Politik Santri

362 1 0
                                    

Proses tawar-menawar antara Jawa dengan Islam mungkin berlangsung terlalu lamban dan lama, berbeda dengan yang terjadi pada Minang atau Aceh. Apalagi kemudian tampil "pihak ketiga" yang bernama Indonesia, yang berperan lebih mendewasakan proses itu, sekaligus lebih meruwetkannya. Namun, berhubung sang waktu adalah "koki" terbaik, mestinya proses tersebut sudah, sedang, atau akan tiba pada suatu terminal - hasil - sementara, dengan suatu kematangan yang lebih jernih.

Sesudah kekentalan Jawa Majapahit, Kesultanan Demak tidak bisa begitu saja menciptakan sosok "Jawa-Islam" secara mendadak. Terbukti kemudian prosesnya diwarnai tawar-menawar secara menyelusup dari pesisir ke pedalaman, melalui Pajang dan tiba di Mataram yang berkarakter "Islam-Jawa". Kelak term Jawa-Islam itu lebih dikenal melalui istilah "santri", sementara Islam-Jawa disebut orang abangan. Jawa-Islam itu, ya, memang Jawa, tapi lebih dominan Islamnya. Sebaliknya, Islam-Jawa memang Muslim, tapi urat saraf mental kulturnya Jawa.

Ada "permainan arah gelombang" dalam proses bagaimana komunitas Jawa-Islam dan Islam-Jawa meletakkan diri dan menyikapi sejarahnya. Sejak Demak hingga era pra-modernitas Indonesia, Jawa-Islam masyhur bersemangat pesisir. Ia punya kecenderungan berwatak terbuka, egalitarian, kosmopolit, dan demokratis. Sementara Islam-Jawa adalah politik dan kultur "pedalaman" yang jumud, feodal, dan otoritarianistik. Namun, pada abad 20, ketika kekuasaan Islam-Jawa atau politik abangan bergabung kepada proses internasionalisasi kehidupan dengan segala pranata keterbukaan dan demokrasinya: komunitas Jawa-Islam terseret untuk memperdalam diri. Artinya, watak yang kemudian terbentuk adalah ekslusivisme, kejumudan - dan sialnya, itu tidak disertai oleh kekuasaan politik. Lebih sial lagi, proses sekularisme kehidupan masyarakat kemudian berposisi seperti "tumbu ketemu tutup" dengan aspirasi abangan, sehingga Jawa-Islam sempurna ketlingsut di belakang layar panggung sejarah.

Kemudian Belanda bikin perkara. Polarisasi politis maupun kultural antara kekuatan Islam-Jawa dengan Jawa-Islam adalah rezeki nomplok bagi iktikad devide et impera. Salah satu strategi utama bagi setiap penjajahan maupun segala macam bentuk monopoli kekuasaan atas negeri kepulauan ini adalah bagaimana memperlebar atau setidaknya merawat pengutuban itu: antara Islam-Jawa dan Jawa-Islam, atau antara santri dan abangan, plus - dalam konfigurasi lain - antara kaum priayi dan wong cilik. Pada suatu hari, ketika Clifford Geertz merumuskan hal itu secara aneh, yakni dengan membiaskan konteks antara dua konfigurasi, kita semua menjadi semakin "yakin" terhadap "keharusan" pengutuban itu.

Pengutuban itu bagai telah mendarah daging dalam cara berpikir sejarah kita, bahkan setiap kali bisa dieksploitasikan untuk keperluan politik kelompok. Generasi muda kita yang lahir sesudah tahun 60-an tidak bisa mengerti kenapa pekikan perjuangan "Merdeka!" seolah lawan kata dari yel "Allahu Akbar!". Pada era tatkala kemerdekaan Indonesia diperjuangkan, polarisasi itu lebur. Namun, sesudah kemerdekaan tercapai, perlahan-lahan kebulatan itu mengurai kembali, mungkin sampai hari ini. Dalam perspektif kultural, meskipun seorang abangan marhaen-nasionalis melakukan pekerjaan Islam semutu apa pun tak akan pernah dianggap santri; sementara meskipun santri bermandi luka dan darah untuk membangun kemerdekaan dan nasionalisme, tetap saja sukar disebut sebagai nasionalis. Dalam perspektif politis, ada penjatahan yang manis: kekuasaan abangan bisa memoles apa pun menjadi mutiara nasionalisme, sementara kaum santri amat kesulitan memilih ucapan atau tindakan yang kira-kira lolos dari rambu subversi. Oleh karena itu, seorang Jawa-Islam atau Aceh-Islam atau Bugis-Islam boleh merupakan santri sebagai pribadi. Tapi, begitu ia memasuki struktur kekuasaan abangan atau setidaknya menyentuhkan kepentingannya pada struktur tersebut, kerangka yang harus dipakainya haruslah kerangka abangan.

KOSTUM YANG DIKENAKAN PADA PERPOLITIKAN ABANGAN ADALAH NASIONALISME, PEMBANGUNAN NASIONAL, ATAU INTEGRASI NASIONAL.

