Balada Rumput dan Kambing

257 4 0
                                    

Di masa kanak-kanakku aku berteman dengan seorang anak kecil yang sebaya, bahkan seusia denganku. Mungkin karena kesebayaan itu kami berteman sangat karib.

Kami, tentu saja, sangat saling menyayangi. Bahkan padaku lebih dari itu. Tanpa sengaja pelan-pelan aku merasakan dan menyadari bahwa selalu di dalam hati kuletakkan ia tidak di sisiku, melainkan di depanku. Seakan-akan aku adalah pengawalnya.

Ke manapun ia pergi, aku mengawalnya, membuntutinya, berjalan di belakangnya. Ia seorang pelari yang luar biasa cepat. Aslinya sesekali aku mampu berlari lebih cepat darinya, tetapi belum pernah aku melampauinya. Selalu aku letakkan diriku melangkah di belakangnya. Tidak pernah tahu persis kenapa aku bersikap seperti itu.

Memang pernah satu kali aku berlari melampauinya, secara spontan itu kulakukan dengan maksud untuk memacu dan memancing agar ia berlari lebih cepat. Sebab kami sedang dikejar oleh seorang petani yang mentimun di sawahnya kami curi sepulang sekolah. Mencuri tidak tanggung-tanggung, buah "krai" atau sebagian orang menyebutnya mentimun atau ketimun itu memenuhi saku baju kami, saku celana dan tas sekolah kami.

Kalau aku tidak memacu sahabatku itu berlari lebih cepat dengan cara melampauinya berlari, hampir bisa dipastikan kami akan ditangkap oleh petani Dusun Sebani itu. Dan resikonya benar-benar tidak ringan. Tidak hanya soal malu kepada teman-teman lain dan masyarakat, tapi Ibu sahabatku itu yang menakutkan.

Dan ternyata itu tanpa kami sangka-sangka benar-benar terjadi. Si petani ternyata tahu siapa kami, melaporkannya ke Ibu sahabatku, sehingga tanpa kata tangan Ibu sahabatku itu menjewer telinga putranya, dan tangan kirinya menjewer telingaku. Beliau menyeret kami berdua dan dalam keadaan telinga dijewer, berjalan melintas desa menuju rumah pak petani.

Kami disuruh duduk seperti orang shalat bertahiyat, membungkukkan punggung dan menundukkan kepala, diperintahkan untuk meminta maaf sejadi-jadinya kepada pak petani. Anak-anak kecil dan para tetangga desa sebelah itu menyaksikan bagaimana dua pesakitan kecil itu menanggung malu.

Kemudian Ibu sahabatku itu membayarkan uang seharga mentimun yang kami curi. Dan akhirnya kami digiring pulang ke desa kami dengan sepanjang jalan disuruh mengucapkan keras-keras hapalan surat-surat pendek Al-Quran yang kami hapal.

* * *

Sejak peristiwa mentimun itu aku mulai sedikit menyesali dan bertanya-tanya tentang sahabatku ini.

Ayah sahabatku ini mengasuh Sekolah Dasar, yang dibangun di bagian kiri halaman rumahhya yang sangat luas, sedangkan di sebelah kanan ada Masjid kecil yang kami sebut "Langgar" atau yang umumnya orang menamakannya Musholla.

Kenapa sahabatku ini tidak bersekolah di sekolah Dasar ayahnya sendiri? Kenapa dia memilih bersekolah di Sekolah Dasar desa Bakalan yang letaknya jauh dan berentang dua desa dari desa kami? Diam-diam aku bertanya juga kenapa pula aku mengikuti sahabatku ini bersekolah tidak di tempat yang sangat dekat dengan tampat tinggal kami?

Rasanya tidak ada seorang Ayah mengarang-ngarang lakon di mana putranya disekolahkan di tempat yang jauh, sedangkan ia sendiri punya Sekolah. Yang dengan sendirinya urusan kependidikannya lebih terjamin jika bersekolah di Sekolah yang dikelolanya sendiri.

Aku tidak pernah ingat bagaimana hal itu dulu terjadi. Tahu-tahu kami sudah bersekolah di desa jauh Bakalan. Bangun sangat pagi karena harus mencukupi waktu menuju Sekolah yang kami tempuh sekitar satu jam. Pulang sekolahpun tak segera tiba di rumah, harus berpanas-panas melintasi galengan sawah-sawah, dua sungai dan satu tuangan atau bulak.

Begitu tiap hari. Keasyikan dan kenikmatanku bersahabat dengannya membuat pertanyaan-pertanyaan yang muncul di dalam hatiku tenggelam. Bahkan ketika pada suatu hari di tengah mata pelajaran di kelas, sahabatku itu kencing di atas meja belajar, sangat aneh aku tidak menyalahkannya.

Kumpulan Tulisan Emha Ainun NadjibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang