[Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib, Seperti yang Dituliskan Sahabatnya;]
KETIKA MENGAWALI 'UPACARA' doa bersama di mana ia membacakan "Doa Mencabut Kutukan", sebagai refleksi balik dari "Doa Mohon Kutukan" sekian tahun yang lalu, Cak Nun berkata dengan sangat bersungguh-sungguh - sangat berbeda dengan kebiasaan-kebiasaannya yang lentur dan penuh humor:
"Apakah kita adalah orang sakit yang hatinya tenteram karena tidak mengerti penyakitnya? Ataukah kita memilih berusaha tahu penyakit-penyakit kita, lantas kita upayakan proses penyembuhan, agar dalam jangka panjang kita capai ketenteraman?"
"Rakyat kita, ya kita semua ini, sangat bersedih hati dan benar-benar frustrasi berkepanjangan. Negara yang kita bela dan cintai, pemegang kekuasaan yang kita restui dan kita upah, sampai sejauh ini masih gagal memenuhi amanat di pundaknya. Kita kecele berulangkali. Hidup kita tidak aman, makan minum kita tidak menentu, karena organisasi pemerintah tidak kunjung sanggup membangun jaminan untuk itu".
"Apakah nyawa kita tidak tiba-tiba dicabut entah oleh siapa, negara tidak bisa memberi ketenangan kepada rakyatnya. Kalau besok siang karena suatu soal yang sangat sepele kita tiba-tiba terlibat dalam perang brubuh, tawur suku seperti jaman pra-sejarah, tak ada juga yang dilakukan oleh polisi dan tentara. Kekuatan polisi tak memadai, sementara tentara duduk-duduk saja karena kalau berdiri sedikit saja takut kena tudingan melanggar HAM. Ekonomi makro kita hanya menambah prestasi hutang dan degradasi kesejahteraan".
"Satu-satunya keuntungan dari semua keadaan itu adalah bahwa kita menjadi lebih dekat kepada Tuhan. Kita menjadi malu untuk meneruskan ketidaktergantungan kepada-Nya. Tuhan kita angkat sebagai Kepala Negara kehidupan kita. Namun kecemasan hati ini tak usai-usai juga. Yang membuat kita kurang nyenyak tidur adalah bahwa di negara yang nasional ini justru jumlah suku makin bertambah. Tidak hanya suku Dayak dan Madura. Tidak hanya suku Melayu dan Jawa. Tapi sekarang ada juga suku NU, suku Muhammadiyah, suku PKB, suku Poros Tengah, bahkan lebih terkeping-keping lagi konstelasi kesukuan masyarakat kita".
"Penderitaan batin rakyat Indonesia sudah sedemikian rupa sehingga tidak lagi berwajah derita. Kadar derita itu demikian mendalam, mengakar, mengendap, sehingga hakekat penderitaan itu hampir sudah sama dan sebangun dengan seluruh eksistensi dan kesadaran kita akan hidup".
"Ini semua bukan hanya penderitaan batin, tapi mungkin sudah lebih mendalam menjadi kesengsaraan spiritual. Subyek penderita dalam diri kita bukan hanya perasaan, bukan hanya hati, tapi mungkin kalbu. Kalbu itu jauh lebih tersembunyi dan menyimpan sejumlah rahasia, yang kelak hanya bersedia dikuakkan oleh kejujuran, yang mengikat menjadi ketulusan dan memuncak pada kesucian".
"Kesengsaraan kalbu terjadi karena salah satu dari dua hal. Pertama, Allah menimpakan ujian, yang solusinya adalah kenyataan bahwa iman jauh lebih kukuh dan perkasa dibanding segala jenis dan kadar penderitaan".
"Kemungkinan kedua, kesengsaraan kalbu semacam itu dibangun oleh kebodohan kita sendiri. Tuan rumah yang sibuk mencuri di rumahnya sendiri adalah tuan rumah yang sebodoh-bodohnya. Bapak, Ibu, anak-anak, semua penghuni rumah, bertengkar terus, saling mengincar dan berebut giliran merusak rumah, berebut giliran memperoleh kesempatan untuk mencurangi".
"Proses berebut giliran itu dihiasi dengan ilmu, teori, firman dan segala sesuatu yang bisa didayagunakan untuk kepentingan masing-masing. Negara ini kita rusak sendiri, menggunakan kebodohan yang tak habis-habisnya, atau memakai segala jenis kepandaian untuk bodoh".
"Peta situasi batin dan kondisi sosial yang melatar-belakanginya harus perlahan-lahan kita pahami dan mengerti, agar bisa kita mulai dari diri kita sendiri berkata 'tidak' kepada kenyataan-kenyataan itu. Semakin banyak orang yang berkata 'tidak', maka pagi hari akan semakin cepat tiba. Matahari akan terbit, tetapi pada hakikatnya ia tidak pernah terbit untuk bangsa yang buta".
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Tulisan Emha Ainun Nadjib
SonstigesSebuah permenungan dari Emha Ainun Nadjib akan berbagai tema kehidupan. Menumbuhkan nuansa kemanusiaan di tengah gejala yang melunturkannya. Ini hanyalah tetes kecil, dari guyuran khasanah kehidupannya... Selamat memesrainya.