Sementara baju yang dipakai abangan adalah sekularisme, atau mungkin materialisme dan hedonisme, sehingga kaum santri makin kerepotan meletakkan diri dan bertanya setiap menjelang tidur: pertama aku ini orang Indonesia ataukah orang Muslim? Yang mana yang primer, yang mana yang sekunder? Yang mana yang primordial, yang mana yang universal, kalau nasionalisme Indonesia sebatas kepulauan Nusantara sementara nasionalisme Islam melingkari alam semesta? Mungkin diperlukan semacam skala prioritas atau pemetaan konteks yang memungkinkan Islam dengan Indonesia tidak berposisi antagonistik, melainkan bekerja sama?

Ya. Dan, hampir tak ada kesulitan yang berarti untuk merumuskan kerja sama Indonesia-Islam itu pada tingkat teologis dan filosofis. Namun, berhubung hidup ini lebih disifati oleh pertimbangan politis-(kelompok)-strategis, antagonisme itu mungkin justru diperlukan, setidaknya oleh setiap penggembala bangsa dan negara. Sebenarnya, sejak lama kita sudah tahu bahwa pembangunan nasional yang murni sebaiknya tidak memusatkan keberangkatannya dari subjektivitas santri atau abangan, tetapi dari objektivitas pembangunan itu sendiri: kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, dan demokrasi. Namun, berhubung pembangunan nasional bisa juga berposisi sekadar sebagai kostum kepentingan suatu kelompok kekuasaan, antagonisme itu dirawat dan disirami sebaik-baiknya. Sekelompok penduduk sudah sadar untuk meletakkan Islam cukup di detak jantung dan aliran darahnya, sementara bendera yang ditegakkan di halaman rumahnya adalah Merah Putih - tatkala tanah dusunnya digusur, nasibnya sekarat, sehingga mereka berteriak "Allahu Akbar!" karena pada situasi macam itu mustahil teriak "Merdeka!" - mereka diklaim sebagai pengacau keamanan dan benderanya diganti berwarna hijau berbulan bintang. Tegaknya "bendera Islam" - disebut formalisme dan primordialisme - direkayasa bukan oleh kaum Muslim sendiri, melainkan oleh gajah yang memelandukkannya. Kita tahu fundamentalisme Islam lahir bukan dari internal Islam itu sendiri, melainkan produk dari represi. Bahkan, Prof. Sartono Kartodirojo meyakinkan kita semua bahwa rintihan "Allahu Akbar!" itu bukan soal Islam, melainkan masalah tanah belaka.

Secara dialektis, terutama dalam kasus tradisi kultur dan perpolitikan Jawa-Indonesia maupun Indonesia-Jawa, tegaknya "bendera santri" itu memerlukan tegaknya pula "bendera abangan". Padahal, sesungguhnya sosok kekuasaan yang berlangsung bisa tidak terlalu berkaitan dengan kriterium abangan itu sendiri, melainkan sekadar "makhluk kekuasaan" biasa seperti juga yang terjadi di berbagai negara lain.

Maka, menurut "hukum gelombang" di alam, sejarah, dan kehidupan, rekayasa sekat-sekat politis kultural semacam itu pasti tiba pada batas optimumnya. Seperti juga proses tawar-menawar antara Islam dengan Jawa yang secara kultural berpangkal pada Panembahan Senopati dan berujung pada Sultan Hamengkubuwono (HB) IX, sehingga HB-X dewasa ini tampak lebih jelas dalam memulai ditemukannya bukti Jawa dalam Islam dan Islam dalam Jawa dalam mekanisme tarik-menarik yang positif dan komplementer. Untuk itu, paradigma pemikiran baru dalam perpolitikan nasional juga - tampaknya - kini mulai menapaki kemungkinan di mana dikotomi dan antagonisme santri-abangan itu melebur.

Di kalangan rakyat, santri dan abangan sudah dengan sendirinya terbiasa bekerja sama dalam pembangunan. Sementara di kalangan birokrasi dan elite kekuasaan, bisa mulai muncul aspirasi politik santri tanpa otomatis dicurigai sebagai antinasionalisme. Menjadi santri - bukan saja ketika shalat, tapi juga ketika bergagasan dan bersepak terjang politik - mulai tidak tabu. Menjadi pejabat tidak dengan sendirinya "wajib" tidak membela Islam.

Apalagi membela Islam tidaklah berarti mengalahkan kelompok selain Islam, melainkan menjadi rahmatan lil'alamin. Politik santri tidak menjanjikan kekuasaan, tapi kepemimpinan, sebagaimana Islam mengajarkan.

Tampaknya itulah salah satu gejala makna sejarah dari bertemunya para cendekiawan Muslim nasional di Malang awal Desember ini, meskipun perintisan kekuatan "Para Pangeran Pintar Muslim Nasional" ini dihiasi oleh rasan-rasan kecil tentang siapa saja sebenarnya yang tergolong cendekiawan Muslim. Gelombang sejarah bertemu dengan menggeliatnya kesadaran politik santri, serta - terutama - dengan hidayah Allah melalui beberapa menteri ....

Sayang sekali pertemuan itu belum memperlihatkan jumbuh-nya para ulama - yang bertradisi pesantren, dengan cendekiawan Muslim - yang berlatar universitas modern. Padahal, ulama itu ya cendekiawan dan cendekiawan itu ya ulama.

Kumpulan Tulisan Emha Ainun NadjibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang