Untuk Sembuh, Sakitlah!

67 2 0
                                    

(79) Untuk Sembuh, Sakitlah!

Dil, ada alasan manusiawi kenapa modernisatris bol itu -- juga semua modernisator sektor tubuh -- berbuat sebaik-baiknya dalam melaksanakan pembangunan badan.

Ada simbiose mutualistis antara kebutuhan pasien untuk sembuh dan keperluan menjual jasa si modernisator. Karena itu, terkadang untuk memelihara situasi simbiose mutualistis tersebut, para penjual jasa kesehatan perlu memelihara atau menciptakan kebutuhan pasien untuk sembuh.

Bagaimana supaya kita bisa sembuh? Sakit. Kita belum akan ingin sembuh, sebelum sakit. Maka, ada suatu saat, sakit diproduksi.

* * *

Itu perbuatan mulia. Seorang penyembuh bisa memiliki gairah yang tinggi untuk menyembuhkan. Kalau sampai tak ada kesempatan untuk menyembuhkan, ia bisa frustrasi. Kalau sampai tidak ada orang yang perlu disembuhkan, ia bisa kebingungan.

Di samping itu, barang siapa menyembuhkan, ia mendapat pahalan, di samping menunjang kesehatan nasional. Sakit hanya sarana untuk bisa terjadi penyembuhan. Jadi, perbanyaklah pahala -- misalnya -- dengan memperbanyak penyebaran penyakit. Ibarat kata filosof: tak terjadi terang, tanpa gelap. Terang sudah, mari gelapkan ruangan agar bercahaya itu benderang.

* * *

Demikian cara berpikir yang agak gila sedikit. Namun, dalam logika industri, itu normal. Namanya saja dagang. Juga perdagangan kesehatan. Komoditi utamanya tentulah penyakit itu sendiri. Dalam hal ini, contohlah misalnya, bagaimana bikin pupuk yang agak kelupaan mempertimbangkan ekosistem, sehingga makin banyak pupuk ditaburkan -- ada saatnya komplotan hama justru makin banyak datang.

Kelupaanlah menghitung ekosistem tubuh, atau justru umumkan ekosistem itu, agar sesudah minum obat anu terjadi efek pada ani, maka perlu juga beli pil ana, kemudian karena pil ana memberi akibat tak baik pada ane, sebaiknya bersiaplah dengan pil ane. Pokoknya keserasian lingkungan badan mesti dijaga baik-baik.

* * *

Tingkat komoditi lain ialah sikap pasien terhadap sakit. Sakit bisa tak perlu ada, asal pasien merasa sakit dan karena itu ia butuh sembuh.

Di Jerman tahun 1984, 80% penyakit penduduk adalah diagnosis. Selebihnya baru penyakit sungguhan. Makin takut orang pada sakit, makin tinggi pasaran jasa penyembuhan. Makin lancar dan terpelihara pergaulan orang dengan pil-pil, makin riuh mesin pembuatnya. Makin manja orang pada mitos teknik penyembuhan modern, makin luas kesempatan bikin pahala.

Dan, apakah yang lebih sakral dibanding keahlian seorang tabib? Apa yang lebih absolut dari kata-kata dokter? Apa yang lebih tak terbantah dari keputusan untuk opname meskipun hanya untuk demam pilek?

* * *

Di negara maju, badan asuransi yang akan membayar pahala. Kau tinggal ingin sembuh dan membayar ala kadarnya tiap bulan. Tak usah langsung beli jasa di pasar penyembuhan. Apa saja bisa kau asuransikan. Kecuali kalau patah hati, entah siapa yang bisa menjamin.

Akan tetapi, kapitalisme kedokteran, seperti kukira, sukar terjadi di tanah air. Dokter kita yang pancasilais tahu betul membedakan antara pahala dan dosa, antara pengabdian masyarakat dan bisnis, antara dunia kedokteran sebagai penjaga kesehatan rakyat dan tambang emas. Kalau toh ada dokter yang terlalu komersil, itu bukan potret dunia kedokteran -- itu pokal oknum dokter tertentu. Kalau banyak pil yang di negeri maju dilarang beredar sebab tidak menyehatkan, sementara buangan pil-pil itu umpamanya malah kita tadahi di sini -- itu karena kita tidak mau mubazir.

Kecuali, kalau ternyata tidak begitu. []

DARI POJOK SEJARAH: RENUNGAN PERJALANAN EMHA AINUN NADJIB
(PENERBIT MIZAN, 2019)

Kumpulan Tulisan Emha Ainun NadjibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang