6. Cemas

27K 957 9
                                    

-Syifa POV-

***

"Ma, kami berangkat dulu ya!"

Aku dan Intan berpamitan untuk berangkat kuliah. Setelah keputusanku semalam, sama sekali tak ada yang berubah. Kami melakukan hal seperti biasa. Kakek belum mengetahui tentang ini, jadi kami belum disibukkan dengan hal tentang persiapan pernikahan.
Semuanya masih tetap sama, masih normal. Mungkin hanya perasaanku saja yang berbeda sekarang. Aku merasa lega. Dan detak jantungku sepertinya sudah tak normal sejak semalam. Aku lega tapi aku terus berdebar. Aku tak mengerti.

Tingtong!

Bel rumah berbunyi.

"Biar aku saja yang membuka pintu." Ucap Intan sambil berjalan menghampiri pintu lalu membukanya.

Terlihat ada Bunda di sana. Kami menyalami Bunda dan mempersilakannya duduk.

Bunda menarikku untuk duduk di sampingnya. Intan dan Mama hanya tersenyum melihat kami.
Intan meminta ijin untuk mengambil minum.

"Sayang, Bunda berterimakasih karena kamu mau menerima anak Bunda." Kata Bunda sambil menggenggam tanganku.

"Aku banyak kekurangan Bunda. Aku yang harusnya berterimakasih karena Bunda mau menerimaku sebagai menantu Bunda."
Aisshhh bicaraku seperti gadis keraton dah. Lemah lembut cangkang keong.

Bunda memelukku. Setelah itu dia meleraikan pelukan lalu memegang pipiku.
"Selama ini Bunda khawatir dengan anak Bunda itu. Dia tak kunjung memperkenalkan calon istrinya. Dan setiap Bunda mau memperkenalkannya pada seorang wanita, dia selalu saja menolak calon yang Bunda pilihkan itu. Selalu mengelak kalau ditanya masalah pernikahan. Bunda khawatir sekali, di umurnya yang sudah tak muda lagi itu dia belum juga mau menikah. Tapi Bunda lega, akhirnya hati Arsy terbuka juga untuk menerima kamu. Dan Alhamdulillah juga kamu mau menerimanya." Tutur Bunda.

Aku hanya menganggukngangguk saja. Tak tahu harus bicara apa.
Dalam hatiku kok aku merasa agak senang ya dari banyak wanita yang dijodohkan dengannya aku yang dia pilih.
Eh tapi kalau aku dipilih karena dia terdesak disuruh nikah gimana? Huaaa
Tapi kan aku juga terdesak harus menikah sebelum lulus kuliah. Ish tapi kan aku tidak seterdesak itu juga sih, aku masih bisa menolak.
Tapi ... duhh jadi banyak tapi gini.

Hmm aku semakin penasaran Arsy ini berumur berapa tahun sebenarnya, kenapa Bunda bilang tak muda lagi. Jangan 40-an aja sudah, entar orang ngira dia Papaku lagi.

"Bund, ini minum dulu." Intan datang menyodorkan minuman.

"Duh jadi ngerepotin kamu." Kata Bunda lalu menyuakan gelas itu ke mulutnya.
"Sebenarnya Bunda gak akan lama. Bunda mau pergi menemui Arsy. Arsy belum tahu lamarannya diterima, Bunda mau ngasih tau dia secara langsung.
Bunda pergi dulu ya!
Fizu, makasih banyak."
Sebelum pergi Bunda memeluk Mama terlebih dahulu.

Setelah mengantar kepergian Bunda aku melihat Intan tersenyumsenyum memandangku.

"Apaan?" tanyaku.

"Cieee ketemu mertua." Goda Intan.

"Kalian gak liat jam? kalian sudah terlambat kuliah." Kata Mama.
Aku dan Intan berpandangan.

"Statistika!!!" Teriak kami lalu berlari ke arah motor Intan.

***
.
.
Aku tengkurap di kasur sambil belajar untuk menghadapi ujian akhir semester. Berbagai gaya telah aku coba. Selonjoran di lantai, senderan ke pinggir ranjang, telelentang dan banyak lagi. Bukan apaapa, aku gampang pegal kalau hanya diam dalam satu posisi.

Drrrtttdrttttdrttt

Aku membuka pesan WA yang masuk ke handphoneku.
No siapa ini.

'Assalaamu'alaikum!
Hay Syifa. Saya Arsy.
Saya ucapkan terimakasih karena sudi menerima lamaran keluarga saya. Syukur saya panjatkan atas berkah ini.
Saya tahu kita tak saling mengenali satu sama lain.
Saya harap kita bisa membuka diri untuk lebih saling mengenali sekarang.
Saya banyak mendengar tentang kamu dari Bunda, Mama, Arisya, bahkan si kecil Arsyad. Jujur saja entah kenapa, hanya dengan mendengar cerita mereka saja saya sudah mulai tertarik.
Karena umur saya yang tak muda lagi, saya tak ingin hubungan yang mainmain.
Saya memiliki banyak kekurangan, saya harap kamu tak kaget nanti dengan kekurangan saya.
Sekali lagi terimakasih.
Wassalam!'

Nikah Muda (?) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang