KARENA masih percaya kepada manusia, senator Filipina Benigno Aquino mati terkapar. Betapapun diktatornya seorang Marcos, tetapi karena pertimbangan moral dan perhitungan politis, Ninoy pikir Marcos tidak akan meng-garnizun-nya. Maka dari Boston, ia vini, vidi, mati. Ia lupa bahwa ia tak saja bukan Khomeini, seorang Muslim ayatullah, tetapi juga belum menjalankan keprihatinan amat panjang dan membangun rintisan "power" seperti yang dikerjakan oleh pemimpin Iran itu.
Ia seorang demokrat sejati. Perjuangan yang dilakukannya pun suatu perjuangan demokratis. Ia sungguh-sungguh menginginkan kebenaran dan keadilan tegak di negerinya. Maka bolehlah ia dikategorikan sebagai "yang benar". Namun layakkah, sesudah matinya, kita mengingat ... ja-al haqqu wazahaqol-batil, innal batila kana zahuqa?
Kebenaran datang dan kebatilan tidak terhancurkan. Ataukah karena sepanjang hidupnya Ninoy tidak pernah membaca syahadat? Lantas bagaimana konteks ayat itu untuk sementara tokoh Muslim atau nasib umat Islam di negeri kita sendiri ini? Ataukah Indonesia ini belum zahaqolbatil karena belum ja-al-haq? Bagaimana sebenarnya menemukan suatu cara persepsi untuk memercayai janji Allah itu? Sedangkan Allah mutlak "la yukhliful mi'ad"?
Demikianlah, kita coba membenturkan frontal dan melibatkan langsung ayat Al-Quran di setiap kejadian dan gejala. Ini pun masih belum ideal karena sesungguhnya segala perilaku zaman dan gerak-gerik sejarah mestilah diberangkatkan oleh Al-Quran. Tetapi kita masih amat jauh dari itu, sebab integritas Al-Quran baru berada pada satu dua sudut kehidupan kita. Itu menyebabkan sering kali kita kurang mampu menangkap kebenaran ayat-ayat, menghayati kesaktiannya, bahkan tidak jarang ada di antara kita yang diam-diam meragukan kebenarannya. Padahal bukan saja seluruh ayat Al-Quran itu benar, juga segala kebenaran terkandung di dalamnya, dan Al-Quran memiliki kebenaran-kebenaran yang lebih mutlak dan tidak dipunyai oleh bentukan-bentukan duniawi, kebenaran yang pernah dicapai oleh manusia.
Namun tentulah absurd untuk menghubungkan kasus Aquino itu dengan ayat tersebut di atas. Seperti juga melihat posisi Islam di tengah kehidupan kebangsaan kita, tidak bisa kita benturkan dan kita ukur berdasarkan logika ayat. Persoalan pertama karena Al-Quran merupakan suatu keseluruhan, artinya kesaktiannya muncul hanya apabila Al-Quran memanifestasi secara menyeluruh, juga di dalam kehidupan kita. Analoginya, bangunan haq itu mesti menyeluruh juga, yakni bahwa untuk mengharapkan kemenangan kita harus sudah lulus di dalam menjalankan dan mematuhi seluruh kandungan Al-Quran. Tanpa diusahakan sungguh-sungguh maka bangunan haq tidak utuh dan karena itu tidak sakti.
Ketika untuk itu, Allah berfirman, "saurikum ayati fala tasta'jilun", itu berarti Ia sungguh-sungguh akan memenangkan kebenaran, dan kalau kita tidak boleh tergesa-gesa, itu bukan berarti Allah menunda kemenangan, melainkan mungkin karena kita belum siap untuk menang. Artinya, lebih dahulu kita harus membenahi diri kita sendiri, mesti ishlah, introspeksi, serta mengembangkan kekuatan kebenaran itu di dalam tubuh kita. Kalau dalam surat lain Ia berfirman, "fashbiru kama shobaru ulul'azmi minar-rusuli wala tasta'jil lahum", mungkin ini mengandung isyarat yang sama.
Di sinilah letak konteks Al-Quran yang secara samar mendorong kita untuk menerjemahkan maknanya ke dalam berbagai pembentukan kekuatan kebenaran baik di bidang politik, ekonomi, maupun kebudayaan, sekaligus mengandung tuntutan tentang "moral dalam doa". Maksudnya kita tidak hanya begitu saja layak minta kepada Tuhan tanpa kita sesungguh mungkin mematuhi kehendak-Nya terlebih dahulu. Kita tidak begitu saja "menagih" janji Allah kalau kita sendiri belum membayar kewajiban-kewajiban kemakhlukan kita kepada-Nya.
Ada semacam teori yang diyakini dalam kehidupan berpolitik, bahwa untuk melawan suatu kediktatoran engkau tidak bisa memakai cara perjuangan yang demokratis supaya engkau tidak mudah terkapar seperti Ninoy. Moral demokrasi bisa dijadikan landasan untuk menumbuhkan kekuatan, namun di tengah iklim yang tidak demokratis akan sia-sia segenap upayamu yang bersifat demokratis.
Katakanlah begini: terhadap rezim yang munkar maka cara-cara perjuangan yang ma'rif selalu akan dipecundangi. Engkau mungkin merasa bisa, dan tidak harus demikian. Tetapi kita akan terbagi menjadi dua golongan: pertama, yang mengalami distorsi dan stagnasi dari alam perjuangan, dan kedua, terdorong oleh stressed dan bertumbuh menjadi ekstremis dan hanya melihat teror sebagai satu-satunya cara melawan.
Itu telah terjadi di sini dan telah kita alami bersama. Ataukah kita mesti hijrah dulu seperti Jungjungan kita Muhammad ke Madinah, atau Khomeini yang dari luar tanah airnya membina political power-nya. Atau mungkin hijrah kita tidak secara fisik, melainkan dengan pembinaan watak keislaman seperti yang dewasa ini semakin gencar kita lakukan di mana-mana. Namun jelas, bahwa "belum saatnya kita kembali dari Madinah ke Makkah".
Persoalannya lagi, adakah "pembinaan kekuatan" itu harus hanya bisa berpedoman pada rumus-rumus politik yang selama ini berlaku - seperti bagaimana sibuknya kita kini memperlajari Indonesia dengan mengenali berbagai kasus kenegaraan di Amerika Latin. Benarkah kita tiba-tiba saja seperti merasa "sepi" dari ayat-ayat Al-Quran serta isyarat dan janji Allah Yang Agung tatkala kita berpolitik? Ataukah kita kurang terbiasa menggali ayatullah untuk urusan-urusan besar semacam itu? Benarkah Al-Quran tidak menyediakan landasan bagi terbangunnya kebesaran keumatan Islam entah apa pun bentuknya? Benarkah Allah sekadar mengajari kita bagaimana cara mengerjakan sholat, membagi zakat, aturan faraidl, hukum riba, atau batasan jilbab - dan tidak untuk kerangka dunia besar politik ekonomi kebudayaan Islam serta rekatannya dengan ruh zaman yang dibimbing dan dijamin Allah?
Sedangkan sholat istisqo bisa mengundang hujan. Sedangkan untuk melawan segala intervensi deislamisasi dari luar diri kita tidak hanya bisa kita lakukan dengan olah pikiran dan olah sosial, tetapi juga dengan sholat khouf. Sedangkan kita 130 juta Muslimin Indonesia bisa bersama-sama pada suatu malam bersembahyang hajat untuk maksud bersama yang agung dan yang memang sebaiknya kita tangisi bersama-sama di hadapan-Nya. Sedangkan ada beribu-ribu kekuatan lagi yang ditawarkan oleh Allah yang selama ini kurang kita pedulikan.
"Wanuridu an-namunna 'alal-ladzinas-tudl'ifu fil-ardli wa naj'aluhum a-immatan wanaj'aluhumul-waritsun." Allah telah berjanji dan Dia Maha Menepati Janji, maka mengapa kita menunda-nunda untuk segera mengerjakan kehidupan yang bisa mendekatkan kita pada kebenaran janji itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Tulisan Emha Ainun Nadjib
RandomSebuah permenungan dari Emha Ainun Nadjib akan berbagai tema kehidupan. Menumbuhkan nuansa kemanusiaan di tengah gejala yang melunturkannya. Ini hanyalah tetes kecil, dari guyuran khasanah kehidupannya... Selamat memesrainya.