Menyorong Rembulan dan Matahari Berkabut (1)

2.6K 26 0
                                    

21 Agustus 1998

Lir ilir tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
Bocah angon bocah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodot-iro
Dodot-iro dodot-iro lumintir bedah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
jembar kalangane
Mumpung padhang rembulane
Yo surako
Surak: Hiyooo!

Bisakah luka yang teramat dalam ini sembuh? Mungkinkah kekecewaan, bahkan keputusasaan yang mengiris-iris hati berpuluh-puluh juta saudara kita, akan kikis pada suatu hari?

Kapankah kita akan bisa merangkak naik ke bumi, dari jurang yang sedemikian curam dan dalam? Benar tahukah kita apa yang sesungguhnya kita alami? Sungguh pahamkah kita apa yang sesungguhnya sedang kita kerjakan? Mengertikah kita ke cakrawala mana sebenarnya kaki kita sedang melangkah?

BENARKAH YANG SALAH SELALU IA DAN MEREKA, SEMENTARA YANG BENAR PASTI KITA DAN SAYA? Benarkah yang harus direformasi selalu adalah yang di situ dan di sana, bukan yang di dalam diri kita sendiri? Mungkinkah dilakukan reformasi eksternal tanpa berakar pada reformasi internal? Apakah sesungguhnya yang sedang berlangsung di dalam syaraf-syaraf hati serta sel-sel otak kita?

Sistem nilai apakah yang sesungguhnya kita pilih untuk mengerjakan gegap gempita yang kita sebut reformasi ini? Demokrasi, sosialisme, Jawaisme, Islam, Protestanisme, Yahudisme, serabutanisme, atau apa?

Ilir-Ilir.

Kanjeng Sunan Ampel seakan-akan baru hari ini bertutur kepada kita. Tentang kita. Tentang segala sesuatu yang kita alami sendiri. Namun, tak kunjung sanggup kita mengerti.

Sejak lima abad silam, syair itu telah ia lantunkan. Dan, tak ada jaminan bahwa sekarang kita bisa paham. Padahal, kata-kata itu mengeja kehidupan kita sendiri. Alfa beta, alif ba ta, kebingungan sejarah kita dari hari ke hari.

Sejarah tentang sebuah negeri, yang puncak kerusakannya terletak pada ketidaksanggupan para penghuninya untuk mengakui betapa kerusakan itu sudah sedemikian tak terperi.

Ilir-Ilir, apa itu? Kipas-kipas keenakan? Atau, nglilir-lah, bangunlah?

Tandure wus sumilir. Tak ijo royo-royo. Tak sengguh temanten anyar.

Menggeliatlah dari matimu, tutur Sunan. Siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun. Bangkitlah dari nyenyak tidur panjangmu. Sungguh negeri ini penggalan surga. Surga seolah pernah bocor dan mencipratkan kekayaan dan keindahannya. Dan, cipratan keindahannya itu bernama Indonesia Raya.

Kau bisa tanam benih kesejahteraan apa saja di atas kesuburan tanahnya yang tak terkirakan. Tak mungkin kau temukan makhluk Tuhanmu kelaparan di tengah hijau bumi kepulauan yang bergandeng-gandeng mesra ini. Bisa engkau selenggarakan dan rayakan pengantin-pengantin pembangunan lebih dari yang bisa dicapai oleh negeri lain mana pun.

Belum lagi kalau engkau nanti melihat bahwa engkau sesungguhnya bisa mendirikan IMF-mu sendiri yang engkau ambil di rahim bumi dan lautanmu. Belum lagi kalau engkau nanti menyaksikan apa yang sebenarnya diamanatkan oleh para aulia pemelihara Pulau Jawa, bahkan oleh leluhur-leluhurmu yang justru engkau kutuk-kutuk.

Belum lagi kalau engkau nanti menyadari bahwa negerimu ini bukan saja mampu dengan gampang membebaskan diri dari krisis dan utang-utang, melainkan bahkan bisa menjadi negeri adikuasa - seandainya SDM kita tidak berkarakter tikus-tikus.....

Abrakadabra, sungguh kita memang telah tak mensyukuri rahmat sepenggal surga ini. Kita telah memboroskan anugerah Tuhan ini melalui cocok tanam ketidak-adilan dan panen-panen kerakusan.

Cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi. Sunan Ampel tidak menuliskan: "Ulama, Ulama", "Pak Jenderal, Pak Jenderal", "Intelektual, Intelektual", atau apa pun lainnya, tetapi "Bocah Angon, Bocah Angon...."

Beliau juga tidak menuturkan, "Penekno sawo kuwi", atau "Penekno pelem kuwi", atau buah apa pun kainnya, melainkan, "Penekno blimbing kuwi".

Blimbing [belimbing] itu ber-gigir. Terserah tafsirmu apa gerangan yang dimaksud dengan lima.

Yang jelas harus ada yang memanjat "pohon licin reformasi" ini - yang sungguh-sungguh licin sehingga banyak tokoh-tokoh yang kita sangka sudah matang dan dewasa ternyata begitu gampang terpeleset dan kini kebingungan bak layang-layang putus ....

Kita harus panjat, selicin apa pun, agar belimbing itu bisa kita capai bersama-sama.

Dan, yang memanjat harus "Cah Angon". Tentu saja ia boleh seorang doktor, boleh seorang seniman, kiai, jenderal, atau siapa pun - tetapi dimilikinya daya angon.

Kesanggupan untuk menggembalakan. Karakter untuk merangkul dan memesrai semua pihak. Determinasi yang menciptakan garis kedamaian bersama. Pemancar kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima oleh semua warna, semua golongan, semua kecenderungan.

Bocah Angon adalah seorang pemimpin nasional, BUKAN TOKOH GOLONGAN ATAU PEMUKA suatu gerombolan. Bocah Angon adalah waliyullah, negarawan sejati, "orang tua yang jembar", bukan Lowo Ijo yang gemagah, BUKAN SIMORODRA YANG MENGAUM-AUM SEENAK NAFSUNYA SENDIRI.

Lunyu-lunyu penekno. Kanggo mbasuh dodot-iro. Sekali lagi, selicin apa pun pohon-pohon tinggi reformasi ini, sang Bocah Angon harus memanjatnya.

Harus dipanjat sampai selamat memperoleh buahnya, bukan ditebang, dirobohkan, dan diperebutkan.

Air saripati belimbing lima gigir itu diperlukan oleh bangsa ini untuk mencuci pakaian nasionalnya. Konsep lima itulah sistem nilai yang menjadi wacana utama gerakan reformasi kalau kita ingin menata semuanya ke arah yang jelas, kalau kita mau memahami segala tumpukan masalah ini dalam komprehensi konteks-konteks: kemanusiaan, kebudayaan, politik, rohani, hukum, ekonomi, dan apa pun.

Bukankah reformasi selama ini kita selenggarakan sekadar dengan acuan "nafsu reformasi" itu sendiri, tanpa bimbingan ilmu atau spiritualitas dan profesionalitas rasional apa pun?

Dodot-iro, dodot-iro, kumitir bedah ing pinggir. Dondomono, jlumatono, kanggo sebo mengko sore. Pakaianlah yang menjadikan manusia bukan binatang. Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia.

PAKAIAN ADALAH AKHLAK, PEGANGAN NILAI, LANDASAN MORAL, DAN SISTEM NILAI. Pakaian adalah rasa malu, harga diri, kepribadian, tanggung jawab.

Pergilah ke pasar, lepaskan semua pakaianmu, engkau kehilangan segalanya sebagai manusia. Kehilangan harkat kemanusiaanmu, derajat sosialmu, eksistensi, dan kariermu.

Semakin lebar pakaian menutupi tubuh, semakin tinggi pemakainya memberi harga kemanusiaan pribadinya. Semakin sempit dan sedikit pakaian yang dikenakan oleh manusia, semakin rendah ia memberi harga kepada kepribadian kemanusiaannya.

Jika engkau berpakaian sehari-hari, engkau menjunjung harkat pribadi dan eksistensi sosialmu. Jika engkau mengenakan pakaian dinas, yang engkau sangga adalah harga diri dan rasa malu negara, pemerintah, dan birokrasi.

Jika engkau melanggar atau mengkhianati amanat, tugas, dan fungsimu sebagai pejabat negara, sesungguhnya engkau sedang menelanjangi dirimu sendiri.

Pakaian kebangsaan selama berpuluh-puluh tahun telah kita robek-robek sendiri dengan pisau pengkhianatan, kerakusan, dan kekuasaan yang semena-mena - yang akibatnya justru menimpa rakyat yang merupakan juragan kita, yang menggaji kita, dan membuat kita bisa menjadi pejabat.

Bukankah negara dan pejabat memerlukan rakyat untuk menjadi negara dan pejabat? Sementara rakyat bisa tetap hidup tanpa negara dan pejabat?

Maka dari itu, dondomono, jlumatono, jahitlah robekan-robekan itu, utuhkan kembali, tegakkan harkat yang selama ini ambruk.

Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane. Yo surako, surak: Hiyooo!

Dari sudut apa pun, kecuali kelemahan SDM-nya, Indonesia Raya ini masih merupakan ladang masa depan yang subur, masih memancar cahaya rembulannya.

Kumpulan Tulisan Emha Ainun NadjibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang