Chapter 3 [Maaf]

3.4K 140 0
                                    

SDH
.
.

Arvind
Tante, Sanda mana sih?
Kok gak pernah bales chat saya?

Begitulah pesan yang butuh banyak keberanian untuk menulisnya. Arvind memutuskan untuk menghubungi Mama Sandra saja daripada ia tidak tahu sama sekali mengenai keadaan Sandra. Walaupun Mama Sandra tidak sensitif seperti orang tua cewek lain, namun ia lebih takut menghadapi orang yang seperti itu. Karena ia beranggapan bahwa orang yang terlihat selalu bahagia dan jarang marah akan lebih menakutkan jika ia sedang marah, sama seperti ketika orang-orang sabar sudah marah.

Arvind merebahkan tubuhnya di atas kasur memandangi ponselnya yang sepi, hanya kicauan grup-grup tidak jelas tujuannya yang mendominasi ponselnya, ia terus mencoba memejamkan matanya agar bisa terlelap sementara dengan harapan saat ia membuka matanya kembali pesan Sandra sudah bertandang di pagar ponselnya. Atau setidaknya ia bisa tahu kabar Sandra dari siapapun yang bisa memberitahunya.

Drt drt!

Seperti yang diharapkan oleh Arvind ponselnya tiba-tiba saja berbunyi sesaat sebelum ia hendak memejamkan matanya yang menandakan bahwa sebuah notifikasi telah bertamu di ponselnya dan ingin segera dibukakan pintu. Dan tanpa menunggu lama Arvind segera membaca pesan itu.

Sandra's Mom
Ada. Sandranya lagi tidur

Arvind melotot melihat pesan yang baru saja dibacanya, pesan yang tidak disangka-sangka akan datang juga padanya. Kontak yang begitu butuh banyak keberanian untuk bisa menghubunginya, dan tanpa membuang-buang lagi segera ia membalas pesan itu dengan mengetik kata demi kata yang menurutnya sudah sopan untuk dibaca dan dikirimnya pada Mama dari kekasihnya itu.

Arvind
Iya tante, makasih ya bilang sama Sandra balas chat saya dong.

Arvind kembali meletakkan ponselnya karena percuma saja baginya menunggu balasan atau pun menghubungi Sandra yang sedang buta karena emosinya. Arvind tidak bisa berbuat apa-apa jika Sandra yang memutuskan untuk tidak diganggu.

Yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu kapan Sandra ingin dengan secara suka rela berdamai lagi dengannya. Padahal ia sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya, hanya saja memanf Sandranya saja yang tidak ingin mendengarkan penjelasannya.

Kadang kita memang lebih baik menunggu jika orang yang kita harapkan tidak kunjung mengerti dan memberi kesempatan. Kita menunggu bukan karena kita ingin dipentingkan, melainkan karena sudah tidak tahu haruskah kita memulai atau tetap diam. Sebab hasilnya pun akan sama jika orang yang kita jadikan tujuan tak lagi mendengarkan kebenaran yang hendak kita sampaikan.

Kehidupan memang selucu itu, saat kesalahan yang hendak dibicarakan maka semua orang akan berbondong-bondong memasang telinga untuk mendengar ceritanya, sedangkan saat hendak membicarakan kebenaran semua orang hanya membuang muka dan menutup pendengaran masing-masing.

Kita hanya akan dianggap membicarakan sesuatu yang tidak penting jika berbicara kebenaran, dan setidak pentingnya suatu kesalahan akan selalu menjadi hal penting untuk didengarkan. Dan itulah yang dirasakan oleh Arvind sekarang ini, berbuat apapun akan serba salah jadinya. Hingga akhirnya ia harus memutuskan untuk tidak berbuat apa-apa.

Kadang diam dan tak melakukan apapun juga merupakan solusi terbaik setelah apa yang kau lakukan tak lagi dihiraukan.

"KAKAK!"

Arvind tersentak kemudian menyeletuk. "Astaga! Kenapa punya adik suka banget ngagetin, gimana kalau gue jantungan nanti.

"Tapi gak jantungan sih, aduh gue bersyukur gak jantungan." Sambungnya terkekeh.

 𝐎𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐊𝐞𝐭𝐢𝐠𝐚 (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang