Chapter 29 [Kosong]

653 23 0
                                    

"Jadi lo masih nganterin adek kelas itu kemana-mana?" Tanya Irsal yang notabene-nya adalah sahabat Arvind.

Jika ditanya kenapa selama ini tidak pernah datang atau mengunjugi Arvind, karena ia baru saja datang dari kegiatan pertukaran pelajarnya selama setahun karena bidang olahraga sepak bola yang diikutinya. Alhasil ia baru bisa datang mengunjungi Arvind dan kembali bersekolah seperti biasa.

Arvind tidak langsung menjawab, ia hanya sibuk memandangi ponselnya yang tak kunjung menampilkan pesan dari Sandra.

"Woi! Jawab kali." Gerutu Irsal kembali.

"Iya. Masih."

"Lo gak takut tuh adek kelas nanti bawaannya jadi baper?" Tanya Irsal penuh selidik.

"Yah gak bakal baperlah. Orang gue gak baperin dia." Ujar Arvind dengan entengnya.

"Dimana-mana perempuan itu biar gak dibaperin tetep aja baper."

"Tau ah! Gue lagi galau gini lo malah ngomel."

Irsal terkekeh mendengar keluhan Arvind. "Lo kosong banget ya pasca putus dari Sandra, sampai lo nungguin dia kayak gitu banget."

"Ya namanya juga sayang."

"Vind, Sandra gak bakal luluh kalau lo masih gini-gini aja. Dia bakal santai nungguin lo ngajak balik, toh juga selama ini lo gak ada niatan buat gantiin dia."

Arvind menoleh. "Maksud lo?"

"Ya lo coba aja deketin Tasya terang-terangan, yah walaupun niat lo cuma mau bantuin kalau sampai di telinga Sandra pasti seru tuh. Sandra gak bakal main-main mulu kalau udah kayak gitu."

"Maksud lo gue harus selingkuh gitu?" Suara Arvind meninggi dan kesal.

"Bukan selingkuh juga kali, kan lo bantuin Tasya dalam keadaan putus sama Sandra. Yah tentu dia gak berhak dong larang lo buat deket sama siapapun, dari situ kita bisa tahu gimana reaksi Sandra. Dan lagi gue tau kok lo sayangnya juga sana Sandra gak ke yang lain, dan sekarang lo lagi kosong dan ngegalau gak jelas. Mending lo main aja sama Tasya supaya ada yang nemenin." Ujar Irsal dengan entengnya.

"Yeh! Sama aja cumi, itu namanya gue ngebaperin anaknya orang. Main-main sama perasaan anak orang, gak baik." Protes Arvind.

"Bukannya lo bilang kalau dia gak bakal baper kalau lo gak baperin dia? Kan niatnya lo cuma nolong. Yah lo gunain aja itu perlakuin aja sebagaimana mestinya, sewajarnya. Dan kalau dia baper dan protes yang lo tinggal bilang kalau niat lo cuma bantuin. Secara gak langsung dan perlahan ia juga bakal sadar, kalau dia yang salah udah baper. Lagian jadi cewek jangan cepet baper." Ujar Irsal terkekeh setelah menjelaskan maksudnya pada Irsal.

Arvind terdiam berusaha mencerna perkataan Irsal, memang sedikit ada benarnya. Bahwa setidaknya ia bisa punya teman yang akan mengisi kekosongannya tanpa harus bermain perasaan sendiri. Toh niatnya juga cuma nolong, dilebih-lebihkan dikit artinya tetap nolong.

"Oke deh. Gue coba aja dulu, siapa tau Sandra nyadar gitu." Ujar Arvind kemudian.

Irsal tersenyum simpul melihat reaksi Arvind yang menerima solusinya, ia menyarankan seperti itu karena tidak tega melihat sahabatnya pusing sendiri mengurus hubungannya tanpa di sadari oleh si pihak perempuan. Ia tidak bermaksud untuk merusak hanya sedikit memberi peringatan bahwa hubungan itu harus sama-sama diperjuangkan tidak sendiri-sendiri. Jangan sampai muncul orang ketiga barulah sadar dan mengeluhkan keadaan.

Irsal percaya bahwa Arvind tidak akan kebablasan dalam bertingkah, begitu pula dengan Arvind percaya bahwa rencana Irsal setidaknya bisa membantu untuk menyadarkan Sandra. Harapannya hanya agar Sandra cepat sadar agar ia bisa dengan cepat menyelesaikan semuanya.

Arvind menyadarkan dirinya dari lamunannya, mengingat ia sedang tidak di rumahnya. Tidak terasa saja, sudah dua hari setelah pertemuan Arvind dengan Sandra yang tidak disengaja saat di parkiran. Bahkan untuk sengaja atau tidak sengaja tidak pernah lagi mereka bertemu atau bahkan dipertemukan.

Lama-lama seperti ini, Arvind bisa merasa jenuh juga jika tidak ada yang mau mengalah. Dan tentu saja jika ada yang mengalah bukan Arvind lagi. Bukannya tidak mau, ia hanya ingin melihat sampai mana titik keseriusan Sandra dalam memperbaiki hubungan mereka. Sebab sejak dulu selalu saja ia yang meminta untuk memperbaiki.

Arvind sekarang berada di rumah Tasya, menunggu juniornya itu untuk pergi belanja. Jika tanya kurang baik apalagi Arvind dalam memperlakukan perempuan, sudah pasti ia akan mendapatkan nilai plus-plus dari siapa saja. Setelah insiden kecelakaan yang menyeretnya dengan Tasya, ia bertanggung jawab membantu juniornya itu hingga membaik. Perkara soal motor sudah diperbaiki, yang jadi masalahnya sekarang karena luka-luka yang ada di kaki dan tangan Tasya yang baru memulai aksinya untuk sakit.

Dalam kondisi yang seperti itu, tidak mungkin Tasya bisa membawa motornya. Sementara ia masih pincang karena uratnya tergeser saat di jepit motor. Dan paling tidak mungkin lagi jika ia membiarkan saja korbannya seperti itu. Toh selama ini ia hanya berniat baik saja tidak ada niat terselubung sama sekali.

"Maaf lama ya kak." Ujar Tasya yang baru saja datang dari dalam rumahnya.

Perlu dicatat ia masih pincang sejak kejadian hari itu. Arvind hanya bisa tersenyum tipis melihat Tasya dan sedikit membantunya untuk sampai di dalam mobil. Tak sedikit orang yang melihat mereka dengan tatapan bingung, sinis dan curiga. Tetapi bagi Arvind sendiri, selagi bukan Sandra dan teman-temannya yang melihat mungkin ia masih bisa aman untuk menebus kesalahannya.

"Kamu udah gak apa-apa? Kakinya masih sakit?" Tanya Arvind mencoba mencari tahu keadaan Tasya.

Setidaknya ia juga sudah ingin menyudahi semuanya karena menurutnya mungkin bantuannya sudah cukup menebus kesalahannya. Toh ia tidak lari dari kesalahannya itu.

"Udah baikan kok. Tinggal kaki aja yang belum baikan sama sekali, kan baru dua kali pergi ke tukang urut." Jawab Tasya terus terang.

Arvind menoleh bingung. "Kenapa baru dua kali?"

"Kan waktu itu dianterin sama kakak, kalau sendiri mana bisa aku pergi." Jawab Tasya sembari tersenyum kecil.

"Sama temen kamu gak ada? Orang rumah?" Tanya Arvind lagi.

Tasya tersenyum kecut. "Kakak lupa ya? Aku kan tinggal sendirian. Dan kalau soal teman pada sibuk semua makanya gak ada yang bisa diajak buat anterin ke tukang urut."

Arvind seketika merasa bersalah setelah mengingat bahwa Tasya termasuk junior yang bersekolah karena beasiswa di kota ini. Wajar saja jika ia tinggal sendirian di rumah sebesar itu. Ia melirik Tasya yang langsung diam setelah pembicaraan rawan itu. Ia lupa sebelum melontarkan pertanyaan itu.

"Maafin saya ya. Nanti saya yang anterin kamu." Ujar Arvind kembali.

Tasya menoleh. "Ih gak usah kak! Ngerepotin."

Arvind terkekeh mendengar jawaban Tasya. Bisa-bisanya ia bilsng begitu setelah apa yang Arvind lalu untuk membantunya. Memang merepotkan tetapi ia memang berkewajiban melakukannya.

"Gak kok. Kasih tau aja kapan mau perginya."

Tasya melirik Arvind tidak lama. Sementara yang dilirik hanya fokus dengan jalanan yang ada di depan sana, selama bepergian dengan Tasya ia lebih sering menggunakan mobil. Takut ada yang salah kaprah dengan hubungan mereka jika menaiki motor. Selain itu kondisi Tasya juga tidak memungkinkan untuk diajak naik motor.

"Iya kak. Makasih ya." Ujar Tasya ragu-ragu.

Arvind hanya tersenyum tipis sambil bergumam. "Gue memulai semuanya, semoga dengan ini Sandra bisa sadar dan sedikit lebih peduli."


***

11.00 (14-07-18)

 𝐎𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐊𝐞𝐭𝐢𝐠𝐚 (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang