Hobi: Kuitansi

48 0 0
                                    

(80) Hobi: Kuitansi

Maka, Dil, dalam lakon industri kesehatan itu tersebutlah seorang kawan modernisatris gigi yang buka praktik di sebuah kota besar di sana.

Jelilah mripatnya bahwa baik badan asuransi maupun pasien masing-masing bisa digergaji. Bukankah biaya reparasi sebiji gigi bisa dipakai untuk bikin proyek ornop kecil-kecilan, misalnya mengkooperasikan penguyang-penguyang? Nah, melayu-melayu tertentu yang bloon hukum, apalagi yang buta bahasa Jerman, pastilah semacam bakpao yang empuk dikunyah.

Untuk repelita gigi, si bakpao mesti bolak-balik sebulan sekian kali ke tempat sang modernisatris. Maklumlah giginya tergolong di negara dunia keempat. Tiap kali datang ia mesti serahkan selembar formulir atawa kuitansi asuransi. Maka, sang modernisatris bilang -- daripada susah-susah bolak-balik nyerahin formulir, mending taruh saja di sini bundel formulir itu. Setujulah mas bakpao, ia kasihkan bundel kuitansi-kuitansi kosong -- yang kemudian menjadi tambang mutiara.

* * *

Wah, kalau begitu justru kita bisa kerja sama dengan dokter ya, untuk menggergaji asuransi?

Boleh juga. Atau, sekalian jadi dokterlah. Kerja sama dengan penguasa pasar obat. Perbanyak pahala: bikin sebanyak mungkin orang menjadi pasienmu, dan setiap pasien pelihara selama mungkin menjadi pasienmu. Setiap petuahmu mengenai penyakit menyamai ludah para nabi. Ciptakan sakit baru, di samping sakitnya yang semula -- yakni, di konsep otaknya. Bilang dia butuh ini butuh itu. Bikin alasan sebanyak mungkin untuk ngrentengi kuitansi. Dengan demikian, hobimu tersalur dengan baik. Sekadar menyalurkan hobi, tak ada yang melarang. Apalagi hobi jenis itu mengasyikkan -- dan jauh lebih sopan dibanding misalnya dengan kata-kata seorang anarkis Jerman ini: "Kini, dunia kedokteran bersedia membayar cukup mahal hobi Anda yang paling memuaskan jiwa raga: donor sperma!"

* * *

Seorang kawan kecekluk kakinya. Bengkak di pergelangan bawah. Setelah dua minggu berlalu, tampaknya lumayan akan sembuh. Tapi kalau belum ke dokter, kok rasanya belum haqqul-yaqin bahwa kaki benar-benar baik kembali.

Di kamar praktik, sang kaki dimasukkan ke suatu alat pengongkek: pergelangan ditekuk sedemikian rupa sampai maksimal rasa sakitnya. "Untuk mengetahui persis seberapa parah ia" -- kata mbak perawat. Kawan kita meraung-raung, panas dingin tubuhnya. Kaki sakit bukan main. Keputusan: dikasih gips, sampai lutut.

Revolusi pun terjadi. Berangkat ke dokter sehat segar bugar, bahkan pincang pun tidak. Pulang bagai orang barusan kena langgar truk. Gips. Tongkat. Fisis psikologis ia sakit parah. Sebulan penuh gips baru dibuka: dan pergelangan itu masih jauh lebih sakit dibanding sebelum ke dokter.

Setelah dibuka, dironsen seminggu sekali, sambil harus dibungkus dengan kain pembalut. Yang penting: sejauh ini belum diselenggarakan pengobatan apa-apa. Kabarnya digips tentulah agar kaki tak kerja keras, dengan demikian proses penyembuhan lebih cepat. Dan itu tidak terjadi. Pada akhirnya ia sembuh dengan sendirinya. Kawan kita itu cuma diminta amal jariahnya memberikan kuitansi demi kuitansi.

Ini adalah contoh kecanggihan ilmu kedokteran mutakhir, juga kreasi formulir. Tetapi alat penekuk kaki itu kabarnya kini diprotes oleh banyak kalangan karena dianggap tak manusiawi dan juga tak menolong kesehatan.

* * *

Cewe kita di Belanda lain lagi nasibnya. Ia bunting: dan begitu menakjubkan -- sang dokter tahu persis hari dan jam jabang bayi hendak lahir.

Maka, pada hari yang ditentukan, ia pun datang ke rumah sakit. Nyetir mobil sendiri, guyon-guyon dengan kawan yang mengantarnya, karena memang belum terasa ada tanda-tanda bahwa proses kelahiran hendak berlangsung.

Oleh dokter ia disuntik. Seperempat jam kemudian, lho kok mulai terasa sakit di perut. Berulang lagi dan berulang lagi, dalam jangka waktu yang makin memendek. Dua jam dari kawan kita itu datang ke rumah sakit, anak pun lahirlah. Gile! Betapa fantastis ilmu pengetahuan!

Tapi jika kawan kita itu datang ke rumah sakit besok paginya, ia juga baru akan melahirkan besok. Sang dokter ternyata bukan hanya tahu tanggal dan jam kelahiran, ia bahkan bisa meramalkan detik menitnya.

Di dalam kehidupan modern yang sudah serba-teratur, apa pun bisa diprogram: dokter dan perawat tak bersedia harus repot di rumah sakit pada waktu week-end. Maka kalau bisa jangan sampai ada orang yang melahirkan pada hari Sabtu dan Minggu. Dengan sedikit risiko dalam proses kelahiran yang innatural itu, bisalah dihindarkan segala arang yang melintangi jam-jam bahagia pada akhir pekan.

* * *

Manusia sudah sangat maju, Dil. Makin banyak contoh bagaimana orang mampu menentukan tanggal jam detik lahirnya seseorang, juga matinya seseorang. Persoalannya kalau dilacak berkisar di kuitansi juga. Untunglah hobi kuitansi belum berkembang di Indonesia. Di sini, hobi kita to-the-poin saja: duit.

Sedemikian rupa populernya hobi duit itu sehingga seorang penyair menulis sajak yang berjudul "Keuangan Yang Maha Esa". Sementara seorang lainnya menyindir kita semua dengan mengubah kalimat "Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un" menjadi "Inna lillahi wa inna ilaihi hoonorariuuuuum ...."

Jangan marah, Dil. Itu cuma sindiran. Dan lagi kalau mau melihat artinya, kan betul juga: Honorarium berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya!

Honorarium. Penghargaan. Nilai. Siapakah lagi kecuali Dia, yang sungguh-sungguh memilikinya? []

DARI POJOK SEJARAH: RENUNGAN PERJALANAN EMHA AINUN NADJIB
(PENERBIT MIZAN, 2019)

Kumpulan Tulisan Emha Ainun NadjibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang