Look Up atawa nDangak, Look Down atawa nDingkluk

76 1 0
                                    

MULAI sekarang ini catatan saya tak bisa panjang, saya mohon ente jangan marah. Di samping tiap hari banyak yang harus saya catat, dan banyak pihak yang nunggu saya kirimi catatan, juga ente tentu setuju bahwa persoalan kita bukanlah bergantung panjang-pendeknya, melainkan yang penting bagaimana memainkannya. Bisa saja saya nulis sangat panjang, tetapi kalau ternyata lemah lunglai, kan, ente kecewa. Sebaliknya bila pendek, asal padat, kenyal, penuh sikap yang jelas, serta dengan idealisme yang tegak sampai akhir, tentu memuaskan kita bersama.

Soal look up alias ndangak dan look down alias ndingkluk, maksud saya bukan berhubungan dengan Senam Pagi Indonesia, melainkan berkaitan dengan pola pergaulan antar-manusia, antarbangsa, atau pokoknya antarkelompok masyarakat. Jadi, masalah kebudayaan, meskipun nanti kita akan tahu itu akan menyangkut juga soal politik, ekonomi, bahkan agama.

Secara khusus sesungguhnya ingin saya catat soal birokrasi, yang akhir-akhir ini ribut diomongkan oleh beberapa menteri dan cendekiawan. Itu masalah besar. Oleh karena itu saya ambil dulu sebuah angle yang gampang kita pahami bersama.

Kita pernah mendengar perkataan gawat (dari siapa hayo?); "Manusia Indonesia sekarang ini pada umumnya tak bisa menoleh ke kiri atau ke kanan. Biasanya menatap ke atas atau memandang ke bawah. Dengan kata lain, manusia Indonesia itu sakit leher."

Apa maksudnya?

Dengar dulu peribahasa puitis ini;

"JANGANLAH ENGKAU BERJALAN DI DEPANKU SEBAB AKU BUKAN PENGIKUTMU, JANGANLAH PULA BERJALAN DI BELAKANGKU SEBAB ENGKAU BUKAN PENGIKUTKU. MARILAH BERJALAN DI SISIKU, KITA MELANGKAH SEJAJAR DAN BERSAMA ...."

Pasti makin jelas bagi ente. "Depan" itu sama konteksnya dengan "atas", sementara "belakang" dengan "bawah". Keduanya hanya berbeda pemakaian belaka. Kasus "mengekor" biasanya terjadi dalam hal-hal kreativitas atau pencaturan nilai. Kasus ndangak dan ndingkluk terjadi dalam stratifikasi atau hierarki kekuatan atau kekuasaan.

Kalau orang disebut "tak bisa menoleh ke kiri atau ke kanan", artinya dia tak punya kesanggupan untuk berposisi dan bersikap egaliter, sama dan sederajat dengan orang lain. Yakni, suatu situasi pergaulan ketika seseorang menganggap orang lain sebagai "atasan" atau "bawahannya". Dalam praktiknya, orang itu bisa berdialog; ia hanya mampu "diperintah" atau "memerintah". Lebih gawat lagi: "diperbudak" atau "memperbudak", "diperas" atau "memeras".

Masyarakat Indonesia cukup tinggi bakatnya "untuk sakit leher" semacam itu karena sejak zaman baheula kita ini diperanakkan oleh suatu tatanan kemasyarakatan yang hierarkis-feodal. Proses modernisasi bangsa Indonesia tidak cukup jauh menolong penyembuhan "sakit leher" ini, apalagi tatkala untuk kepentingan mobilisasi politik masyarakat modern, kita "direfeodalisasikan" oleh yang merasa empunya negara.

Bakat tinggi untuk "sakit leher" berbanding terbalik dengan pertumbuhan demokratisasi tata sosial. Jika seorang camat adalah "Raja Kecil" kepada siapa semua staf dan penduduk mesti membungkuk-bungkuk sedemikian rupa di hadapannya, serta ia tetap juga berposisi camat ketika dia makan di restoran, ketika memancing ikan di sungai atau ketika main sepak bola - maka kacaulah cita-cita demokrasi. Bola tak akan kita rebut dari kaki Pak Camat, ikan-ikan di kolam kita ditatar agar berduyun-duyun mengerumuni umpan pancing Pak Camat - padahal, ketika bermain bola dan memancing ia tidaklah berfungsi sebagai camat.

Di dalam kebudayaan birokrasi di Indonesia, pembiasaan fungsi semacam ini berlangsung terlalu melebar dan serius. Wilayah kekuasaan seorang pejabat bisa meluas ke daerah-daerah kasus yang sesungguhnya tidak terkait dengan dinasnya. Ente tentu lebih banyak punya contoh pengalaman dibandingkan saya. Bupati tidur mendengkur pun tetap berposisi sebagai bupati.

Jadi, jabatan adalah salah satu pos terpenting untuk peristiwa ndangak-ndingkluk. Padahal aslinya, rakyat itu posisinya tertinggi; kedaulatan rakyat itu lebih tinggi dibandingkan kedaulatan pemerintah. "Pemerintah itu 'pembantu rumah tangga negaranya' rakyat." Jadi, ndangak-ndingkluk-nya terbalik. Namun, biar saja. Kalau seorang wali kota harus ndangak kepada rakyat dengan cara men-ndingkluk-kan tubuhnya setiap berpapasan dengan rakyat, beliau bisa sakit punggung. Biarlah soal "menghormati rakyat" itu diterapkan dalam kebijaksanaan pemerintahnya saja.

Pos yang lain dari "keharusan" ndangak-ndingkluk misalnya adalah satuan-satuan status sosial yang lain, umpamanya gelar, pemilikan kekayaan, atau mungkin juga ras.

Orang yang punya gelar (akademis ataupun kebangsawanan) selalu dianggap "di atas rata-rata". Dengan demikian, "manusia rata-rata" bersikap ndangak kepadanya. Tak peduli apakah ia punya fungsi atau reputasi yang sesuai dengan gelarnya atau tidak.

Orang yang penampilannya mencerminkan pemilikan kekayaan juga dianggap manusia rata-rata. "Kekayaan" bahkan juga disimbolkan oleh pola-pola eksplisit seperti mode pakaian, bersih-tidaknya wajah dan tubuh, atau aksesori kultur lainnya.

Makhluk macam saya kalau naik pesawat atau masuk kantin di bandara cenderung kurang diperhatikan karena sama sekali tidak menunjukkan kesan sebagai orang kaya, anak pejabat, atau pokoknya orang yang punya gengsi sosial. Pramugari berdiri di bibir pintu pesawat mengucapkan "Selamat Pagi" kepada Bapak Necis di depan saya serta seorang bule, kemudian lupa mengucapkan kepada saya, atau setidaknya ia ucapkan "Selamat Pagi", tetapi dengan pola ekspresi wajah yang amat berbeda. Untunglah saya selalu berkesimpulan bahwa wajah saya memang selalu gagal menumbuhkan semangat dan rasa hormat. Jadi, bukan salah sang pramugari.

Meskipun demikian, ada kalanya saya "tak tahu diri" dengan memanggil pelayan di sebuah kafetaria bandara dan berkata dengan manis - "Mbak, saya harus bayar berapa supaya memperoleh seulas senyum dari bibir Mbak yang amat manis itu?"

Pada saat itu saya berkesimpulan bahwa bangsa kita masih mengalami inferioritas budaya yang serius. Mereka hanya bersedia look up kepada bule, pejabat, orang kaya; sementara kepada mbambung macam saya, mereka nge-look down banget.

Padahal, kemudian saya sadari bahwa kesimpulan saya itu bisa jadi salah. Buktinya waktu di Jerman, kalau saya masuk bank menguangkan cek hadiah seorang teman selalu tak dipercaya. Di setiap boarder, para polisi selalu menggeledahi saya jauh melebihi penumpang lain. Di banyak tempat, para petugas cenderung menyangka saya indikatif seorang teroris. Ketika itu dua minggu sekali saya naik kereta Den Haag-Berlin Barat, dan sepanjang ingatan saya para penjual makanan-minuman di restoran kereta api hampir selalu melewati saja tempat duduk saya. Mereka selalu "memfitnah" saya sebagai penumpang yang tak bawa sangu.

Dendam bukan main saya. Soalnya "fitnah" itu memang agak benar. Beda dengan almarhum pelukis Affandi yang ketika masuk showroom mau beli mobil, lantas tak dipercaya: segera saja ia banting segepok dolar!

Mungkin sebaiknya kapan-kapan saya pinjam segepok uang dolar, sekadar untuk dibanting di toko-toko, kemudian tak jadi beli. []

Patangpuluhan, Minggu keempat Juli 1990

Sedang Tuhan Pun Cemburu, Penerbit Bentang, 2015

Kumpulan Tulisan Emha Ainun NadjibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang