(82) Tuhan? No! Anti-Tuhan? No!
Kemudian, Dil, ada satu contoh hasil -- kupersembahkan kepadamu -- dari peradaban garda depan. Yakni, kebiasaan kaum ekshibisionis untuk mengeluarkan kemaluannya dari celana di depan khalayak ramai. Di tanah air belum ada gejala semacam ini, karena manusia dan kebudayaan kita memang masih terbelakang.
Aku tahu: kau berpikir bahwa aku sedang menghadapkan yang disebut kehidupan modern ke hadapan meja pengadilan yang tidak adil. Kau melihatku seperti anak kecil yang gelut dan hanya mencari segi buruk dari lawannya. Mestinya itu bukan hasil, melainkan dampak kecil negatif -- dari suatu hasil besar proses perjuangan manusia.
Baiklah. Keseluruhan surat-suratku adalah tumpeng-tumpeng kenduri. Dan tema-tema kecil seperti ini hanya lintingan rokok ekstra. Kusodorkan kali ini lintingan rokok kaum ekshibisionis.
* * *
Di Jerman umpamanya, kalau kau naik bus, kereta bawah tanah, di jalanan atau di tempat-tempat keramaian umum, kagetlah jika mendadak datang kepadamu seorang lelaki -- membuka rit celananya kemudian melambai-lambaikan bendera pusaka kelelakiannya. Kagetlah, sebab dengan begitu engkau menyenangkan hatinya. Menyenangkan orang lain itu mendapat pahala. Kalau kau telanjur tidak kaget, bisa kau usulkan kepada lelaki itu untuk me-re-take adegan: persiapkan suatu takaran kekagetan semutu imaji lakon Samuel Beckett yang meraungkan sunyi keterasingan manusia modern.
Seorang cewe Melayu naik bus bersama kawan cewenya dari Jerman. Mendadak nongol proklamasi maskulinitas di hadapannya: ia hampir pingsan. Tapi, sobat Jermannya tersenyum, menegur sang lelaki, menyarankan bagaimana kalau pameran monumen itu diselenggarakan di ruangan yang tepat. Lama-lama "Panitia" itu pun setuju, dan mereka ngobrol karib sepanjang perjalanan bus.
* * *
WC umum di sentral sebuah kota pernah untuk beberapa lama hanya bisa kau pakai sesudah kau melaporkan identitasmu ke kantor polisi terdekat. Ini demi kamtibnasmu: kaum homoseksual sangat suka beramah tamah kepada para pengencing. Frekuensi keramahan itu akhirnya meningkat terlalu tinggi sehingga para pengencing merasa amat terganggu mobilitas ekspornya serta keamanan nasionalnya.
Atau, misalnya, pilihlah kafe (cafe, kniepe, warung andokan) yang bagaimana. Yang biasa-biasa saja, yang lingkungannya peminat politik, yang pengunjungnya khusus para hobi demonstrasi, yang khusus untuk penggemar musik jenis ini atau jenis itu, yang khusus untuk kakek-kakek yang merasa terbuang hidupnya lantas bermonolog di antara mereka dan mabuk, yang lampunya amat terang benderang dengan maksud supaya seluruh pengunjungnya bisa menampakkan seluruh eksistensi wadagnya, pakaiannya, model rambutnya serta segala sesuatunya -- dan mengatakan kepada semua orang, kepada dinding-dinding, kepada bunyi musik, dan kepada dunia, bahwa di muka bumi ini ia bukan tidak ada.
Kafe sangat vital, bagi manusia yang didera rutinitas, yang didehumanisasi oleh mesin produksi, yang hampir tak lagi bisa keluar dari mekanisme waktu yang digital serta hukum dan tatanan yang mengharuskannya patuh kepada iramanya. Kafe amat besar sahamnya terhadap kesehatan mentalitas suatu masyarakat yang telanjur diterasingkan oleh sistem sosial pilihannya sendiri -- betapapun megah dan menggiurkannya sisi-sisi lain dari hasil pilihan itu.
* * *
Banyak anak-anak muda yang gagal mencintai apa pun: Ibu tidak, juga tidak dirinya sendiri. Seseorang bisa masuk fakultas psikologi demi bisa menyembuhkan sakit jiwanya sendiri. Atau, bersimpuh di kaki para "nabi" dari India lambang surga masa silam yang hilang.
Atau, masuk partai sejarah no-futura! Bersikap "tidak" kepada apa pun. Kapitalisme? Tidak. Sosialisme? Tidak. Demokrasi? Tidak. Keadilan sosial? Tidak. Anarkisme? Tidak. Tuhan? Tidak. Anti-Tuhan? Tidak. Tidak? Tidak. Tidak-tidak? Tidak.
Bahkan terhadap tidak, bilanglah tidak. Ah, begitu kacau Eropa? Tidak. Itu cuma suatu lapisan. Meskipun demikian ini bukan sekadar psikopat individu: ini penyakit sosial. Ini anak sah dari perut sejarah. Sesudah ketimpangan pembagian kerja dan pembagian hasil relatif diatasi, sesudah otak dipacu, setelah segala model konsumsi dipenuhi, setelah jalan kesejahteraan ditempuh -- keterasingan menyerbu jiwa. Anak-anak jadi skeptis. Apatis. Tak percaya. Krisis. Menolak semua yang dijumpainya di muka bumi. Memilih kehampaan kembali. Bagai menyuruk kembali ke perut ibunda. Bagai ingin dilahirkan kembali. []
DARI POJOK SEJARAH: RENUNGAN PERJALANA EMHA AINUN NADJIB
(PENERBIT MIZAN, 2019)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Tulisan Emha Ainun Nadjib
RandomSebuah permenungan dari Emha Ainun Nadjib akan berbagai tema kehidupan. Menumbuhkan nuansa kemanusiaan di tengah gejala yang melunturkannya. Ini hanyalah tetes kecil, dari guyuran khasanah kehidupannya... Selamat memesrainya.