Puasa adalah pilihan atau keharusan untuk 'tidak' atas sesuatu yang sewajarnya 'ya'. Atau sebaliknya: keputusan untuk 'ya' terhadap sesuatu yang halal untuk 'tidak'.
'Ya' di situ umpamanya 'ya makan', 'ya minum', dan seterusnya, yang di-'tidak'-kan oleh orang yang berpuasa pada jangka waktu tertentu. Atau 'tidak' di situ adalah 'tidak lapar' menjadi 'ya lapar'. Penyikapan 'ya' menjadi 'tidak' atau 'tidak' menjadi 'ya' di situ dilakukan karena ada suatu kualitas nilai yang lebih tinggi yang hendak dicapai. Atau bisa juga ia dilakukan demi menghindarkan sesuatu yang mudarat sifatnya. Umpamanya, engkau memutuskan "tidak makan sate", engkau puasa sate, padahal sate itu halal, tapi engkau menidakkannya supaya darah tinggimu tidak semakin parah. Atau kalau yang hendak dicapai adalah peningkatan kualitas hidup, engkau memutuskan untuk tidak makan apa-apa dari subuh hingga maghrib karena engkau berlatih untuk menaklukkan keinginanmu, mengalahkan kehendak dan nafsu.
Dalam konteks ini, anak bersekolah bisa kita temukan fungsi puasanya. Anakmu berhak main-main, makan minum saja sepanjang hari, tapi demi kualitas hidupnya di masa depan, ia perlu puasa dari dolanan pada jam-jam tertentu dan pergi ke sekolah. Jadi, ia puasa dolanan. Atau pada hari Ahad atau Jumat, anakmu itu justru puasa sekolah, karena keseimbangan hidupnya memerlukan istirahat.
Pada skala yang lebih luas, engkau berpuasa dari hak untuk punya uang sebanyak-banyaknya. Engkau membatasi tingkat pemilikanmu, engkau berikan kepada orang kekurangan. Sebaliknya engkau juga bisa melakukan puasa dari kemelaratan sehingga engkau mencari uang sebanyak mungkin, karena kalau kemelaratanmu berkembang ke tingkat kefakiran, akan sangat membahayakan iman, mental, dan kepercayaan dirimu.
Dengan kata lain, pada saat tertentu engkau puasa dari jumlah kekayaan. Pada situasi lain engkau berpuasa dari taraf kefakiran. 'Ya' dan 'tidak' dalam berpuasa tidak ditentukan oleh pilihan salah satu di antara kaya atau miskin. Tapi engkau membutuhkan puasa ketika kemiskinan menjerat imanmu dan ketika kekayaan melunturkan kesalehan hidupmu.
Makna puasa semacam itu bisa kita perluas dan kita terapkan dalam berbagai sektor keterlibatan hidup kita.
Engkau berpuasa untuk jangan sampai menjadi menteri, umpamanya, bukan karena menjadi menteri itu haram. Tapi justru karena ia halal, namun kondisi iman dan mentalmu maupun realitas politik dan budaya negerimu akan memeluangi kemudaratan lebih tinggi dibanding kemaslahatan jika engkau menjadi menteri. Jika engkau menjumpai situasi seperti itu, perlu engkau ambil sikap untuk jangan sampai menjadi menteri. Sampai datang suatu keadaan baru yang juga merupakan hasil perjuanganmu di wilayah lain, suatu keadaan di mana engkau justru wajib menjadi menteri, karena pada situasi itu menjadi menteri bagimu adalah amanat sosial dan kemaslahatan di hadapan Allah.
Atau makna puasa yang lain tidak dalam konteks antara 'ya' dan 'tidak', tetapi pada takaran dan kadar. Seharusnya lima, engkau putuskan tiga atau dua saja. Atau sebaliknya, semestinya boleh tiga saja dalam suasana normal, tapi untuk kepentingan yang lebih berkualitas, engkau harus putuskan untuk lima, atau syukur enam.
Jadi, puasa itu terkadang bersifat sebagai keharusan, terkadang berupa menahan, di saat lain bersifat memaksa. Hakikat puasa dengan demikian mengajarimu untuk menghayati bahwa dalam kehidupan ini engkau tidak hanya bergaul dengan hak, tapi juga dengan kewajiban, larangan, dan anjuran.
Misalnya engkau bisa menemukan puasa dalam zakat. Menurut fikih, engkau berhak memberikan hartamu dua setengah persen saja. Tapi demi keseimbangan sosial ekonomi dan demi perolehan kemuliaan derajat kepribadianmu, engkau berpuasa dari hak dua setengah persen, dan engkau tingkatkan menjadi lima persen, sepuluh, dua puluh, atau syukur lebih banyak lagi.
Engkau tidak dipersalahkan oleh fikih Islam maupun oleh hukum adat dan negara apabila ada orang kelaparan di tepi jalan dan engkau mengacuhkannya. Tapi hakmu untuk acuh tak acuh itu engkau puasai, dan engkau memilih untuk menolongnya, karena hal itu lebih baik bagi si lapar maupun bagi dirimu sendiri. Engkau rela berkorban. Dan itulah puasa dalam konteks zakat.
* * *
Sekarang kupersilakan engkau menggali sendiri fungsi dan makna puasa dalam syahadat, shalat, dan haji. Syukur engkau menarik garis lebih luas ke wilayah kehidupan sosial kita. Bisa kumulai barang selangkah. Misalnya, shalat adalah suatu pengorbanan pada sejenak waktu dari kenikmatan, kerja, atau aktivitas lainnya yang mungkin lebih enak dibanding shalat bagimu. Mestinya engkau bisa enak-enak mengobrol atau meningkatkan produktivitas kerja, karena datang waktu maka engkau harus berangkat shalat. Ini memerlukan energi puasa. Kalau engkau tak terbiasa menahan diri dari kenikmatan, akan berat shalat bagimu. Syukur kalau akhirnya shalat bisa merupakan kenikmatan dan keenakan yang melebihi pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Haji adalah puasa dari berbagai faktor keduniaan. Misalnya, engkau berihram, bukan hanya pakaianmu, melainkan juga hati dan kesadaranmu. Di Baitullah engkau berpuasa dari jabatanmu, kekayaan duniamu, keangkuhan kelasmu, serta dari segala macam romantisme hidup keduniaanmu.
Syahadat adalah puasa paling esensial dan mendasar. Engkau harus membuang segala macam yang enak untuk engkau Tuhankan, misalnya uang, pangkat, atau popularitas. Dalam syahadat engkau hanya menomorsatukan Allah, hanya menumpahkan segala macam duka derita dan bahagia kepada Allah.
Silakanlah mengembara lebih jauh untuk memaknai puasa.
Sumber: Tuhan Pun Berpuasa, Penerbit Buku Kompas, 2012
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Tulisan Emha Ainun Nadjib
RandomSebuah permenungan dari Emha Ainun Nadjib akan berbagai tema kehidupan. Menumbuhkan nuansa kemanusiaan di tengah gejala yang melunturkannya. Ini hanyalah tetes kecil, dari guyuran khasanah kehidupannya... Selamat memesrainya.