(75) Ketakterbatasan, Pengetahuan, Ilmu, Manusia, Keterbatasan ...
Tak ada tempat yang tersisa, Dil, dihuni oleh pengetahuan. Fil afaaqi wa fii anfusikum. Di seluruh ruang alam semesta dan di dalam diri kita sendiri.
Yang di semesta itu di dirimu, yang di dirimu itu di semesta. Semuanya, ilmulah yang tahu. Jika kita tak berilmu, pengetahuan menjadi semu. Namun, karena sesungguhnya tiada seorang manusia pun yang tak berilmu, maka pengetahuan selalu berdebar-debar hatinya, menunggu didekati sang ilmu yang digenggam oleh tangan manusia.
Ilmu pun senantiasa penasaran, untuk abadi menguak pengetahuan.
* * *
Di atas pengetahuan, adalah ilmu. Di atas ilmu adalah manusia. Di atas manusia, adalah ketakterbatasan, yang tak terbayangkan, yang tak ditonggaki oleh awal atau akhir.
Ketakterbatasanlah yang menaburkan pengetahuan. Sekaligus mengalirkan bayangan dimensinya ke manusia, yang dibekali ilmu, agar mengenali pengetahuan, dan bersentuhan dengannya.
Ketakterbatasan menghamparkan pengetahuan. Pengetahuan membayang-bayangi ilmu. Ilmu, sementara itu, kangen untuk dimiliki manusia -- karena, manusia berasal dari ketakterbatasan.
* * *
Demikianlah, Dil, siklus yang menggairahkan, yang memungkinkan manusia terus kreatif.
Jika manusia ajeg menyentuhkan tangannya ke ketakterbatasan, maka ia akan menjadi kabel dari ketakterbatasan, meski tak bakal pernah ia akan menjadi ketakterbatasan itu sendiri. Tetapi akibat tak pernah bersentuhan dengan ketakterbatasan -- yakni, horizon pengetahuan yang dilacak oleh ilmunya -- ia menjadi tak pernah mandeg. Tak pernah kehabisan gerak. Tak pernah kehabisan bahan-bahan untuk bergerak.
Di dalam kehidupan manusia, tak ada bakat alam. Yang ada ialah ketersambungan dengan ketakterbatasan. Ketersambungan itu menghamparkan samudra kemungkinan seluas yang disediakan oleh dimensi ketakterbatasan.
Ketakterbatasan itu sendiri adalah puncak dari segala pengetahuan. Jika kita bergerak ke arahnya, ia menampak. Jika kita diam, ia pun bisu. Jika ilmu di tangan jiwa kita bergetar, ia pun menggeliat dan menampakkan pertanda. Dan jika ilmu kita tertidur, maka pengetahuan tidak kita jumpai sebagai pengetahuan, melainkan sebagai gudang, sebagai rak-rak buku yang bengong.
* * *
Pada saat lain, ilmu merangsang hadirnya pengetahuan. Namun, pengetahuan yang hadir pun kita ilmukan. Sehingga menjadilah ia suatu pengetahuan yang menzikirkan kita pada ketakterbatasan. Demikianlah pengetahuan, ilmu, manusia, ketakterbatasan, pengetahuan, ilmu, manusia, ketakterbatasan ....
Siklus Putaran. Ataukah, ia garis lurus? Tegak ke atas? Tetapi apakah gerangan atas? Apakah gerangan bawah? Apa kanan? Kiri? Barat? Timur? Luas? Dalam?
Dil, ayo deh sering-sering mengganggu diri sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu, buat mencuci kembali pengertian-pengertian kita atas segala hal. Alangkah miskin kita yang hanya menghasilkan rumus-rumus matematika! Alangkah mandeg kita yang hanya meyakini dan memasrahkan diri kepada rumus-rumus. Alangkah beku kita yang memedomani sesuatu yang seolah-olah pasti. Sedangkan setiap manusia: hamil ketakterbatasan, meskipun ada yang melahirkannya dan ada yang tidak. []
DARI POJOK SEJARAH: RENUNGAN PERJALANAN EMHA AINUN NADJIB
(PENERBIT MIZAN, 2019)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Tulisan Emha Ainun Nadjib
RandomSebuah permenungan dari Emha Ainun Nadjib akan berbagai tema kehidupan. Menumbuhkan nuansa kemanusiaan di tengah gejala yang melunturkannya. Ini hanyalah tetes kecil, dari guyuran khasanah kehidupannya... Selamat memesrainya.