1
Kubilang kepada pikiranku pada menjelang dini hari sebelum tidur: "Tolong kasih aku pointers tentang keadaan-keadaan mutakhir Indonesia, syukur briefs, pokok-pokok pemikiran, atau syukur sejumlah uraian yang agak lengkap, dengan perspektif yang lebih luas dan merangkum. Aku minta dengan sangat nanti aku bangun tidur semua itu sudah kau siapkan, kau paparkan, meskipun tak apa tak lengkap-lengkap amat..."
Kemudian aku tidur. Nyenyak bukan main. Dua jam berlalu, rasanya tak mau juga aku bangun. Maklumlah hutangku ratusan atau bahkan ribuan jam kepada tidur. Tetapi aku wajib bangun. Aku harus setor rasa syukur kepada yang meminjamiku ruh dan jasad, yang memperkenankan pancaindera pikiran perasaan dan semua ini untuk kupakai sementara. Alhamdulillah Ia tidak menagih "royalty" atau pembagian hasil dari saham-Nya yang sebenarnya seratus persen itu.
Cuma pusing kepalaku ketika melihat paparan laporan pikiranku atas tugas-tugas yang kuperintahkan kepadanya. Pikiranku ternyata hanya siap menyodorkan kepadaku sejumlah judul yang tidak matang, satu-dua alur persepsi yang terpenggal di tengah jalan. Di sana-sini terlihat ada kandungan penghayatan yang sebenarnya ingin mendalam, atau pengembaraan makrifat yang meluas, tetapi napas pikiranku jelas sekali tersengal-sengal. Itu semua membuat deskripsi bahasanya terasa aneh, lucu, atau terkadang ekstrem.
"Aku menyerah," kata pikiranku, "terlalu banyak kebodohan yang tak lagi dipahami sebagai kebodohan, terlalu bergelimang kegelapan yang tak lagi diperlakukan sebagai kegelapan. Aku berjumpa dengan makhluk-makhluk Tuhan yang sikapnya terhadap kebodohan dan kegelapan sangat unik, sangat spesifik dan fenomenologis. Tidak sama dengan yang pernah terjadi pada semua peradaban umat manusia sepanjang zaman. Bahkan para Nabi dan Rasul belum pernah menghadapi fenomenologi mental, moral, intelektualitas, spiritualitas dan peradaban sebagaimana yang sekarang sedang dijalani dengan riuh rendah namun tenang oleh kumpulan makhluk-makhluk Tuhan yang bernama bangsa Indonesia."
Mampus aku. Sedangkan memandang Indonesia pada level yang konvensional dan standar-standar saja aku sudah kewalahan. Lha kok pikiranku malah melaporkan hal-hal ekstra. Mataku berkunang-kunang mendengarkan laporan dari perenungan pikiranku selama aku tidur tadi:
2
"Memandang Indonesia ini seperti menggembalakan seribu kambing hutan, seribu tikus lorong, seribu harimau rimba, seribu kuda hutan belantara, seribu lebah dan beribu-ribu jenis hewan lain yang berlari sangat liar ke sana kemari tanpa arah yang jelas atau yang bisa dikendalikan oleh siapa pun dan apa pun.
Mengingat kata 'Indonesia' itu seperti sedang menumpang kereta yang semua gerbongnya adalah lokomotif dan semua lokomotifnya adalah gerbong, yang meluncur di jalanan menurun dari bukit ke jurang, yang masinisnya bisa bukan masinis dan yang bukan masinis bisa tiba-tiba sesaat jadi masinis.
Indonesia adalah sebuah semesta peradaban makhluk tangguh yang semakin tidak memerlukan ukuran apa pun dalam urusan apa pun, yang tidak membutuhkan anatomi dan pemetaan atas keadaan-keadaan dirinya, tidak perduli pada kejelasan benar dan salah, baik dan buruk, bermutu dan konyol, indah dan jorok, primer atau sekunder, inti atau garis lingkaran, surga atau neraka, kegelapan atau cahaya.
Itu semua mencerminkan ketangguhan yang sangat prima dari pelaku-pelakunya. Hanya orang yang jasadnya bisa dibakar perlu ilmu tentang ini api itu bukan api. Tapi bangsa Indonesia tidak punya rumusan tentang terbakar atau tak terbakar, tidak perduli pada kejayaan atau kehancuran. Karena bangsa Indonesia memiliki suatu 'gen' kebesaran, dan kebesarannya itu membuatnya unggul atas apa pun keadaan yang menimpanya. Bangsa Indonesia lebih besar dari krisisnya, lebih kuat dari tumpukan permasalahannya, lebih tangguh dari kegelapan yang menyelimutinya."
3
Aku belum percaya pada kejernihan pikiranku. Laporan-laporan yang ia bikin itu mungkin karena ia sendiri mulai diliputi putus asa sebagaimana aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Tulisan Emha Ainun Nadjib
RandomSebuah permenungan dari Emha Ainun Nadjib akan berbagai tema kehidupan. Menumbuhkan nuansa kemanusiaan di tengah gejala yang melunturkannya. Ini hanyalah tetes kecil, dari guyuran khasanah kehidupannya... Selamat memesrainya.