Syukur, Ibu Menjadi Rakyat

91 0 0
                                    

Syukur, Ibu Menjadi Rakyat

24.8.1985, 14.45

Anak-anakmu sering ngobrol mensyukuri Ibu dulu mogul sekolah di kelas V Madrasah karena Ayah sudah kebelet mempersunting.

Dengan sedikit minta maaf kepada Tuhan dan Ibu, anak-anakmu ber-alhamdulillah Ibu tak meneruskan sekolah, kuliah, mengalahi karier pribadi menjadi anggota DPRD, mengurusi masalah-masalah besar yang tak pernah mampu diseleseikannya.

Syukur Ibu menjadi rakyat, bukan wakil rakyat, yakni si bukan rakyat yang amat jarang sukses mewakili rakyat.

Lebih dari itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa amat banyak wakil rakyat yang tak bener-bener paham apa yang sesungguhnya yang terjadi pada rakyat.

Padahal wakil rakyat musti berada dua langkah di depannya: mengerti apa yang diperjuangkannya, kemudian berani cancut memperjuangkannya.

Tentulah itu rasa syukur yang agak kurang ajar.

Seolah-olah anak-anak Ibu bertepuk tangan atas suatu logika yang menganggap bahwa dengan begitu Ibu terpotong kemungkinannya untuk mengembangkan diri secara maksimal, menggarap karier pribadi, reputasi, sebagai putri bangsa serta kemungkinan-kemungkinan lain untuk menjadi ‘orang’ atau ‘orang besar’.

Kekurangajaran itu bahkan seolah-olah menganjurkan orang untuk lari dari sekolah dan universitas.

Tidak, Bu.

Ini hanyalah rasa syukur anak-anakmu bahwa apa yang Ibu mampu kerjakan di desa sangat jauh melebihi segala omong besar dan lagak modern anak-anakmu.

Ini juga suatu rasa penasaran bahwa pengertian tentang kebesaran dan kekecilan, tentang reputasi dan karier, tentang kepintaran dan fungsi social, ada baiknya terus digosok lagi warna buram permukaannya.

La tahtaqir man-dunaka fa-likulli syai’in maziyyah.

Jangan remehkan apa yang tampak berada lebih rendah darimu, karena segala sesuatu memiliki kelebihan.

Itu pelajaran mahfudlat sekolah dasar, namun tak dijamin bahwa seorang sarjana mampu menghidupi terjemahan empirisnya.

Anakmu merasa terlibat di dalam siratan psikologis kaum yang menyebut diri intelektual, yang sering tanpa sadar mendemonstransikan tindakan angkuh yahtaqir man dunahum itu.

#IBU, TAMPARLAH MULUT ANAKMU

#ZAITUNA

Kumpulan Tulisan Emha Ainun NadjibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang