Putar Kembali Jarum Waktu

127 3 0
                                    

(83) Putar Kembali Jarum Waktu

Dil, tontonlah siaran semi nonstop musik Sky Channel, London. Ini salah satu kiblat idola remaja kontemporer Eropa. Musik baru, dandanan baru, iklan baru, visualisasi baru, pengadeganan baru untuk mendramatisasi latar lagu agar sampai ke cantolan ingatan dan kenangan penonton.

Dari satu sisi inilah potret dunia bebas kreatif. Anak-anak muda menuntaskan kemerdekaan ekspresinya. Make up wajah yang bagai kesurupan dunia khayal, teknik penyajian ilustrasi visual sebuah lagu yang memancarkan kepintaran otak tingkat tinggi, alam pikiran keseluruhannya yang liberal ....

Semuanya mengibarkan bendera mitos inovasi, inovasi, inovasi. Secara kesenian -- semua itu belum menunjukkan suatu kelahiran generasi, belum menampakkan suatu watak dan sikap -- sebab sebuah generasi kesenian hanya betul-betul lahir apabila berangkat dari konteks sejarah manusia lingkungannya dan untuk itu ia mampu menawarkan suatu ijtihad.

Di Sky Channel, lagu-lagu itu sendiri tidak nomor satu: yang penting ialah bagaimana mengguratkan komoditi itu ke sel ingatan para pemirsa. Kualitas lagu terdesak. Dari sudut lain cara pengiklanannya mengindikasikan taraf kehampaan tertentu. Lebih dari minimalnya kreativitas: ia pada batas tertentu, memantulkan krisis cakrawala orientasi nilai manusia dalam suatu fase peradaban tertentu.

Orang-orang modern mendewakan inovasi. Orang-orang modern menghasilkan kecerdasan dan kemegahan karena itu. Tapi, inovasi akhirnya menyurut menjadi hanya perubahan-perubahan kewadagan. Ungkapan seni budaya dibikin begini, dimodel begitu. Dipola kayak anu, didesain mirip ani, sampai akhirnya kembali ke selera masyarakat primitif, sambil menemukan ruang hampa di hadapan mata bisu kejiwaannya. Orang-orang modern, orang-orang yang kita sedang cukup serius menghadapi suatu puncak sukses yang diam-diam juga membisikkan kegagalan menemukan diri manusia sendiri.

* * *

Orang-orang modern itu kemudian, dalam berkesenian, dalam memilih beberapa selera hidup kesehariannya, dalam membatini dirinya (ber-"agama"), mencenderungi warna kulitnya (kau bisa masuk studio penggelap warna kulit), serta dalam banyak hal lain: berlari ke "dunia timur". Kecuali, tentu saja, dalam kecerdasan dan cara-cara menguasai dan mengurus isi bumi.

Sementara kita di sini termimpi terbuai oleh rembulan Eropa, terkencing mewarnai hidup dan kulit kita seperti mereka. Aku, Dil, bukan menyembunyikan sangat banyak hal yang memang patut kita, hargai dan pelajari dari keeropaan, tetapi "nafsuku" memang besar untuk -- sebagai bangsa -- khawatir akan terjebak. Kita mengigau memanggil-manggil bagian-bagian keeropaan tertentu yang memang perlu, tapi pada saat yang sama kita juga butuh siuman untuk sadar tak usah mengejar apa-apa yang tak cocok untuk kita kejar.

* * *

Walah, Dil, sudah berapa ratus cerdik cendekia yang menuliskan hal ini? Tapi, nasi memang masih bercampur kerikil: kita interi lagi, interi lagi, agar tak rampal bangsa punya gigi.

Barat dan Timur. Namun, ini bukanlah pembicaraan tentang anti-Barat dan cinta Timur. Kita sekadar menarik napas panjang kembali betapa bumi tak henti-hentinya dibelah dua. Betapa para piawai, ideolog, pendekar bangsa, negarawan, berlomba menegakkan bendera merah atau biru dari ide penyejahteraan bangsa -- betapa pentingnya itu semua -- tapi juga sesekali bukan tidak ada perlunya menatapi kemanusiaan yang terselip, ketelingsut, ditutup-tutupi, tereduksi. Betapa sesudah puncak kesejahteraan "duniawi" disinggasanai, orang bisa gagal menemukan diri sendiri. Betapa di tengah segala pembicaraan yang optimistik tentang kemajuan dan hari depan -- kita perlu menjawab kenapa di garis depan itu kebudayaan kembali mengincar citra purba, kenapa peradaban kangen bersimpuh kembali ke hutan, alam, gua-gua nilai yang silam, seolah-olah ingin memutar kembali jarum waktu.

* * *

Ah, Dil, aku ini kacau juga. Ngajak kok berpikir. Mikirin utang saja pusing setengah modar! Kerja seharian dapat duit cuma 700 perak kok disuruh mikir peradaban kebudayaan -- tinja kucinglah!

Jangankan awak-awak ini. Sedangkan yang berkecukupan juga habis waktu untuk objekan ini itu, arisan, janji sama engkoh, rapat, lomba desa, DIP, komisi, kerja kunjungan, barisan usung-usung duit, kelompok usung-usung duit, intensifikasi tebu raja, seminar kemiskinan struktural di Hyatt, diskusi kesenian merakyat di asoka, lomba merangkai bunga .... []

DARI POJOK SEJARAH: RENUNGAN PERJALANAN EMHA AINUN NADJIB
(PENERBIT MIZAN, 2019)

Kumpulan Tulisan Emha Ainun NadjibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang