Chapter 32 [Badmood]

685 24 0
                                    

Sejak melihat Arvind berbicara dengan Diandra pagi tadi, semangat berjuang Sandra seolah habis terkikis. Yang ada di dalam pikirannya hanya ada tentang Arvind dan bagaimana Arvind melakukan hal-hal yang sama sekali tidak ia lakukan.

Baru putus saja sudah bisa kembali dekat dengan perempuan terlebih lagi yang didekati adalah mantannya sendiri yang nyatanya pernah bermasalah dengannya. Sandra takut akan digosipkan yang tidak-tidak dengan orang-orang yang tidak suka padanya.

“Dulu Sandra sama Diandra pernah bertengkar kan ya gara-gara Arvind?”

“Apa sekarang Arvind balik sama Diandra ya? Toh Sandra cuma pelarian Arvind kalau lagi kosong.”

“Pelakor mah emang gak pantes bareng Arvind.”

“Gue sih ship Arvind-Diandra deh.”

“Duh pada akhirnya ditinggalin.”

Ada begitu banyak suara-suara aneh yang muncul di depan telinganya, bahkan ketika orang tidak berbicara pun suara-suara itu masih jelas ada. Sandra pusing dihantui kata-kata seperti itu, bukan dia yang menjadi penyebab hancurnya hubungan mereka berdua. Arvind sendiri yang datang padanya, dan ia memutuskan hubungan dengan Arvind hingga membuatnya kembali berlari pada Sandra.

Ia terlihat berkali-kali menghembuskan nafas dengan berat, merasa gelisah tidak bisa menempatkan diri dengan nyaman. Di dalam pikirannya sudah terlanjur dikotori pemikiran negatifnya tentang Arvind dan Sandra.

Tidak ada orang yang bisa mengerti perasaannya, ingin sekali ia menangis dan berteriak dalam keadaan seperti ini. Tetapi keadaan dan tempatnya tidak mendukung, selain takut digosipkan aneh-aneh ia juga tidak ingin digosipkan tidak bisa menerima kenyataan. Sandra memang terlalu pesimis dalam segala hal, namun apa yang ia khawatirkan memang bisa saja terjadi mengingat apa yang dialaminya sekarang.

Jika ia ingat-ingat betapa senangnya Arvind dan Diandra berbagi canda tadi pagi itu sangat menyakitkan dirinya sendiri. Ia bahkan tidak tahu apakah Arvind ikut sedih sama sepertinya atau bahagia seorang diri.

“Sandra!”

Teriakan itu berhasil membuat Sandra tersentak dari lamunannya, ia hanya bisa mencebik kesal karena dikagetkan. Ia sudah bisa menebak bahwa yang datang itu adalah Fajar karena hanya dia yang hobi mengagetkannya.

Sandra mengangkat kepalanya yang sedari tadi di tumpukan di atas meja. “Lo kenapa sih? Ngagetin mulu kerjaannya!”

Fajar terkekeh melihat ekspresi Sandra yang benar-benar ditekuk. Walaupun orangnya terkenal jahil, mungkin bisa dibilang Fajar paling mengerti perasaan Sandra jika sedang bermasalah dengan Arvind. Ia juga jadi tidak tega jika melihat sahabatnya sendiri harus terlihat buruk dan tersakiti seperti itu.

“Lo tuh yang kenapa?” balas Fajar masih dengan kekehan khasnya.

Badmood.”

“Jangan badmood badmood mulu. Nanti lo cepet tua, gimana?” cibir Fajar berusaha mengalihkan perhatian Sandra.

“Gak bakal tua gue. Gue kan awet muda daripada lo.” Ketus Sandra gemas karena diganggu terus.

“Wets jangan gitu mbak bro! Gue ini udah awet muda banget daripada lo.”

“Awet muda apaan. Kalau belum berhenti ngerokok gak bakal awet muda lu, tapi jadi muda yang bermutu.” Balas Sandra dengan ketus tanpa menyaring kata-katanya.

Fajar hanya bisa terkekeh mendengar kata-kata Sandra, karena ia tahu sahabatnya yang satu ini memang sedang butuh hiburan.

“Sadis amat, San.” Sambung Gaby yang tiba-tiba nongol dari pintu entah habis darimana.

“Lo juga ngagetin.” Sahut Sandra dengan datar.

“Maaf deh. Gue abis dari Cherly.”

Sandra mendongak menatap Gaby. “Kalian lagi ngomongin apa? Tadi pagi juga sibuk cerita sampai gue dikacangin dan ngelihat adegan yang tidak seharusnya gue lihat.”

“Ada deh.”

“Dan gak usah inget-inget kejadian tadi, lo gak kasian sama gumpalan darah di dalam tubuh lo itu? Dia sakit tuh.” Sambung Gaby dengan polosnya.

“Apaan sih. Gumpalan darah gumpalan darah, bilang aja kali hati.” Sahut Sandra seraya memutar bola matanya malas.

“Emang ada apaan tadi pagi? Arvind lagi?” tanya Fajar dengan polosnya padahal Gaby sudah memperingatkan untuk tidak membahasnya.

Sandra dan Gaby saling pandang hingga kemudian sama-sama mengangguk.

“Bener kata Gaby, gue sakit hati banget.” Keluh Sandra kembali menopang dagu.

Fajar menoleh ke arah Gaby seolah bertanya apa yang sebenarnya terjadi, karena sangat tidak mungkin jika Sandra yang harus menjawabnya.

“Diandra sama Arvind bicara berdua tadi.” Jawab Gaby hati-hati namun masih bisa terdengar jelas kekesalannya pada Arvind.

“Kenapa bisa bareng?” tanya Fajar lagi dengan polosnya.

Sandra dan Gaby serentak mendengus kesal mendengar pertanyaan bodoh dari Fajar.

“Mana gue tau, kalau tau gak mungkin juga gue galau-galau gak jelas gini liat mereka berdua.” Jawab Sandra dengan ketus karena tingkah Fajar yang selalu membuatnya gemas.

“Pertanyaan lo itu kayak anak SD tau.” Cibir Gaby kemudian.

“Ya kan gue gak tau. Dimana-mana kalau gak tau mesti nanya cumi.”

“Tau ah! Lo bikin gue makin badmood aja.” Kesal Sandra mendengar kata-kata Fajar yang semakin blo’on.

Gaby terkekeh. “ Jangan diladeni Fajar-nya, San. Nanti lo makim stres.”

“Bener. Gue udah stres sekarang.”

“Enak aja kalian berdua ngomong gitu.”

Sandra ingin tertawa melihat tingkah kedua sahabatnya itu, tapi setiap kali ingin menarik segaris senyuman saja bayangan tentang Diandra dan Arvind kembali terbayang. Dan itu membuatnya semakin kesal dan merusak mood yang sudah susah payah diperbaiki.

Sandra sadar bahwa semua ini terjadi karena ia yang terlalu ceroboh mengakhiri hubungannya dengan Arvind, seharusnya ia juga bisa menerima segala konsekwensinya. Namun ternyata semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ingin rasanya ia membolos saja daripada harus bertemu dengan Arvind lagi.

Jika berada di tempat yang sama terus menerus, bahkan walaupun tidak melihat Arvind perasaannya tetap saja jadi memburuk. Bagaimana tidak, setiap tempat di sekolah sudah sering ia datangi bersama Arvind. Bagaaimana bisa melupakannya walau sekejap, bohong jika Sandra menjawab bisa.

“Aah!!” keluh Sandra sembari menjedotkan kepalanya di meja berkali-kali.

Fajar dan Gaby hanya saling menatap dengan bingung. Mereka tahu apa yang dialami oleh Sandra tapi tidak satu pun di antara mereka yang tahu apa yang dirasakan oleh Sandra. Tidak tahu harus membantu apa, bahkan Sandra pun belum bisa ditanya macam-macam tentang yang dialaminya.

“Kepala lo jangan digituin, nanti tambah oleng.” Cegah Fajar meletakkan tangannya tepat di bawah kepala Sandra.

Hingga kepalanya tidak langsung membentur meja, Sandra hanya bisa mendengus kesal sambil menjadikan telapak tangan Fajar sebagai bantal dan menatap kosong pada Gaby yang juga tidak tahu harus melakukan apa.

Entah kenapa perasaannya tidak berangsur membaik bahkan setelah dihibur oleh Fajar dan Gaby. Yang ada hanya semakin memburuk, jika bisa kali ini ia ingin memukul orang. Jika ia bisa membolos dan memukul orang, rasanya mungkin akan terlihat lebih baik dari sekarang. Sandra merasa dikhianati walaupun ia tahu tidak pantas untuk melakukan itu.

***

Sandra balik lagi nih, jadi gimana kesannya setelah baca orang ketiga hari ini? Semoga cerita ini menemani hari-hari minggu kalian dengan baik. Hehe.

Salam sayang dari akuh
- K a t a l a h

 𝐎𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐊𝐞𝐭𝐢𝐠𝐚 (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang