Jualan Nenek Moyang

65 1 0
                                    

(81) Jualan Nenek Moyang

Dil, tak tahu persis siapa yang dulu mengajari kita-kita semua ini sehingga begitu gandrung kepada uang, melebihi gandrung kepada Tuhan. Kita ini memang manusia cap dolar.

Tapi, mau gimana. Bangsa pun diadu melawan bangsa lain, demi penjualan senjata. Atau, tak usah yang besar-besar: sambal pun dijual besar-besaran secara internasional. Di banyak kota di Amerika umpamanya, kau bisa cari apa saja macam-macam bumbu dan masakan Indonesia -- Conimex punya karya. Mau cari kunyit? Sambal ulek? Sambal korek? Sambal gandaria? Sambal asam? Atau, sambal-sambal lain yang kujamin engkau sendiri belum pernah mencicipinya. Paket bumbu gule? Rendang? Semur? Apa saja pokoknya. Hasil kreasi nenek moyang kita sangat berjasa menghidupi orang-orang di sana.

Salah satu keahlian baruku ini, misalnya, adalah melinting rokok. Kupilih proyek nostalgia Kumpeni: Javaanse Jongens. Kesarjanaan nglinting rokok ini akan kupertahankan di tanah air, agar tak begitu saja langsung ambil dari paknya. Konsumtif dong itu namanya.

* * *

Ini salah satu alasan kecil kenapa kawan-kawan kita di sana iseng-iseng merasa ikut memiliki saham moral bagi devisa Negeri Belanda. Kawan-kawan bahkan -- digarisbawahi oleh kenyataan perhubungan ekonomi internasional yang menyodorkan ke kepala berapa banyak kekayaan kita yang sejak zaman kolonial dulu sampai kini masuk ke usus negara-negara besar -- menganggap bahwa memang tidak sedikit harta karun kita yang mengepulkan asap Oom-Oom di sana.

Berapa pun kadarnya, ini menjadi psikologisme. Kalau seseorang memperoleh kesulitan -- misalnya untuk memperoleh visum -- ia menggerutu: Cukimai! Emangnya lu dulu masuk Indonesia 350 tahun pakai visum! Gua masuk negara lu juga mbelanjain duit, lu dulu ngrampok!

Kasar, ya, Dil? Tapi, jujur.

* * *

Gerundelan yang sama akan terdengar juga apabila -- misalnya -- kena denda karena kepergok tak bayar waktu naik trem, bus, atau kereta.

Ada sebagian amat kecil kawan, yang karena psikologisme semacam itu, lantas iseng-iseng menerapkan hobi mencuri kecil-kecilan, mengutil, nimpe. Bisa di toko, di supermarket, di tempat kerja. Lumayan, bisa menghemat uang belanja. Kalau hasil "gergajian"-nya kertas, bisa bikin buletin.

Cara mencuri itu amat mudah: jangan sampai ketahuan. Juga jangan sekali-kali bilang kepada petugas di situ bahwa kita akan mencuri. Jangan sampai terjadi seperti si Polan itu: gara-gara ketahuan mencuri roti, lantas dihukum mesti habisin itu roti semuanya sekaligus. Apalagi kalau sampai berurusan dengan polisi, bisa memalukan Pancasila dasar negara.

Di sektor permalingan internasional ini kartuku putih. Memang aku bisa naik trem gratis berkat aji panglimunan (menghilang tak bisa balik), tapi kalau dipakai mencuri tidak baik. Soalnya barang yang kucuri tak bisa ikut menghilang: kan bisa seperti film horor jadinya.

* * *

Pengalaman macam itu kukira tidak tepat dibawa ke tanah air. Sebab di sini pencopet sudah mampu mengambil uang dari dompet dalam saku, sementara dompetnya tetap utuh di situ. Juga ada keahlian yang lebih dahsyat, umpamanya onggokan gunung pun bisa dimasukkan ke kantong tanpa ketahuan orang.

Pun, pencurian kecil-kecilan yang dilakukan oleh pencuri-pencuri yang juga kecil, jelas tergolong perbuatan yang menghambat pembangunan nasional.

Adapun pencurian besar-besaran yang dilakukan oleh para pencuri yang juga besar, wallahu a'lam.

* * *

Pengalaman keeropaan lain yang tak patut diterapkan di sini ialah kebiasaan memanfaatkan telepon rusak.

Di kota tertentu, orang-orang Maroko, Turki, Indonesia dan satu dua lainnya tergolong memiliki mata burung hantu terhadap telepon rusak. Boks telepon yang angka nol-nolnya menyala-nyala ketika tak dipakai: silakan pergunakan untuk sambung ke mana saja tanpa batas waktu. Sekali ada 0-0-0-0 berkedip-kedip, dalam beberapa menit antre panjanglah kawanan Turki, Maroko, atau Indonesia.

Bayangkan, kalau telepon normal dari Jerman ke Jakarta biayanya bisa 30.000 perak satu menit. Nah, kalau sempat seperempat jam kan bisa gugur harapan buat menjadi wiraswastawan. Jadi, wajarlah kalau orang pada berderet seperti antre beras dan minyak pada zaman orla. Cuma mesti hati-hati. Ngantrenya jangan kelihatan. Berlagaklah ngobrol atau apa kek di tempat yang agak terlindung. Sebab kalau ketahuan petugas, musnahlah harapan komunikasi antarbenua.

Juga biasanya, kalau ada seekor burung hantu menangkap nol-nol menyala, ia hanya akan ngasih tahu sesama awak. Soalnya kalau ketahuan gerombolan lain, rusaklah suasana.

* * *

Aku sendiri, Dil, termasuk sangat terbelakang dalam pemanfaatan teknologi rusak ini. Kalau tahu: memangnya aku mau telepon ke mana? Tersebutlah proyek Telepon Masuk Desa. Lucu, ya? Tapi, memang dari dulu desa selalu masuk telepon -- dicumbu rayu dan ditidur-mesrai oleh kota dan negara.

Kebiasaan ini tak patut diterapkan di sini, karena memang tak jelas gunanya. Golongan masyarakat "pemerataan kemelaratan" tak punya kebutuhan telepon-teleponan: kalau bisa sih telepon Tuhan saja langsung. Sedangkan golongan masyarakat "pemerataan kekayaan" toh bisa telepon dari kantor biarpun mau menghubungi keponakan yang ada di Boston atau Tripoli.

Tapi, Khalifah Umar bin Abdul Aziz sangat populer di sini. Ketika menerima putranya di kantor, ia mematikan lampu, sebab lampu dinas tak boleh dipakai untuk keperluan pribadi. Kabarnya moralitas ini banyak ditiru di sini, kecuali yang tidak. []

DARI POJOK SEJARAH: RENUNGAN PERJALANAN EMHA AINUN NADJIB
(PENERBIT MIZAN, 2019)

Kumpulan Tulisan Emha Ainun NadjibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang