Inilah Anak-Anakmu yang Hina

92 1 0
                                    

Inilah Anak-Anakmu yang Hina

21.8.1985, 08.24

Ibu menghidupi kerja-kerja kecil, kami menggelembungkan pikiran-pikiran besar.

Kaki ibu yang telanjang berjalan menapaki jalanan desa yang blethok, menyingkirkan batu-batu untuk dijadikan pagar atau tembok.

Kami terbang ke angkasa — dengan biaya amat mahal, waktu yang berulur-ulur dan hiasan sayap yang warna-warni — sambil mata silau oleh cahaya matahari, menengok ke bawah, menyimpulkan perlunya memijakkan kaki di tanah jalanana hidup, merancang bagaimana taktik dan strategi yang terbaik untuk menyingkirkan batu-batu, memproduktifkannya untuk membangun pagar atau tembok.

Pelaksanaannya, kami pasrahkan kepada hari esok, karena tenaga dan waktu kami sendiri lebih bermanfaat bagi sesuatu yang lain.

Kami memikirkan, sambil diangi oleh subsidi dan biaya proyek. Ibu mengerjakannya dengan dibiayai oleh Tuhan atau entah siapa.

Kami mendiskusikan, menseminarkan, mengasumsi, menyimpulkan, mendokumentasikan. Ibu melakukannya. Ibu melakukan tanpa pernah mendengar atau apalagi memahami segala isi diskusi demi diskusi yang selalu harus berkepanjangan dan mengulang-ulang. Ibu melakukannya, persis seperti yang akhirnya dianjurkan oleh diskusi itu. Ibu melakukannya, sejak jauh sebelum terselenggara diskusi-diskusi itu.

Anak-anak Ibu kulakan tema-tema besar, mungkin karena terpaksa melarikan diri dari kegagalan mengerjakan hal-hal kecil.

Ya. Inilah anak-anakmu yang hina, Bu. Gagal bersilaturahmi dengan lingkar-lingkar kecil dari kehidupan, kemudian malah melompat memasuki kancah kisaran besar sejarah.

Anak-anak yang membutuhkan waktu begitu panjang untuk proses sedikit tahu diri.

#IBU, TAMPARLAH MULUT ANAKMU

#ZAITUNA

Kumpulan Tulisan Emha Ainun NadjibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang