Sandra masih memikirkan kejadian-kejadian yang menimpanya selama beberapa hari terakhir, rasanya seperti mimpi mendengar Arvind yang ia kenal acuh tak acuh pada perempuan lain malah bermain di belakangnya. Bahkan sampai sekarang belum ada penjelasan yang ia terima tentang masalah yang menimpa hubungan mereka.
Sejak dulu ia bahkan tidak pernah berpikir bahwa kekasihnya itu akan melakukan hal yang bukan keahliannya. Sandra tidak pernah peduli dengan apapun yang terjadi, apapun yang ia dengar dari satu atau dua orang. Namun, rasanya kali ini memang berbeda. Bukan hanya banyaknya kabar burung yang kerap ia dengar tetapi bahkan Arvind juga bertingkah seolah sedang menyembunyikan sesuatu, dan ia sangat membenci kenyataan seperti itu.
Tidak mau terlalu larut dalam perasaan sedih, Sandra beranjak dari tempatnya menuju dapur. Dengan suasana hati yang galau seperti itu akan lebih baik jika dilampiaskan dengan menyeruput kopi hangat atau menyantap makanan pedis yang masih hangat-hangat.
Sandra mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru dapur untuk mencari kopi sachet simpanan ayahnya atau sebungkus mie instan juga tidak apa-apa. Dan yang benar saja, dewi keburuntungan sedang berpihak kepadanya setelah sekian banyak kebuntungan yang ia peroleh akhir-akhir ini.
"Akhirnya. Gue kira lo uda abis di santap ama bapake sama emmak gue." ujarnya penuh bahagia kepada sebungkus mie instan yang ia temukan di lemari.
Segera ia beralih mengambil teflon dan menyalakan kompor, rasanya untuk menyantap sebungkus mie instan ia tidak ingin membuang waktu dengan sia-sia. Karena mood stabil seperti yang ia rasakan itu tidak selalu datang setiap waktu. Walaupun ia tipe orang yang tidak pendendam kepada siapapun, bisa menyembunyikan kesedihan bagaimana pun caranya, atau membuat orang lain bingung dengan perasaannya yang sebenarnya, namun tetap saja sendirian itu bisa memuncul perasaan yang tidak kita inginkan.
"Enggak apa-apa kalau Arvind gak mau hubungin gue duluan, yang penting gue masih bisa makan dengan nyaman dan enak. Karena bagaimana lagi gue bisa hidup tanpa makanan? Kalau pegangan gue yang satu aja udah mulai nyingkirin gue dari hidupnya." Omel Sandra tidak ada habisnya sembari memasak mie instan di hadapannya.
Sesekali ia mencicipi kuah mie instan yang ia buat, memasukkan beberapa bumbu dan yang lebih utama adalah cabainya. Karena cabai adalah obat paling pas saat sakit hati, begitulah istilah andalan Sandra.
***
Sama seperti Sandra, Arvind juga sedang menimbang-nimbang semua kejadian yang menimpanya. Ia juga berharap semoga Sandra bisa mempercayainya dibandingkan dengan orang-orang tidak bertanggung jawab yang hanya menunggu kehancuran hubungan mereka.
Di sisi lain, ia juga bingung harus bagaimana menghadapi Tasya yang semakin hari terlihat semakin gencar tidak ingin jauh darinya. Contohnya saja ia sudah mulai berani memberinya bekal secara terang-terangan di depan umum, parahnya lagi terlihat oleh Sandra dan teman-temannya. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Sandra nanti, apalagi sampai sekarang mereka sedang lost kontak. Tidak ada yang berani menghubungi duluan, tetap kokoh dengan keegoisan dan keras kepala masing-masing.
Bukannya egois lebih tepatnya ia tidak tahu harus mengatakan apa dulu kepada Sandra, memulai pembicaraan karena sebuah kesalahpahaman dengan Sandra itu lebih sulit dibandingkan memulai diskusi pada saat mata pelajaran geografi. Sandra lebih sulit diatasi dibandingkan yang lainnya, mengingat bagaimana pintarnya Sandra memotong setiap pembicaraannya setiap kali bertengkar.
"Sandra juga, kenapa kalau enggak dihubungin malah enggak hubungin balik juga. Kadang gue bingung harus kayak gimana ngehadapin kamu."
"Yah dihubungin duluanlah, Kak. Namanya juga perempuan, pastilah pengen dimanja. Pengen diperhatikan lebih, dan lagi perempuan itu gensinya tinggi." Ujar seseorang tiba-tiba.
Arvind segera membalikkan tubuh menghadap pintu kamarnya yang terbuka lebar dan menampakkan sosok wanita paruh bayah yang tengah berkacak pinggang menatapnya.
"Mama? Sejak kapan berdiri disitu?" Tanya Arvind kikuk.
Mama tersenyum simpul. "Sejak kamu bicara sendirian sambil nyubit-nyubit bantal kamu."
Arvind yang ditegur oleh Mamanya hanya bisa nyengir kuda.
"Itu kalau lagi kesal sama orang, jangan nyubit-nyubit bantal nanti rusak. Kan kalau rusak harus beli lagi, nah kalau berkali-kali kayak gitu bisa-bisa enggak makan sebulan ini buat beli bantal doang." Cibir Mama terlihat puas melihat ekspresi Arvind yang sudah terlihat sangat malu.
"Kalau lagi kesal mendingan pergi ambil air wudhu, kalau lagi ada salah mending minta maaf duluan jangan nunggu orang lain buat minta maaf. Yang ada nanti masalahnya enggak kelar-kelar. Kalau bingung kamu bisa cerita sama Mama, ya sayang?" sambung Mama lagi.
Arvind yang sedari tadi menunduk malu kini mengangkat wajahnya dan menatap Mama dengan penuh arti. "Iya Ma, siap."
Ia tahu bahwa mau bagaimana pun ia terlihat tegar di hadapan Mamanya, tetap saja akan ketahuan sedihnya. Karena ia tetaplah anak dari Mamanya, anak dari ibu yang melahirkannya. Dan Arvind tidak dapat menghindari itu.
"Yaudah, kamu istirahat dulu gih. Jangan terlalu berpikir banyak, lebih baik bertindaknya aja yang banyak. Jangan sampai menyesal lho."
Lagi-lagi apa yang dikatakan oleh wanita paruh bayah kesayangannya itu berhasil menohoknya. Apapun yang dikatakan olehnya selalu berhasil membuka mata dan pikirannya, mau seberapa keras kepala dan egoisnya Arvind akan tetap luluh dengan kata-kata dari Mamanya.
"Mama keluar dulu ya."
Seperginya Mama dari kamar itu, Arvind sedikit bisa berpikir dengan jernih. Ia sudah tahu harus melakukan apa, mulai dari Sandra, Tasya, dan terakhir ada Diandra.
Mau bagaimana pun baiknya Diandra saat pertemuan kemarin, tetap saja ia tidak bisa percaya seratus persen dengan Diandra. Mengingat bagaimana tabiat asli dari mantan kekasihnya itu. Walaupun sudah tidak memiliki hubungan dan perasaan apa-apa seperti sebelumnya, namun pada dasarnya ia pernah mengenal Diandra lebih jauh.
"Gue harus menyelesaikan ini semua satu-satu dan terarah, mulai dari orang baru yang akan berpeluang besar hancurin gue sama Sandra. Kemudian orang lama yang setiap kali berputar-putar di sekitaran kita dengan rencana licik, dan intinya yang paling utama adalah jelasin semua pokok permasalahan ini ke Sandra." Ujar Arvind bermonolog menatap dinding kamarnya seolah-olah dinding itu adalah benda hidup yang beralih tugas menjadi pendengar terbaiknya.
Selain itu, ia memikirkan satu hal lagi. Bagaimana ia bisa menjelaskan semuanya ke Sandra, sementara mereka sedang lost kontak dalam waktu yang menurutnya sudah cukup lama. Biasanya ia tidak akan segan untuk menghubungi kekasihnya itu duluan, hanya saja ia takut jika menghubunginya sekarang akan menganggu kegiatan Sandra dan malah akan semakin memperburuk situasi yang ada saja.
Namun bukankah setiap pilihan itu ada resikonya masing-masing yang harus ditanggung, dan setiap permasalahan itu ada hikmah tersendiri yang selalu mengikut di belakang? Jadi mungkin semua itu hanya persoalan bagaimana ia harus memilih pilihan itu dan menanggung resikonya. Hanya tergantung apakah ia berani atau tidak, dan ia sendiri sudah memutuskan.
Arvind
San? Ayo ketemu.***
Hallo guys,
ORANG KETIGA UPDATE LAGI NIH.
SELAMAT MEMBACA YA, SELAMAT MENIKMATI MALAM MINGGU KALIAN DI TENGAH MALAM INI.JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN
JANGAN LUPA UNTUK SHARE JUGA.OH IYA JANGAN LUPA JUGA BUAT BACA CERITA AKU DI LAPAK YANG LAIN, TERLEBIH LAGI YANG JUDULNYA ITU "Changing"
Oke deh itu aja,
Salam sayang dan cinta
Katalah.23:43/26/10/2019
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐎𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐊𝐞𝐭𝐢𝐠𝐚 (✔)
Teen Fiction(Complete) Sandra pikir, berpacaran dengan Arvind adalah salah satu kebahagiaan untuknya. Walaupun tahu bagaimana kisahb sang kekasih yang masih sering dikejar masa lalu, tetapi ia masih bisa menerima. Namun hal itu tidak bisa berlangsung lama, samp...