Kita semua, saudaraku seakidah. Selalu bersatu dalam tauhidillah dan tak sebuah macam makhluk pun yang mampu memisahkan kesatuan kita itu, kecuali kekeruhan rohani kita sendiri: "marodhun fii quluubinaa".
Akan tetapi, mungkin kita tak sepaham. Tak sepengertian pemikiran. Tak sependapat. Tak seanutan. Saudaraku menganut ini dan aku menganut itu, sementara kita yang lain barangkali menganut suatu unikum tertentu dari kepribadiannya berdasarkan kodrat kelahiran dan mungkin latar belakang kebudayaannya. Kita kemudian saling bisa bermusyawarah, dan hasil musyawarah itu sebagian yang lain mungkin harus kita biarkan berbeda-beda. Kita juga bisa saling menilai, saling mengkritik, bahkan saling menghakimi. Tetapi yang terpenting harus kita ingat ialah tindak penghakiman itu selayaknya dilandasi oleh keinsafan kita akan keterbatasan dan relativitas kemampuan kemakhlukan kita. Selebihnya keyakinan yang tak bisa ditawar-tawar bahwa Allah-lah Yang Mahakuasa dan Mahamampu menyelenggarakan penilaian yang sehakiki-hakikinya.
Demikianlah, saudaraku, bahwa mungkin saja kita tak sepaham, hal itu tidaklah perlu dirisaukan benar. Pertama, kata Pak Guru: "Seribu kepala punya seribu pendapat. Ketika Allah berfirman berfirman, 'Wa ja'alnaakum syu'uuban wa qobaa-ila, lita'aarofu ...,' kukira yang dimaksud, insya Allah, bukan sekadar perbedaan bangsa-bangsa dan suku-suku saja, melainkan lengkap dengan analoginya, dengan konotasinya. Yakni, bahwa di samping bangsa-bangsa dan suku-suku selalu memiliki unikum-unikum tersendiri yang membedakan alam hidup mereka, cara berpikir mereka, atau kebiasaan psikologis tertentu mereka; juga tentulah ada pengertian yang lebih meluas: ada syu'uub dan qobaa-il pemikiran yang mencerminkan tipologi internalisasi keagamaan yang berbeda-beda. Dan, diantara yang berbeda-beda itu dianjurkan untuk ta'aarofu, saling mengenal, saling memberi ruang, saling toleran, sepanjang tak sampai menyangkut perbedaan prinsipil tentang akidah. Sebagian dari perbedaan itu bisa kita rundingkan untuk membawa kita pada kondisi 'sepengertian', tapi sebagian yang lain mungkin tidak".
Kemudian, kalau toh tetap juga timbul keruwetan dari proporsi yang demikian, toh kita masing-masing tetap bisa berserah diri kepada-Nya, kaanal-llahu bi kulli syai-in 'aliimaa. Ini sebab kedua perbedaan-perbedaan paham di antara kita tak selalu harus kita risaukan. Berkali-kali aku mengatakan kepada saudaraku bahwa kita memang harus berusaha agar perbedaan di antara kita bisa menjadi seperti yang dikehendaki Allah, yakni menjadi rahmat, bukan malapetaka.
Bukan musyawarah, melainkan konsensus
Akan tetapi, betapa susahnya hal itu kita capai, saudaraku, kita telah mengalami bersama.
Kita ini bukan masyarakat musyawarah, melainkan masyarakat konsensus. Bukan masyarakat diskusi, melainkan masyarakat kompromi. Tentu saja tidak sepenuhnya demikian, tapi itulah frekuensi terbesar dari praktik komunikasi sosial kita. Kalau kita bermusyawarah, kita telorkan kebijaksanaan - itu sering kali berarti "tahu sama tahu" yang tak jarang disifati kemungkaran-kemungkaran tertentu. Kita suka damai, tapi itu acap kali berarti kita mengompromikan hal-hal yang sebenarnya tak bisa dikompromikan, atau menganggap klop apa yang sesungguhnya bertentangan.
KITA MENYOGOK DENGAN SEJUMLAH UANG UNTUK KELANCARAN SUATU URUSAN, DAN KITA SEBUT ITU PERDAMAIAN. KITA PUTUSKAN SESUATU YANG TAK BIJAKSANA UNTUK RAKYAT BANYAK DAN KITA SEBUT KETIDAKBIJAKSANAAN ITU SEBAGAI KEBIJAKSANAAN.
Kita bisa menganggap kekejaman-kekejaman tertentu sebagai tindakan luhur yang menegakkan hukum dan harkat kemanusiaan. Kita membiasakan diri untuk sedemikian luwes dan retoris untuk mendorong diri beranggapan, bahwa sesuatu hal itu ma'ruf, bukan mungkar. Dalam praktik urusan kenegaraan dan kemasyarakatan sering kali kita menjumpai kenyataan seperti itu.
Kita tak membiasakan diri untuk melihat dan memahami perbedaan dalam proporsi yang wajar. Sistem politik negeri kita jelas mendorong suatu keadaan "tunggal", seperti kehendak pemerintah. Mafhumlah kita terhadap perilaku kaum establishment itu. Namun, lebih menyedihkan hati jika dalam praktik kehidupan beragama kita juga menjumpai kecenderungan sikap otoriter yang secara sadar atau tak sadar cenderung memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Umat sukar akan berangkat dewasa dalam iklim seperti itu. Tentulah saudaraku tak usah memintaku untuk menyebut-nyebut contoh konkret untuk itu. Sebab, kita sudah sama-sama mengetahui dan mengalami.
Aku meyakini sepenuhnya bahwa kecenderungan itu tidak muncul dari niatan sengaja untuk bersikap otoriter. Paling jauh itu adalah ungkapan naluri manusia untuk senantiasa mempertahankan diri. Diri selalu harus dipertahankan, termasuk semua keyakinan dan pengertian pikirannya karena seseorang tak bisa hidup jika tidak dengan keyakinan dan pengertian pikirannya sendiri. Namun, persoalannya bahwa ia tak harus "menyuruh" semua orang untuk berpendapat seperti dirinya, dan hendaknya ia yakin juga bahwa tanpa seorang pun yang lain yang sependapat dengannya: ia tetap sah untuk menghidupi keyakinan dan pengertiannya. Saudaraku mengalami, terkadang ada saudara kita merasa "gugur" gara-gara orang lain tak sependapat dengannya, lantas "gugur diri"-nya itu termanifestasi lewat kata-katanya bahwa yang gugur seakan-akan adalah kebenaran Islam. Ia hanya bisa hidup dengan mengidentifikasi dirinya dengan kebenaran Islam, sehingga siapa saja yang tak sependapat dengannya, ia anggap melanggar Islam. Ia memperlakukan seolah-olah agama Islam hanyalah sebuah benda mati bagaikan seonggok batu yang "verbal" dan miskin. Ia tidak menyediakan ruang dan tenaga untuk membayangkan bahwa pribadi-pribadi ditumbuhkan dengan Islam maka ia akan memunculkan mosaik kekayaan-kekayaan yang tiada batasnya, bagaikan percikan dari kekayaan Allah yang tak bisa kita perkirakan. Ia juga tak bersiap, karena itu, untuk bersikap tawaduk, rendah hati, sadar akan keterbatasan kita bersama, di tengah mosaik yang hanya sedikit saja mampu kita lihat dan rumuskan itu.
Kukira, saudaraku, hakikat dari kesemuanya itu ialah kesadaran kita bersama, bahwa hidup kita bergerak mengidentifikasi diri dengan kebenaran Islam. Namun, sosok tubuh kebenaran diri kita tidaklah identik dengan sosok tubuh kebenaran kita. Sebab kebenaran Islam amat luas dan besar, seluas alam semesta yang Dia ciptakan, dan kita sekadar "bergabung kepada-Nya". Ya, kita yang amat kecil ini hanya bergabung pada-Nya. Mengolah pribadi kemusliman tidaklah berarti membangkitkan egosentrisisme, di mana seorang menyerap "seluruh Islam" dan ia menganggap diri persis dengan kebenaran Islam sepenuhnya. Itu suatu takabur. Padahal, kita tak lebih berarti daripada dzarrah: jika kita dilahirkan untuk menjadi khalifah di muka bumi, kekhalifahan itu mestilah dengan penuh tawaduk: kesadaran akan kefakiran di hadapan Allah.
Hal ini, saudaraku, persis dengan kenyataan bahwa "tak seorang pun mampu menguasai Al-Qur'an". Paling jauh ia hanya "menguasai penguasaannya sendiri" atas Al-Qur'an. Cakrawala Al-Qur'an tak akan selesai untuk ditempuh, jalan lurusnya tak bakal habis dikembarai. Segala yang mampu diucapkan oleh pikiran dan hati kita dari dan tentang Al-Qur'an hanyalah sebatas relativitas pengetahuan dan pengalaman pribadi kita, dan Al-Qur'an tak bisa engkau hitung berapa kali lipat kekayaannya dibanding kekecilan kita yang sering sombong ini. Maka, tak ada pilihan lain kecuali tawaduk. Dan, memang itu yang terbaik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Tulisan Emha Ainun Nadjib
RandomSebuah permenungan dari Emha Ainun Nadjib akan berbagai tema kehidupan. Menumbuhkan nuansa kemanusiaan di tengah gejala yang melunturkannya. Ini hanyalah tetes kecil, dari guyuran khasanah kehidupannya... Selamat memesrainya.