Pak Kiai menuding santri ketujuh, "Tidakkah Islam bermakna kepasrahan?"
"Benar, Kiai", jawabnya, "Islam ialah memasrahkan diri kepada kepada kehendak Allah. Arti memasrahkan diri kepada kehendak Allah ialah memerangi segala kehendak yang bertentangan dengan kehendak Allah".
"Bagaimana manusia mengerti ini kehendak Allah atau bukan?"
"Dengan memedomani ayat-ayatNya, baik yang berupa kalimat-kalimat suci maupun yang terdapat dalam diri manusia, di alam semesta, maupun di setiap gejala kehidupan dan sejarah. Oleh karena itu Islam adalah tawaran pencarian yang tak ada hentinya".
"Kenapa sangat banyak orang yang salah mengartikan makna pasrah?"
"Karena manusia cenderung malas mengembangkan pengetahuan tentang kehendak Allah. Bahkan manusia makin tidak peka terhadap tanda-tanda kehadiran Allah di dalam kehidupan mereka. Bahkan tak sedikit di antara orang-orang yang rajin bersembahyang, sebenarnya tidak makin tinggi pengenalan mereka terhadap kehendak Allah. Mereka makin terasing dari situasi karib dengan kemesraan Allah. Hasilnya adalah keterasingan dari diri mereka sendiri. Tetapi alhamdulillah, situasi terasing dan buntu yang terjadi pada peradaban mutakhir manusia, justru merupakan awal dari proses masuknya umat manusia perlahan-lahan ke dalam cahaya Islam. Sebab di dalam kegelapanlah manusia menjadi mengerti makna cahaya".
"Cahaya Islam. Apa itu gerangan?"
Santri ke delapan menjawab, "pertama-tama ialah ilmu pengetahuan. Adam diajari nama benda-benda. Itulah awal mula pendidikan kecendekiaan, yang kelak direkonstruksi oleh wahyu pertama Allah kepada Muhammad, yakni iqra'. Itulah cahaya Islam, Sebab agama itu dianugerahkan kepada makhluk tertinggi yang berpikiran dan berakal budi yang bernama manusia".
"Pemikiranmu lumayan", sahut Pak Kiai, "cahaya Islam tentunya tak dapat dihitung jumlahnya serta tak dapat diukur keluasan dan ketinggiannya; Kita memerlukan tinta yang ditimba dari tujuh lautan lebih untuk itu. Bersediakah engkau kutanyai barang satu dua diantara kilatan-kilatan cahaya maha cahaya itu?"
"Ya, Kiai".
"Sesudah engkau sebut Adam, apa yang kau peroleh dari Idris?"
"Dinihari rekayasa teknologi".
"Dari Nuh?"
"Keingkaran terhadap ilmu dan kemenangan Allah".
"Hud?"
"Kebangunan kembali menuju salah satu puncak peradaban dan teknologi canggih".
"Baik. Tak akan ku bawa kau berhenti di setiap terminal. Tetapi jawablah: Pada Ibrohim, terminal Islam apakah yang engkau temui?"
"Rekonstruksi tauhid, melalui metode penelitian yang lebih memeras pikiran dan pengalaman secara lebih detil".
"Pada Ismail?"
"Pengurbanan dan keikhlasan".
"Ayyub?"
"Ketahanan dan kesabaran".
"Dawud?"
"Tangis, perjuangan dan keberanian".
"Sulaiman?"
"Ke-waskita-an, kemenangan terhadap kemegahan benda, kesetiaan ekologis dan keadilan".
"Sekarang sebutkan yang engkau peroleh dari Musa!"
"Keteguhan, ketegasan haq, ilmu perjuangan politik, tapi juga kedunguan dalam kepandaian".
"Dari Zakaria?"
"Dzikir".
"Isa?"
"Kelembutan cinta kasih, alam getaran hub".
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Tulisan Emha Ainun Nadjib
RandomSebuah permenungan dari Emha Ainun Nadjib akan berbagai tema kehidupan. Menumbuhkan nuansa kemanusiaan di tengah gejala yang melunturkannya. Ini hanyalah tetes kecil, dari guyuran khasanah kehidupannya... Selamat memesrainya.