Puasa dan Kesenangan

86 2 0
                                    

Cobalah engkau beranjak dari kursi, pergilah ke cermin. Sejenak saja. Tataplah wajahmu, badanmu, pakaianmu, dan seluruh penampilanmu. Setidaknya, engkau bisa menyadari satu hal saja: bahwa potongan rambutmu yang seperti itu, jenis dan warna baju dan celanamu, juga seluruh benda yang menempel di badanmu - semuanya - adalah sesuatu yang engkau pilih sesuai dengan kesenanganmu.

Kemudian, kalau engkau sempat, edarkanlah setiap pandanganmu ke setiap sisi ruang di dalam rumahmu. Perhatikan perabot-perabot, benda-benda, barang-barang, dan hiasan yang memperindah rumahmu. Ingatlah sebentar di mana dan kapan engkau membelinya atau memperolehnya. Lantas, kembalilah ke suatu kesadaran yang tadi itu, bahwa semua benda itu engkau pilih untuk engkau miliki berdasarkan kesenanganmu.

Kesenangan. Kesukaan. Selera. Kemauan. Keinginan. Kepentingan. Serta ingatlah segala kata dan istilah yang sejenis atau sewilayah makna dengan itu. Kemudian hitunglah - kalau engkau berkenan dan sempat - seberapa besar peran kesenangan di dalam kehidupanmu. Berapa persentase ketidaksenangan. Dan, akhirnya coba engkau renungkan bagaimana sesungguhnya sikap batinmu, sikap pikiran dan jiwamu, terhadap kesenangan dan ketidaksenangan.

* * *

Renungan terhadap senang dan tidak senang bisa mengantarmu kepada kenyataan tentang seberapa jauh engkau terikat pada kesenangan pribadimu serta seberapa jauh engkau cenderung menolak ketidaksenangan hatimu.

Engkau membeli pakaian itu karena engkau menyenanginya. Engkau membeli barang dan perabot itu karena engkau menyenanginya. Dan, engkau tidak memilih ini serta tidak membeli itu karena engkau tidak menyenanginya.

Apakah engkau menjadi ketua RW karena engkau menyenangi jabatan itu? Apakah engkau menjadi pedagang, menjadi menteri, dan menjadi presiden karena engkau menyenanginya? Apakah engkau kuliah di fakultas kedokteran karena engkau menyenanginya? Apakah engkau melakukan shalat dan puasa karena engkau menyenanginya? Apakah engkau lahir di dunia karena engkau menyenanginya? Dan, apakah engkau nanti meninggalkan dunia ini karena engkau menyenanginya?

Apakah Rasulullah Muhammad SAW menjadi utusan terakhir Allah karena beliau menyenangi peranannya? Apakah beliau pergi mengangkat pedang ke medan perang karena beliau menyukai perang? Apakah beliau berdakwah dan dilempari batu di Thaif karena beliau menyenangi dakwah dan menyenangi dilempari batu? Apakah beliau menikahi janda perang yang tidak cantik dan tidak jelita itu karena menyenanginya?

* * *

Aku hanya ingin menuturkan kepadamu sebuah hakikat nilai, yang kumohon engkau mencari dan kudoakan engkau bisa menemukannya dengan cara menjawab pertanyaan dasar ini: apakah engkau hidup dan melaksanakannya berdasarkan senang dan tidak senang, ataukah ada nilai lain yang lebih mendasar?

Kalau engkau menggerakkan tangan dan melangkahkan kaki hanya karena didorong oleh senang dan tidak senang, maka engkau adalah bayi.

Bayi itu menangis, tertawa, mengambil apa saja untuk dimainkan oleh tangannya, memakan apa saja, semata-mata didorong oleh kesenangannya. Untuk melakukan kesenangan, engkau tidak memerlukan kualitas atau mutu kepribadian apa pun. Kecuali ketika kesenangan itu memerlukan teknologi, ilmu, dan bakat, maka engkau dipersyarati oleh ketiga hal itu untuk menuruti kesenanganmu. Akan tetapi, dengan itu, mentalmu tak perlu bekerja. Cukup selera, pengetahuan, dan keterampilan. Namun, dengan itu, engkau tidak akan pernah siap untuk menjadi manusia pejuang. Sebab, perjuangan sering mengharuskanmu untuk melakukan apa yang tidak engkau senangi atau tidak melakukan apa yang engkau senangi.

Apakah engkau menjadi buruh pabrik karena engkau senang menjadi buruh pabrik? Pada dasarnya, tidak. Engkau sebenarnya terpaksa menjadi buruh pabrik karena engkau perlu memperjuangkan hidupmu. Apakah engkau menjadi sales, menjadi pegawai kecil, menjadi sopir taksi, menjadi penjual bakso, dan lain sebagainya karena itu memang kesenanganmu? Pada dasarnya, tidak. Engkau senangnya menjadi menteri, direktur, konglomerat, gubernur, atau - paling tidak - menjadi camat. Tapi tidak bisa, sehingga engkau memerlukan perjuangan untuk menjadi apa yang kini engkau menjadi.

* * *

Puasa adalah metode dan disiplin agar engkau melatih diri untuk melakukan apa yang pada dasarnya tidak engkau senangi serta tidak melakukan apa yang pada dasarnya engkau senangi. Cobalah ulangi pandang dirimu di cermin dan tataplah segala sesuatu di rumahmu: betapa kebanyakan dari kenyataan hidupmu itu "bersifat hari raya", yaitu memenuhi kesenangan.

Adapun puasa melatihmu untuk bermental pejuang. Pada dasarnya, engkau tidak senang lapar. Engkau pada dasarnya secara alamiah menyenangi kenyang, makan, dan minum, tapi engkau tidak diperkenankan menikmatinya dari subuh hingga maghrib.

Karena apa? Pertama, karena dalam hidup ini ada yang lebih sejati sebagai nilai dibanding senang atau tidak senang. Ialah baik dan harus atau wajib. Engkau melakukan sesuatu tidak terutama karena engkau senang, tetapi karena hal itu baik, sehingga wajib engkau lakukan. Jadi, kedewasaan dan kematangan kepribadian dalam Islam adalah kesanggupan untuk menjalani hidup ini tidak terutama berdasarkan senang atau tidak senang, tetapi berdasarkan baik atau tidak baik, wajib atau tidak wajib. Kedua, karena engkau adalah khalifatullah, karena engkau adalah makhluk sosial, maka yang dibutuhkan darimu terutama adalah daya juang untuk sesama manusia. Apakah engkau senang membagi-bagikan uang hasil jerih payah kerjamu? Apakah engkau senang menolong orang lain yang menderita dan memerlukan pengorbananmu? Apakah engkau senang membela orang-orang tertindas?

Kalau kesiapanmu hanyalah menuruti kesenangan, maka kewajiban-kewajiban sosial semacam itu akan sangat sedikit yang bisa engkau lakukan, sehingga di mata Allah, derajatmu tidak tinggi. Sebab, sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi orang lain.

Maka, itulah manfaat puasa. Melatihmu untuk menjadi manusia yang mampu menaklukkan kesenangannya. Mampu lebih besar dan mengatasi kesenangannya. Mampu minum jamu pahit yang tidak enak. Mampu lapar dan haus. Mampu mengorbankan kesenangannya demi kewajiban dari Allah dan kebaikan bagi sesama manusia. Syukur kalau engkau memproses batinmu sedemikian rupa sehingga kesenangan dan kewajiban atau kebaikan bisa menyatu.

Sumber: Tuhan Pun Berpuasa, Penerbit Buku Kompas, 2012

Kumpulan Tulisan Emha Ainun NadjibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang