SELURUH binatang di hutan pusing oleh kelakuan sang garuda, raja mereka. Yang tak pusing cuma sebagian kecil hewan yang dekat dengan sang garuda. Misalnya, burung beo, cucakrawa, atau bunglon. Dulu musang yang pakai bulu ayam juga bikin pusing. Tapi, sekarang sudah berkurang - terutama karena bulu musang sendiri lama-lama menjadi terasa indah dan ternyata menyenangkan.
Kenapa pusing, pokok soalnya ialah kebijaksanaan sang garuda yang cenderung memperbanyak jumlah peternakan bebek dan ayam horn.
Ini berbahaya. Sebab kalau populasi bebek terus meningkat, bangsa binatang kelak bisa benar-benar kehilangan watak. Tiap siang dan malam hari di seantero hutan hanya akan terdengar suara "wekwekwek" tanpa henti. Dan karena akhirnya bebek menjadi mayoritas penduduk, maka barang siapa tak bisa mengucapkan "wekwekwek" pasti malang nasibnya.
Apalagi kalau bebek selalu memperoleh tempat utama di hati sang garuda maupun di semua sendi pemerintahannya. Lebih celaka lagi kalau Dewan Perwakilan Binatang dan Badan Pengadilan Binatang ternyata terdiri dari bebek-bebek juga. Sebab sudah menjadi hukum sejarah hutan mana pun. Mereka tak mampu, bahkan memang akhirnya kurang bersedia memegang kedaulatan penduduk hutan dalam arti yang sebenarnya.
Kesiapan mereka justru hanya untuk menjadi petikan sang garuda. Dan untuk itu, raja yang jeli otaknya, yang tahu persis keadaan mental para bebek, cukuplah menyediakan bagi mereka kandang-kandang yang beralaskan permadani, pedati-pedati yang terbuat dari perak dan emas, serta rajin membawa bebek-bebek itu ke sungai susu, dan di sana para bebek itu ramai-ramai makan bekicot, kecebong, ulat, katak, atau binatang-binatang kecil lain.
Dengan begitu, maka para bebek akan senantiasa mematuhi kehendak sang garuda. Jika ditanya, "Setuju, Saudara-saudara?" maka mereka menjawab serentak "wekwekwek" sampai bergaung ke seluruh hutan.
Kemudian, ayam horn. Ini tipikal binatang abad pintar hasil impor sang garuda dari hutan seberang. Jenis binatang yang bukan ciptaan "murni" Dewa Binatang, melainkan buah persilangan teknologis: tak diperlukan kehadirannya sebagai dirinya sendiri, melainkan sekadar untuk diperas telurnya serta disembelih.
Jadinya ayam itu termasuk jenis binatang yang menyebalkan. Terlalu manja, ringkih badan maupun jiwanya. Harus selalu enak makan, mudah diserang penyakit, tak mampu bertarung, dan gampang mati. Dengan satu sentuhan kecil dari sesuatu yang asing, akan pingsan. Karena itu, senantiasa perlu dilindungi dari angin, atau sentuhan tangan yang bukan tangan tuannya.
Bahkan, dipilih ruang yang khusus dan tersembunyi. Sebab kalau sampai berada di jalanan umum, cacing-cacing pun dengan gagah akan menyerbu dan menyergapnya. Atau kalau selamat, justru bisa terdidik jadi ayam kampung yang suka bandel. Toh, umumnya ayam horn takut membayangkan dirinya menjadi ayam kampung: terlalu spekulatif dalam cari makan, sehingga hari depan kurang terjamin. Padahal, ayam horn ini sungguh-sungguh tak tahan lapar. Takut melarat. Dan amat suka bersolek.
Maka demi segala kehidupan dan kematian, tidaklah sekali-sekali Dewa Hutan pernah menghendaki lahirnya jenis binatang begini, binatang yang tak hewani ini. Sungguh memalukan. Semua pepohonan, air, dan tanah, pasti ikut merasa wirang. Bahkan langit pun, lihatlah, segera memalingkan wajah.
Namun dalam keprihatinannya, penduduk hutan juga menyadari bahwa kesalahan tidak bisa ditimpakan sepenuhnya kepada ayam horn. Mereka hanya pihak yang dirancang, dicetak, dan digiring. Mereka sekadar kelemahan yang dimanfaatkan, keterpaksaan yang dieksploitasi, kerendahan yang diinjak-injak.
Adapun yang paling menyedihkan dari ayam horn ialah bahwa mereka sendiri tak menyadari keadaan mereka. Sehingga tak merasa perlu memberontak dari keadaannya. Tentu bukan salah bunda mengandung. Melainkan salah sejarah, yakni ibu tirinya.
Seluruh binatang hutan pusing oleh kelakuan sang garuda, raja mereka. Yang tidak pusing cuma sebagian kecil hewan yang dekat dengan sang garuda. Misalnya, burung beo, cucakrawa, atau bunglon itu ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Tulisan Emha Ainun Nadjib
RandomSebuah permenungan dari Emha Ainun Nadjib akan berbagai tema kehidupan. Menumbuhkan nuansa kemanusiaan di tengah gejala yang melunturkannya. Ini hanyalah tetes kecil, dari guyuran khasanah kehidupannya... Selamat memesrainya.