan beradu pandang dengan tatapan-tatapan memuja yang diarahkan kepadanya.
Jungha menunduk, dia kembali teringat kejadian semalam. Ah, rasa takut kembali menyerangnya. Beruntung sekali dia bisa lolos dari para lelaki brengsek itu.

Gadis itu menghela napas kemudian berdiri, membuat suara decitan kecil dari bangkuyang tergeser. Tangannya meraih papper bag lalu mulai berjalan menuju bangku barisan pojok.

"Hai," sapa Jungha pada empat lelaki yang kini mulai menatapnya.

"Ada apa?" balas Kun menoleh. Berbeda dengan Taeyong yang entah sejak kapan sudah membuang pandangannya.

Jungha menaruh papper bag di atas meja. "Untuk kalian. Sebagai ucapan terima kasih atas kejadian tadi malam."

Yuta mengambil papper bag itu dan mengeluarkan isinya. "Apa ini?"

Jungha tersenyum. "Hanya jus stroberi. Aku pikir kalian menyukainya karena aku beberapa kali melihat kalian meminum ini."

Sesaat, keempatnya saling berpandanganya saat mendengar ucapan Jungha sebelum akhirnya Yuta dan Kun tersenyum. "Terima kasih."

Jungha mengangguk seraya tersenyum. Kemudian membalikkan badannya dan kembali ke bangkunya dengan diikuti tatapan tajam nan iri teman-teman di sekitarnya.

"Hei, apa yang kau lakukan?" tanya Ara pelan saat Jungha baru saja menempelkan bokongnya di bangku. "Kau mendekati salah satu dari mereka, sama saja kau mencari mati."

"Aish ... istirahat akan ku ceritakan padamu."

⸙⸙⸙

"Serius kau?" Ara terkejut saat Jungha baru saja menyelesaikan ceritanya. Jungha mengangguk. "Tapi kau tak apa, kan?"

"Tenanglah, aku baik-baik saja."

Ara menghela napas lega, lalu berdecak kesal. "Sudah ku bilang juga padamu untuk bermalam saja di rumahku. Kau keras kepala sekali, sih. Bibi Sandara tak masalah kau tinggal sendiri," kesal Ara.

"Terus bagaimana dengan penculiknya? Apa lebih tampan dari Taeyong?" Jungha otomatis mendesis mendapat pertanyaan konyol Ara.

"Apa kau gila? Nyawaku hampir saja melayang dan kau sempat-sempatnya menanyakan hal itu."

Ara terkekeh. "Maafkan aku."

"Aish, terserah kau saja. Aku ingin ke toilet."

"Oke. Mau ku antar?"

"Tidak perlu. Kau duluan saja ke kelas, sudah bel," ucap Jungha lalu berdiri dan melesat pergi meninggalkan kantin dan Ara.

⸙⸙⸙

Jungha mulai menghidupkan keran air di westafel lalu mulai membasuh tangan dan wajahnya. Bunyi pintu yang terbuka diiringi langkah kaki terdengar memenuhi toilet yang sunyi, membuat Jungha menolehkan pandangannya dan mendapati lima orang perempuan yang tengah menatap horor ke arahnya.

Jungha memandang acuh dan beralih mematikan keran air sebelum salah satu dari perempuan tadi mendorong bahunya kencang, membuat tubuhnya terbanting menubruk tembok. Jungha mengernyitkan dahinya bingung.

Apa-apaan mereka? Kenapa mereka berlima terlihat tak suka padanya?

Jungha menatap lima orang perempuan itu secara bergantian. Nampak kelima orang itu memang sudah tidak asing lagi di matanya. Mereka adalah Jina, Hyunso, Hwamin, Pimtha, dan Jiyoon. Ah, bukankah Jungha tak pernah memiliki masalah dengan mereka?

"Ada apa?"

"Jungha," panggil Jina dengan nada tak suka, "sejak kapan kau dekat dengan Taeyong?"

Jungha membuang napasnya kasar. Ternyata ini masalahnya. Kenapa? Kenapa mereka hanya memusuhi Jungha? Padahal mereka tahu pasti kalau banyak kaum hawa yang juga kepincut oleh ketampanan lelaki itu. Bahkan mereka semua membuat genk pecinta Taeyong. Entah apa namanya yang jelas Jungha tidak tahu.

"Aku tahu, kemarin kau mencuri dengar obrolanku dengan Taeyong, kan? Apa maksudmu?" lanjutnya.

Sedetik kemudian dia mendorong bahu Jungha lagi, hingga membuat gadis itu meringis.

"Ya!" Jungha kesal. Dia lalu menatap marah ke arah Jina. "Kau malu karena Taeyong menolakmu?"

"Sialan kau!"

Jungha mendengus lalu tersenyum miring. Tipe-tipe kalangan atas seperti mereka ini memang hanya suka merendahkan orang-orang di bawahnya. Tidak pernah berpikir dan tidak pernah mau tahu apa buah dari perkataan mereka.

"Aku paham maksudmu. Kau cemburu dan malu denganku, bukan? Tapi perlu kau tahu, aku tidak berniat untuk mendekati Taeyong. So, menurutku kalian salah sudah menggangguku dengan cara seperti ini." Jungha mengambil ancang-ancang untuk pergi.

"Kurang ajar!" Pimtha mendorong bahu Jungha. Namun, gadis itu mampu menepis kasar tangan Pimtha.

"Jina, tanganku sakit," adunya.

Jungha memutar bola mata kesal, muak mendengar suara-suara makian kuntilanak di sekitarnya.

"Apa yang kau lakukan?" Jina berujar marah.

"Tidak ada asap kalau tidak ada api dan tidak ada akibat kalau tidak ada sebab."

"Ya, kau!" geram Jina.

"Hwamin." Suara Jina mengintrupsi Hwamin yang hanya dibalas anggukan oleh gadis itu, seolah ia sudah mengetahui pasti apa yang akan dilakukannya. Dengan cepat gadis itu menjambak rambut Jungha. Sementara Jiyoon memegang kedua tangan Jungha menahannya ke belakang. Wajah polos Jungha mulai memerah menahan rasa sakit karena jambakan gadis-gadis licik itu.

"Ini baru peringatan pertama, Jungha," ucap Jina sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Jungha mengatur napasnya mencoba menahan amarahnya yang meluap-luap. Ia memejamkan matanya, berusaha menyembunyikan bulir air yang kini sudah memupuk.

'Kumohon, siapapun tolong aku!'

[END] MR. VAMPIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang