5. Lamaran

27.1K 991 5
                                    

-Syifa POV-

***

Tiga hari berturutturut aku istikharah. Tapi aku masih ragu untuk mengambil keputusan. Aku takut salah mengambil langkah lagi.
Aku malah selalu terbayang pria tampan yang aku mimpikan saat di rumah sakit kemarin. Entah pria itu wujud atau enggak mana kutahu.

"Tan!" Aku menghampiri Intan yang sedang membaca novel sambil tengkurap.

"Kenapa?" tanyanya seraya bangun lalu duduk menghadapku.

"Mau minta pendapat."

Intan menutup novelnya. Lalu duduk lebih dekat denganku.

"Mengenai lamaran itu?"

Aku mengangguk.

"Apa yang membuatmu ragu?"

"Entahlah. Mungkin batalnya pernikahanku yang sebelumnya membuatku sedikit takut untuk menerima atau menolak lamaran ini. Aku bingung, Tan."

"Kamu sudah istikharah kan?"

"Iya."

"Terus kenapa kau masih ragu mengambil keputusan? Lagipula bukannya kamu memang pengen jadi menantu, Bunda?"

"Ish kau ini. Justru karena Bunda yang melamar makanya aku jadi tambah bingung. Kalau aku tolak aku takut menyakiti hati Ayah dan Bunda. Kalau aku terima, takutnya mengecewakan lagi. Lagi pun aku gak kenal sama anak Bunda itu. Kak Arisya aja udah 25 tahun, itu Abangnya umur berapa itu? kalau tua gimana? kalau ternyata dia duda gimana? Uhh aku gak bisa berhenti mikirin halhal itu."

Selama kami mengenal keluarga mereka, aku memang gak pernah tahu tentangnya Abangnya Kak Arisya ini.
Bunda juga tak pernah cerita apaapa tentang anaknya itu. Eh tibatiba sekarang malah datang melamar.

"Aisshhhh drama deh. Belum kenal aja dah mikir macemmacem gitu. Terima aja dulu. Toh kalau kamu terima pun gak bakal langsung dinikahin saat itu juga kan. Hehe Masih ada waktu untuk mengenalinya. Dari pandanganku, dia itu keliatannya pria yang baik."

"Kau bicara seolah kau sudah mengenalnya saja." Cebikku.

"Aku memang belum terlalu mengenalnya. Tapi aku bisa menebak dari gerakgeriknya, cara bicaranya, sikapnya pada orangtua, aku rasa dia pria yang baik."
Intan benarbenar bersemangat sekali saat bercerita tentang pria ini.

"Wait ... kau pernah bertemu dengannya?" tanyaku tak percaya.
Intan sudah tersenyum penuh makna.
"Bagaimana bisa? Kapan? Kok aku gak tau? Apa janganjangan dia orang yang kita kenal? Selama ini kan kita gak pernah mengenal siapa anak Bunda itu. Cepat cerita kapan dan bagaimana kalian bertemu."
Aku benarbenar penasaran.

"Slow ae lah, Fa. Dengar, waktu Ayah dan Bunda melamarmu dia kan datang juga. Dan waktu akhir bulan lalu kan dia pulang juga kesini, tapi kau gak ada di rumah. Benarbenar rugi kau. Haha" Terang Intan.

"Ish. Mukanya gimana, Tan? Cakep gak? Gak keliatan tua banget kan?"

"Kalau soal itu aku NoComment. Fa, kalau kau mau dengar pendapatku maka aku hanya akan menceritakan tentang dia mengenai sikapnya saja dan itu pun belum tentu benar. Karena itu subjektif dari yang aku lihat. Kalau kau tanya rupa, umur, jabatan, keadaan ekonomi dan halhal lain yang berbau duniawi, aku gak akan jawab. Aku ingin kau mengambil keputusan tanpa memandang semua itu. Jernihkan pikiranmu, setelah itu kau sholat istikharah lagi."
Jelas Intan panjang lebar.

Apa yang dikatakan Intan memang benar. Aku juga tak mau keputusanku terpengaruh oleh halhal itu. Aku ingin memutuskan atas dasar kemantapan hatiku saja.

"Yaudah. Timekaciihh ya Intan sayang." Ucapku kemudian memeluknya.

"Ish udahlah lepas." Intan melepaskan pelukan kami.
"Eh aku punya bonus informasi untuk kau. Anaknya bunda bukan duda." Katanya seraya tersenyum.

Nikah Muda (?) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang