(76) Bea Cukai Realitas
Dil, "dipersorry" ya -- barusan kutuliskan dua judul yang sok-sok filsafat. Ada saat-saat kita memerlukan becermin, meskipun tak pernah bisa kita raih wajah kita dalam kaca. Ada saat-saat kita perlu mengejek, menertawakan, menuding, menasihati, bahkan meneror diri sendiri.
Sebab ada satu hal yang pasti: semua yang kuomongkan itu pasti belum pasti.
* * *
Sebab lain: itulah juga pelajaran yang kuperoleh dari kawan-kawan kita di sana. Mereka tak pernah mengemukakannya kepadaku. Tetapi, pergaulan dengan mereka sangat memancing pemikiran semacam itu. Manusia biasa didefinisikan sebagai suatu keterbatasan -- tetapi, keterbatasan itulah yang menjadi alat terpenting baginya untuk mengenali ketakterbatasan. Dalam keterbatasan, ketakterbatasan terasa karib. Terasa ada. Disadari. Sedemikian rupa sampai manusia memakrifati ketakterbatasan itu sendiri.
Sebab, sesungguhnya setiap manusia bersemayam di dalam ketakterbatasan, dan ketakterbatasan bersemayam di dalam diri manusia.
* * *
Lho, kok "milsafat" lagi! Susah. Aku ini memang suka sakit gatal. Salah satu parem gosoknya adalah filsafat, sebab dalam hidup ini yang serem-serem selalu pakai at-at begitu: sekarat, pejabat, kumat, malaikat, jimat, kiamat, sunat, ketupat, gawat, darurat, mberkat, tamat, kualat ... berbagai macam ide manusia keluar dari koor at-at-at itu -- sehingga orang Hongaria kalau menyebut "keluar" itu kiarat .... Hayo! Siapa mau kiarat!
Jika kita hubungkan dengan tema yang sejak awal surat-suratku ini kusebut -- yakni, posisi kita di tengah gerak sejarah -- maka dengan kegiatan becermin diri ini sesungguhnya kita berusaha agar jangan sampai terlalu menjadi helai-helai kartu domino yang tergenggam di tangan para pengocok sejarah, para politisi, arsitek pikiran manusia, jaringan-jaringan pencuci otak, bahkan mungkin profesor-profesor, doktor-doktor, "Eropa", isme, serta segala sesuatu yang terlampau mengendalikan penerimaan pengetahuan kita serta mengebiri ilmu kita -- dan yang lebih mendasar lagi: menggiring kebutuhan-kebutuhan dan langkah-langkah kita.
Kita, anak-anak muda, berusaha "kiarat" dari bekupon-bekupon peternakan burung dara semacam itu.
* * *
Di tengah kawan-kawan di sana, betapa aku merasa hal itu sangat kita perlukan. Kita membeli pengetahuan dan kebiasaan yang tidak terbatas di Eropa, mereguk pengalaman-pengalaman yang jutaan orang lain barangkali tak akan pernah mengenyamnya sampai akhir usianya. Pada suatu hari, seluruh bangsa akan menagih!
Seseorang belajar, sadar atau tak sadar, untuk mengolah pengetahuan dan pengalaman itu agar menjadi kehidupan yang merasuki sel darah dagingnya. Dengan demikian, ia tidak menjadi sekadar sebuah gudang atau truk pengangkut barang impor: yang nanti akan kerepotan sendiri oleh cegatan bea cukai realitas di tanah air.
Hal demikian bisa terjadi apabila yang dibawa adalah barang jadi, bukan kristal inti yang nanti, diramu sesuai dengan bahan-bahan asli kampung halaman.
* * *
Kawan kita, almarhum Bambang Indra Basuki, pernah menulis cerita pendek tentang seorang anak muda yang pergi berguru. Beberapa tahun kemudian ia hadir kembali, dan segera mendemonstrasikan kehebatannya.
Hanya dengan mengangkat tangannya, sebuah mobil yang melaju keras 200 meter di hadapannya langsung berhenti. Pada babak kedua mobil sejauh 100 meter di depannya pun terstop. Kemudian, di puncak suspens, ia berdiri cuma 50 meter di depan mobil yang ngebut!
Sang sopir tak sempat ngerem. Apa boleh buat, si pendekar pun mencelat, sekarat, berkejat-kejat, malaikat pun turun mendarat, mobil ambulans gawat darurat pun datang mendekat, mengangkutnya ke akhirat, menunggu kiamat. (Apa kubilang tadi, Dil! yang serem-serem, kan yang mengandung at-at ...).
* * *
Mobil yang menabrak kawan cialat kita itu ibarat realitas. Di Eropa, di tengah kawan-kawan, sangat keras aku terdorong untuk menuliskan jangan sampai di tanah air nanti tertabrak mobil seperti itu sehingga cepat dibikin kiarat. []
DARI POJOK SEJARAH: RENUNGAN PERJALANAN EMHA AINUN NADJIB
(PENERBIT MIZAN, 2019)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Tulisan Emha Ainun Nadjib
RandomSebuah permenungan dari Emha Ainun Nadjib akan berbagai tema kehidupan. Menumbuhkan nuansa kemanusiaan di tengah gejala yang melunturkannya. Ini hanyalah tetes kecil, dari guyuran khasanah kehidupannya... Selamat memesrainya.